Apa saja usaha yang dilakukan rakyat Bali untuk menghadapi Belanda

Latar belakang munculnya peperangan antara Belanda melawan rakyat Bali adalah adanya hak tawan karang yang dianggap merugikan Belanda. Hak tawan karang adalah hak yang dimiliki kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas seluruh muatan dan penumpang kapal­ kapal asing yang karam di perairan Bali. Hak tawan karang dianggap menghambat Belanda yang ingin menguasai Bali. Belanda tetap berupaya untuk dapat menguasai Bali dengan menawarkan perjanjian agar raja-raja Bali mau menghapus hak tawan karang. Banyak raja Bali yang terbujuk rayuan Belanda, namun Kerajaan Karangasem dan Buleleng tidaklah demikian. Sehingga, mereka melakukan perlawanan terhadap Belanda di bawah pimpinan Patih Ketut Jelantik. Dalam perlawaan tersebut, Belanda memakai taktik adu domba, dimana mereka menyusupkan utusan untuk menghasut dan memecah belah kerajaan-kerajaan lokal di Bali yang kala itu cukup solid. Selain itu, Belanda juga menebar rumor bahwa sebagain kerajaan di Bali sudah ditaklukkan. Berita bohong tersebut membuat pasukan rakyat Bali cemas hingga fokus mereka terpecah. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk menyerang rakyat Bali secara besar-besaran.

Dengan demikian, strategi Belanda menaklukkan perlawanan rakyat Bali adalah dengan tiga cara, yaitu:

  1. Jalur diplomasi, dengan mengajak berunding para raja-raja Bali.
  2. Taktik adu domba, dengan menyusupkan utusan untuk menghasut dan memecah belah kerajaan-kerajaan lokal di Bali yang kala itu cukup solid.
  3. Menebar berita bohong, dimana Belanda menebar rumor bahwa sebagian kerajaan di Bali sudah ditaklukkan. Berita bohong tersebut membuat pasukan rakyat Bali cemas hingga fokus mereka terpecah.

SuaraBali.id - Dalam sejarah Bali, tercatat ada 5 kali perang puputan yang dilakukan rakyat Bali yang mana semuanya adalah usaha rakyat Bali melawan penjajah Belanda. Perang puputan di Bali pertama terjadi pada tahun 1846 dan yang terakhir pada tahun 1946.

Puputan sendiri adalah tradisi masyarakat di Bali yang merupakan tindakan perlawanan habis-habisan sampai mati demi kehormatan tanah air. Istilah ini berasal dari kata "puput" yang artinya "tanggal"/"putus"/"habis/"mati".

Puputan artinya perang sampai mati, dan wajib berlaku untuk seluruh warga yang ada dari semua kasta sebagai bentuk perlawanan, termasuk mengorbankan jiwa dan raga sampai titik darah penghabisan.

Tradisi puputan tidak hanya berlaku bagi pimpinan (dalam hal ini raja) dan prajurit angkatan perangnya saja, tetapi berlaku bagi seluruh rakyat yang berada di seluruh wilayah kerajaan bersangkutan. Bagi mereka yang sudah dinyatakan cukup umur, wajib ikut berperang.

Laki-laki atau wanita, semuanya akan bergabung untuk membela tanah kelahiran mereka dari ancaman pihak yang dianggap telah menginjak-injak harga diri dan kehormatan masyarakat.

Bagi masyarakat yang tidak mau terlibat dalam perang puputan diharapkan pergi sejauh mungkin dari wilayah bersangkutan, sebelum perang dimulai. Namun biasanya tidak banyak warga yang mau menempuh jalan ini, sebagian besar dari mereka akan membela tanah kelahirannya, meskipun mereka tahu pasti akan gugur di medan perang.

Setelah perang puputan selesai, daerah bersangkutan akan menjadi tanah tak bertuan.

Sebelum berangkat ke medan perang, setiap orang diharuskan melakukan persembahyangan di pura keluarga (Pura Pemerajan) untuk mohon diri (Mapamit), pergi ke alam keabadian. Mereka sangat menyadari peta kekuatan musuh tidak mungkin tertandingi.

Itulah sebabnya diumumkan perang puputan. Tetapi mereka adalah patriot yang tentu juga akan banyak membunuh musuh, karena semangat yang berani mati yang sudah tertanam dalam jiwa mereka.

Perang puputan dalam catatan sejarah hanya terjadi pada masa penjajahan Belanda. Sebelumnya, meskipun sering terdengar peperang diantara kerajaan-kerajaan yang ada, belum terdengar adanya perang puputan.

SuaraBali.id - Dalam sejarah Bali, tercatat ada 5 kali perang puputan yang dilakukan rakyat Bali yang mana semuanya adalah usaha rakyat Bali melawan penjajah Belanda. Perang puputan di Bali pertama terjadi pada tahun 1846 dan yang terakhir pada tahun 1946.

Puputan sendiri adalah tradisi masyarakat di Bali yang merupakan tindakan perlawanan habis-habisan sampai mati demi kehormatan tanah air. Istilah ini berasal dari kata "puput" yang artinya "tanggal"/"putus"/"habis/"mati".

Puputan artinya perang sampai mati, dan wajib berlaku untuk seluruh warga yang ada dari semua kasta sebagai bentuk perlawanan, termasuk mengorbankan jiwa dan raga sampai titik darah penghabisan.

Tradisi puputan tidak hanya berlaku bagi pimpinan (dalam hal ini raja) dan prajurit angkatan perangnya saja, tetapi berlaku bagi seluruh rakyat yang berada di seluruh wilayah kerajaan bersangkutan. Bagi mereka yang sudah dinyatakan cukup umur, wajib ikut berperang.

Laki-laki atau wanita, semuanya akan bergabung untuk membela tanah kelahiran mereka dari ancaman pihak yang dianggap telah menginjak-injak harga diri dan kehormatan masyarakat.

Bagi masyarakat yang tidak mau terlibat dalam perang puputan diharapkan pergi sejauh mungkin dari wilayah bersangkutan, sebelum perang dimulai. Namun biasanya tidak banyak warga yang mau menempuh jalan ini, sebagian besar dari mereka akan membela tanah kelahirannya, meskipun mereka tahu pasti akan gugur di medan perang.

Setelah perang puputan selesai, daerah bersangkutan akan menjadi tanah tak bertuan.

Sebelum berangkat ke medan perang, setiap orang diharuskan melakukan persembahyangan di pura keluarga (Pura Pemerajan) untuk mohon diri (Mapamit), pergi ke alam keabadian. Mereka sangat menyadari peta kekuatan musuh tidak mungkin tertandingi.

Itulah sebabnya diumumkan perang puputan. Tetapi mereka adalah patriot yang tentu juga akan banyak membunuh musuh, karena semangat yang berani mati yang sudah tertanam dalam jiwa mereka.

Perang puputan dalam catatan sejarah hanya terjadi pada masa penjajahan Belanda. Sebelumnya, meskipun sering terdengar peperang diantara kerajaan-kerajaan yang ada, belum terdengar adanya perang puputan.

Peristiwa sejarah menjadi bagi yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu peristiwa bersejarah di Indonesia yaitu Puputan Margarana. Peristiwa tersebut termasuk dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah.

Bagaimana sejarah peristiwa tersebut? Berikut penjelasan lengkapnya.

Mengutip dari tirto.id, perang Puputan Margarana terjadi di Bali, tanggal 20 November 1946. Puputan Margarana merupakan salah satu perlawan masyarakat Bali dalam melawan Belanda. Pertempuran ini dipimpin oleh Letnal Kolonel Inf. I Gusti Ngurah Rai. Hal tersebut menjadikan I Gusti Ngurah Rai sebagai tokoh Puputan Margarana.

Dalam bahasa Bali, puputan berarti perang yang dilaksanakan sampai mati atau hingga titik darah penghabisan. Sementara itu, Margarana mengacu pada tempat pertempuran berlangsung. Selain, Puputan Margarana ada juga puputan laun yang pernah terjadi di Bali yaitu Puputan Bandung dan Puputan Klungkung.

Latar belakang Puputan Margarana diawali dengan kedatangan kembali Belanda setelah Indonesia merdeka. Belanda tidak hanya datang ke Jawa namun juga datang ke daerah-daerah lain termasuk Bali.

Kedatangan Belanda di Bali awalnya hanya untuk melucuti senjata tentara Jepang. Namun kedatangan Belanda banyak ditantang rakyat Bali dan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Dari sinilah awal mula terjadinya pertempuran-pertempuran kecil antara pejuang Bali dengan Belanda.

Advertising

Advertising

Belanda kemudian mengajak berunding melalui surat dari Letnal Kolonel J.B.T Konig kepada I Gusti Ngurah Rai. Permintaan tersebut ditolak oleh I Gusti Ngurah Rai. Beliau menegaskan bahwa selama Belanda masih di Bali, maka pejuang dan rakyat Bali akan terus melawan.

Baca Juga

Perang Puputan Margarana dimulai saat Belanda membawa pasukan dan mengepung desa yang menjadi lokasi pertahanan tentara rakyat Bali. Kejadian tersebut di pagi hari pada tanggal 20 November 1946. Kejadian tempat menembak tidak bisa dielakan lagi hingga membuat Belanda terdesak.

Belanda kemudian mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melawan pejuang Bali. Meskipun sudah dikepung dan kalah dari segi jumlah prajurit serta persenjataan, namun I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya tetap melawan.

Mereka terus melawan demi menegakkan kemerdekaan Indonesia. Perlawan tersebut mengakibatkan banyaknya jatuh korban dari kedua belah pihak. Pasukan Bali sebanyak kurang lebih 100 orang gugur, termasuk I Gusti Ngurah Rai. Sementara itu, sekitar 400 orang tentara Belanda juga tewas saat pertempuran tersebut.

Peran Masyarakat Desa Marga dalam Perang Puputan Margarana

Selain melibatkan banyak prajurit, peristiwa Puputan Margarana juga melibatkan masyarakat di lokasi tersebut. Adapun peran masyarakat Desa Marga dalam Puputan Margarana, sebagai berikut:

1. Penjaga Pos Pengintaian

Dalam Puputan Margarana pasykan Indonesia mendirikan tiga pos penjagaan yaitu:

  • Pos 1: sebagai pos pengintaian. Masyarakat yang berjaga di pos ini bertugas untuk melihat keadaan apabila Belanda datang.
  • Pos 2: disebut sebagai pos penerima berita. Petugas pos ini bertugas menerima berita dari pos pertama.
  • Pos 3: sebagai pos induk pasukan. Pos ini digunakan untuk menyiapkan pasukan yang lebih besar.

Baca Juga

Selain menjaga pos pengintaian, masyarakat Desa Marga juga ada yang bertugas sebagai penjaga tempat perlindungan. Tempat tersebut digunakan sebagai tempat persembunyian masyarakat dan pasukan I Gusti Ngurah Rai, jika sewaktu-waktu Belanda menyerang desa tersebut.

3. Menyiapkan Keperluan Logistik

Warga desa juga ada yang bertugas untuk menyiapkan logistik. Beberapa wagra berperan untuk memasak makanan untuk pasukan I Gusti Ngurah Rai. Tak hanya menyiapkan makanan, ada juga warga yang menyiapkan tempat untuk istirahat para pasukan Indonesia.

Demikian penjelasan tentang peristiwa Puputan Margarana yang terjadi di Bali. Persitiwa tersebut menjadi bukti kegigihan masyarakat Bali dalam menjaga kemerdekaan Indonesia.