Apa tujuan belanda membuat pabrik senjata di semarang dan surabaya


Pada tanggal 1 Januari 1851, CW diubah namanya menjadi Artilerie Constructie Winkel (ACW). Kemudian pada tahun 1961, dua bengkel persenjataan yang berada di Surabaya, ACW dan PW disatukan di bawah bendera ACW. Kebijakan penggabungan ini, menjadikan ACW mempunyai tiga instalasi produksi yaitu; unit produksi senjata dan alat-alat perkakasnya (Wapen Kamer), munisi dan barang-barang lain yang berhubungan dengan bahan peledak (Pyrotechnische Werkplaats), serta laboratorium penelitian bahan-bahan maupun barang-barang hasil produksi.

Perang Dunia I pada pertengahan 1914, melibatkan banyak Negara Eropa, termasuk Belanda. Demi kepentingan strategis, pemerintah kolonial Belanda pun mulai mempertimbangkan relokasi sejumlah instalasi penting yang dinilai lebih aman. Bandung dinilai tepat sebagai tempat relokasi yang baik karena selain kontur daerahnya berupa perbukitan dan pegunungan yang bisa dijadikan bentang pertahanan alami terhadap serangan musuh, posisi Bandung juga sangat strategis karena sudah memiliki sarana transportasi darat yang memadai, dilalui oleh Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dan dilalui jalur kereta api Staats Spoorwegen kota Bandung juga berada tidak jauh dengan pusat pemerintahan Hindia Belanda, Batavia.

ACW dipindahkan pertama kali ke Bandung, pada rentang waktu 1918-1920. Pada tahun 1932, PW dipindahkan ke Bandung, bergabung bersama ACW dan dua instalasi persenjataan lain yaitu Proyektiel Fabriek (PF) dan laboratorium Kimia dari Semarang, serta Institut Pendidikan Pemeliharaan dan Perbaikan Senjata dari Jatinegara yang direlokasi ke Bandung dengan nama baru, Geweemarkerschool. Keempat instalasi tersebut dilebur di bawah benderta Artilerie Inrichtingen (AI).

Apa tujuan belanda membuat pabrik senjata di semarang dan surabaya

Pejabat Hindia Belanda Berpose Bersama Karyawan ACW di Lokasi PT. Pindad Saat Ini

Di era pendudukan Jepang, AI tidak mengalami perubahan, penambahan instalasi, maupun proses produksinya. Perubahan hanya berada pada segi perubahan administrasi dan organisasi sesuai dengan sistem kekuasaan militer Jepang. Perubahan pun terjadi di segi nama menjadi Daichi Ichi Kozo untuk ACW, Dai Ni Kozo untuk Geweemarkerschool, Dai San Kozo untuk PF, Dai Shi Kozo untuk PW, serta Dai Go Kazo untuk Monrage Artilerie, instalasi pecahan ACW.

Pada saat Jepang menyerah kepada Sekutu dan terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Beragam upaya terjadi guna merebut instalasi-instalasi pertahanan di kota Bandung. Pada akhirnya, tanggal 9 Oktober 1945, Laskar Pemuda Pejuang berhasil merebut ACW dari tangan Jepang dan menamakannya Pabrik Senjata Kiaracondong.

Pendudukan pemuda tidak berlangsung lama, karena sekutu kembali ke Indonesia dan mengambil alih kekuasaan. Pabrik Senjata Kiaracondong dibagi menjadi dua pabrik. Pabrik pertama yang terdiri dari ACW, PF, dan PW digabungkan menjadi Leger Produktie Bedrijven (LPB), serta satu pabrik lain yang bernama Central Reparatie Werkplaats, yang sebelumnya bernama Geweemarkerschool.

Apa tujuan belanda membuat pabrik senjata di semarang dan surabaya
Produksi di PT Pindad (Persero).

Kantorberitaburuh.com, JAKARTA – PT Pindad (Persero) menjadi satu-satunya pabrik senjata paling bersejarah di Indonesia. Cikal bakal pabrik senjata yang dilahirkan sejak zaman kolonial Belanda, kini Pindad diakui sebagai pabrik senjata nomor wahid di dunia dengan produk yang mampu meraih beberapa trofi juara.

Diantaranya, menjadi juara umum dalam Lomba Tembak Australian Army Skills at Arms Meeting (AASAM) 2014 dengan perolehan 32 medali emas, 15 medali perak, dan 20 medali perunggu.

Dalam perlombaan senjata tahunan itu, kontingen TNI AD menjadi juara umum dengan menggunakan beberapa senjata produksi PT Pindad seperti senapan serbu SS2-HB (Heavy Barrel), Senapan Mesin SM-2, dan SM-3, serta pistol G2 versi Elite.

Disarikan dari situs resmi PT Pindad, disebutkan PT Pindad lahir pada tahun 1808, saat itu, William Herman Daendels, Gubernur Jenderal Belanda yang tengah berkuasa saat itu mendirikan bengkel untuk pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan alat-alat perkakas senjata Belanda bernama Contructie Winkel (CW) di Surabaya.

Inilah awal mulanya PT. Pindad sebagai satu-satunya industri manufaktur pertahanan di Indonesia. Selain bengkel senjata, Daendels kala itu juga mendirikan bengkel munisi berkaliber besar bernama Proyektiel Fabriek (PF) dan laboratorium Kimia di Semarang. Kemudian, pemerintah kolonial Belanda pun mendirikan bengkel pembuatan dan perbaikan munisi dan bahan peledak untuk angkatan laut mereka yang bernama Pyrotechnische Werkplaats (PW) pada tahun 1850 di Surabaya.

Pada tanggal 1 Januari 1851, CW diubah namanya menjadi Artilerie Constructie Winkel (ACW). Kemudian pada tahun 1961, dua bengkel persenjataan yang berada di Surabaya, ACW dan PW disatukan di bawah bendera ACW. Kebijakan penggabungan ini, menjadikan ACW mempunyai tiga instalasi produksi yaitu; unit produksi senjata dan alat-alat perkakasnya (Wapen Kamer), munisi dan barang-barang lain yang berhubungan dengan bahan peledak (Pyrotechnische Werkplaats), serta laboratorium penelitian bahan-bahan maupun barang-barang hasil produksi.

Perang Dunia I pada pertengahan 1914, melibatkan banyak Negara Eropa, termasuk Belanda. Demi kepentingan strategis, pemerintah kolonial Belanda pun mulai mempertimbangkan relokasi sejumlah instalasi penting yang dinilai lebih aman.

Bandung dinilai tepat sebagai tempat relokasi yang baik karena selain kontur daerahnya berupa perbukitan dan pegunungan yang bisa dijadikan bentang pertahanan alami terhadap serangan musuh.

Posisi Bandung juga sangat strategis karena sudah memiliki sarana transportasi darat yang memadai, dilalui oleh Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dan dilalui jalur kereta api Staats Spoorwegen kota Bandung juga berada tidak jauh dengan pusat pemerintahan Hindia Belanda, Batavia.

ACW dipindahkan pertama kali ke Bandung, pada rentang waktu 1918-1920. Pada tahun 1932, PW dipindahkan ke Bandung, bergabung bersama ACW dan dua instalasi persenjataan lain yaitu Proyektiel Fabriek (PF) dan laboratorium Kimia dari Semarang, serta Institut Pendidikan Pemeliharaan dan Perbaikan Senjata dari Jatinegara yang direlokasi ke Bandung dengan nama baru, Geweemarkerschool. Keempat instalasi tersebut dilebur di bawah benderta Artilerie Inrichtingen (AI).

BACA JUGA  Preman-Preman Pabrik, Batalion Penjaga Kapital

Apa tujuan belanda membuat pabrik senjata di semarang dan surabaya
Pejabat Hindia Belanda Berpose Bersama Karyawan ACW di Lokasi PT. Pindad Saat Ini (Foto: Dokumen Pindad)

Di era pendudukan Jepang, AI tidak mengalami perubahan, penambahan instalasi, maupun proses produksinya. Perubahan hanya berada pada segi perubahan administrasi dan organisasi sesuai dengan sistem kekuasaan militer Jepang. Perubahan pun terjadi di segi nama menjadi Daichi Ichi Kozo untuk ACW, Dai Ni Kozo untuk Geweemarkerschool, Dai San Kozo untuk PF, Dai Shi Kozo untuk PW, serta Dai Go Kazo untuk Monrage Artilerie, instalasi pecahan ACW.

Pada saat Jepang menyerah kepada Sekutu dan terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Beragam upaya terjadi guna merebut instalasi-instalasi pertahanan di kota Bandung. Pada akhirnya, tanggal 9 Oktober 1945, Laskar Pemuda Pejuang berhasil merebut ACW dari tangan Jepang dan menamakannya Pabrik Senjata Kiaracondong.

Pendudukan pemuda tidak berlangsung lama, karena sekutu kembali ke Indonesia dan mengambil alih kekuasaan. Pabrik Senjata Kiaracondong dibagi menjadi dua pabrik. Pabrik pertama yang terdiri dari ACW, PF, dan PW digabungkan menjadi Leger Produktie Bedrijven (LPB), serta satu pabrik lain yang bernama Central Reparatie Werkplaats, yang sebelumnya bernama Geweemarkerschool.

Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda menyatakan bahwa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949. Seiring dengan hal itu, Belanda harus menyerahkan asset-asetnya secara bertahap pada pemerintahan Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno termasuk LPB.

LPB kemudian diganti namanya menjadi Pabrik Senjata dan Mesiu (PSM) yang pengelolaannya diserahkan kepada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Sejak saat itu PSM mulai melakukan serangkaian percobaan untuk membuat laras senjata dan berhasil memproduksi laras senjata berkaliber 9mm dan pada bulan November 1950, PSM berhasil membuat laras dengan kaliber 7,7 mm.

Apa tujuan belanda membuat pabrik senjata di semarang dan surabaya
Kunjungan Kasad Jenderal A.H. Nasution. (Foto: Dokumen PT Pindad)

PSM mengalami krisis tenaga ahli karena para pekerja asing harus kembali ke negara asalnya berdasarkan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu terjadi sentralisasi organisasi dengan merampingkan lini produksi dari 13 menjadi 6 lini dengan lini baru Munisi Kaliber Kecil (MKK) yang baru dibentuk.

PSM juga melakukan modernisasi pabrik dengan membeli mesin-mesin baru untuk pembuatan senjata dan munisi, suku cadang, material, dan alat perlengkapan militer lainnya.

Delapan tahun berjalan, PSM pun diubah namanya menjadi Pabrik Alat Peralatan Angkatan Darat (Pabal AD) pada tanggal 1 Desember 1958.
Pabal AD bukan sekedar memperoduksi senjata dan munisi saja namun juga peralatan milter yang lain, untuk mengurangi ketergantungan peralatan militer Indonesia pada negara lain. Banyak pemuda potensial yang dikirim ke luar negeri untuk mempelajari persenjataan dan balistik.

Di era Pabal AD ini, terjadi beberapa perkembangan dalam bidang teknologi persenjataan. Pabal AD menjalin kerjasama dengan perusahaan senjata Eropa untuk pembelian dan pembangunan satu unit pabrik senjata, yang berhasil membangun pabrik senjata ringan. Keberhasilan itu membuat Pabal AD menjadi badan pelaksana utama di kalangan TNI-AD sebagai instalasi industri.

Berbagai produk pun berhasil diproduksi Pabal AD. Di era ini pula, pemerintah Belanda menyerahkan Cassava Factory, pabrik tepung ubi kayu yang berada di Turen, Malang, Jawa Timur, yang kemudian menjadi lokasi Divisi Munisi PT Pindad (Persero).

Sekitar tahun 1962, nama Pabal AD diubah menjadi Perindustrian TNI Angkatan Darat (Pindad). Tahapan pengembangan di era Pindad lebih berfokus pada tujuan pembinaan yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip pengelolaan terpadu dan kemajuan teknologi mutakhir. Proses produksi Pindad pun dilakukan untuk mendukung kebutuhan TNI AD.

Serangkaian percobaan dan evaluasi pembuatan senjata baru pun dilakukan dan menghasilkan berbagai Surat Keputusan dari Angkatan Bersenjata untuk memakai senjata Pindad sebagai senjata standar mereka. Setelah itu, senjata pun diproduksi secara massal.

Pada awal tahun 1972, pemerintah Indonesia melakukan penataan departemen, termasuk Departeman Pertahanan dan Keamanan (Hankam). Karena itu Pindad pun berubah nama menjadi Kopindad (Komando Perindustrian TNI Angkatan Darat) pada tanggal 31 Januari 1972.

Perubahan terjadi hanya pada komando utama pembinaan yaitu unsur penyelenggara kepemimpinan dan pengelolaan kebijakan teknik. Reorganisasi ini berdampak positif terhadap kinerja yang semula dianggap lamban menjadi lincah, bergairah dan dinamis. Dan Pusat Karya yang dirubah menjadi PT Purna Shadana (Pursad) memiliki keleluasaan untuk meningkatkan produksi kekaryaan untuk mendukung swasembada dan mengurangi ketergantungan terhadap luar negeri.

Pada saat Operasi Seroja TNI-AD untuk pembebasan Timor Timur dari penjajahan Portugal persenjataan Pindad banyak mengalami kendala di lapangan sehingga pada tahun 1975 Kopindad menarik kembali sebanyak 69.000 pucuk senjata yang telah diserahkan kepada TNI-AD. Selanjutnya Kopindad melalukan transformasi dan modifikasi terhadap beberapa senjata antara lain SMR Madsen Setter MK III Kaliber 30mm long menjadi SPM.1 kaliber 7,62mm yang diproduksi sebanyak 4.550 pucuk dan membuat desain senjata senapan SS77 Kaliber 223.

Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai realisasi Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata No. Kep/18/IV/1976 tertanggal 28 April 1976 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat nama Kopindad dikembalikan menjadi Pindad.

Pindad berubah dari komando utama pembinaan menjadi badan pelaksana utama di lingkungan TNI-AD. Seiring perubahan tersebut Pindad diharapkan dapat mengembangkan kemampuan teknologi dan produktivitasnya dalam memenuhi kebutuhan logistik TNI-AD sehingga mengurangi ketergantungan pada luar negeri.

BACA JUGA  Sejarah Panjang Pabrik Kapal Perang Indonesia

Selain itu diharapkan juga dapat mengembangkan sarana prasarana non-militer yang dapat menunjang pembangunan nasional di bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, industri dan transportasi baik untuk instansi pemerintah, swasta maupun masyarakat luas.

Pada Tahun 1980-an pemerintah Indonesia semakin gencar menggalakkan program alih teknologi, saat inilah muncul gagasan untuk mengubah status Pindad menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas. Berdasarkan keputusan Presiden RI No.47 Tahun 1981, Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) yang sudah berdiri sejak tahun 1978, harus lebih memperhatikan proses transformasi teknologi yang ditetapkan pemerintah Indonesia itu, termasuk pengadaan mesin-mesin untuk kebutuhan Industri.

Perubahan status Pindad dilatarbelakangi oleh keterbatasan ruang gerak Pindad sebagai sebuah industri karena terikat peraturan-peraturan dan ketergantungan ekonomi pada anggaran Dephankam sehingga tidak dapat mengembangkan kegiatan produksinya. Selain itu, Pindad pun dinilai membebani Dephankam karena biaya penelitian dan pengembangan serta investasi yang cukup besar.

Karena itu Dephankam menyarankan pemisahan antara war making activities dan war support activities. Kegiatan Pindad memproduksi prasarana dan perlengkapan militer adalah bagian war support activities sehingga harus dipisahkan dari Dephankam dan menjadi perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia.

Ketua BPPT saat itu Prof. DR. Ing. B.J. Habibie kemudian membentuk Tim Corporate Plan (Perencana Perusahaan) Pindad melalui Surat Keputusan BPPT No. SL/084/KA/BPPT/VI/1981. Tim Corporate Plan diketuai langsung oleh Habibie dan terdiri dari unsur BPPT dan Departemen Hankam.

Sebagai sebuah perusahaan Pindad diharapkan dapat memproduksi peralatan militer yang dibutuhkan secara efisien dan menghasilkan produk-produk komersial berorientasi bisnis. Dan memiliki biaya serta anggaran sendiri untuk pengembangan, penelitian dan investasi serta mengembangkan profesionalisme industrinya.

Berdasarkan hasil kajian dari Tim Corporate Plan diputuskan komposisi produksi Pindad adalah 20% produk militer dan 80% komersial atau non militer. Tugas pokok Pindad adalah menyediakan dan memproduksi produk-produk kebutuhan Dephankam seperti munisi ringan, munisi berat, dan peralatan militer lain untuk menghilangkan ketergantungan terhadap pihak lain.

Tugas pokok kedua adalah memproduksi produk-produk komersial seperti mesin perkakas, produk tempa, air brake system, perkakas dan peralatan khusus pesanan.

Pada 29 April 1983, Perindustrian Angkatan Darat resmi beralih status dari Institusi yang sebelumnya di bawah naungan Departemen Pertahanan dan Keamanan menjadi Perseroan Terbatas (PT), dengan nama baru sebagai PT. Pindad (Persero).

Kata Pindad dibelakang kata PT bukan merupakan singkatan melainkan kedudukannya utuh sebagai sebuah nama. Selaku Direktur Utama, Menteri Keuangan menunjuk Prof. Dr. Ing. B.J Habibie. Tanggal 29 April 1983 ini diperingati sebagai hari ulang tahun Pindad sampai saat ini. [*/]

Apa tujuan belanda membuat pabrik senjata di semarang dan surabaya

Apa tujuan belanda membuat pabrik senjata di semarang dan surabaya