Apa maksud paham free will and free act

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

             Banyak aliran-aliran yang muncul dan menganggap bahwa aliran yang mereka percayai sangat benar dalam segi agama terutama agama islam. Ini disebabkan  karena mereka mempunyai sebuah perbedaan yang masing-masing dari mereka beranggapan yang berbeda-beda.

            Perbedaan-perbedaan ini terdapat pada segala bidang. Seperti halnya apa yang mereka yakini dan mereka taati dalam beribadah,dasar-dasar yang mereka pahami.Dalam konsep ini tentang perbuatan manusia pernah menjadi perdebatan yang begitu hebat di dunia islam. Begitu hebatnya perdebatan tentang aliran-aliran islam yang mereka yakini, dapat mengakibatkan pembunuhan terhadap aktifisnya. Suasana perdebatan itu masih sangat terasa hingga saat ini. Bahkan, sebagian pendapat suasana ini akan terus terjadi sampai zaman yang akan datang.

            Dalam pemikiran islam, perbuatan manusia diinterpretasikan oleh dua aliran. Pertama, ada yang menganggap sebagai kehendak bebas manusia. Perbuatan-perbuatan manusia terjadi sesuai apa yang mereka inginkan atau kehendaki, yaitu jika seseorang ingin berbuat sesuatu maka perbuataan itu akan terjadi. Akan  tetapi sebaliknya, jika seorang  tidak menginginkan sesuatu terjadi maka perbuatan itu tidak akan terjadi. Kedua,bagi kelompok ini perbuatan  manusia itu bukan diciptakan oleh manusia. Melainkan oleh Allah SWT. Bagi kelompok ini, manusia tidak bisa berbuat apa-apa, karena manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengekspresikan perbutan itu. Manusia hanyalah dikendalikan oleh Allah SWT. Aliran yang  pertama  ini dalam  pemikiran  islam dikenal dalam  sebutan Qadariyah dan  aliran yang kedua disebut dengan Jabariyah.

            Dalam perkembangannya, kedua aliran tersebut dijadikan sebagai alat politik mempertahankan kekuasaan.Bani Umayyah merupakan contoh yang dapat mendeskripsikan keadaan tersebut.Bani Umayyah memanfaatkan paham Jabariyah untuk mempertahankan kekuasaannya, sedangkan Bani Abasiyyah memanfaatkan paham Qadariyah untuk mempertahan kekuasaannya.

            Konsep tentang perbuatan ini sering dijadikan kambing hitam dalam menentukan maju dan mundurnya kekuasan.


1.2   RUMUSAN MASALAH

1.      Apa hubungannya free wiil dan  predestination dengan Qodariyah dan Jabariyah?

  1. Apa perbedaan nilai dan paham dalam free wiil dan predestination ?
  2. Apa pendapat dari berbagai aliran tentang Qadariah dan Jabariah ?

1.3   TUJUAN

1.      Untuk mengetahui hubungan antara free wiil dan predestination dengan Qadariyah dan Jabariyah

2.      Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan nilai dan paham setiap aliran

3.      Untuk mengetahui pendapat dari berbagi aliran .


BAB II

 PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Free wiil dan Predestination dengan Qadariah dan Jabariah

Menurut Harun Nasution yang kemudian juga diikuti oleh Dr. Hasan Zaini, Qadariyah dalam istilah inggrisnya dikenal dengan nama free wiil, sedangkan Jabariyah dikenal dengan sebutan predestination. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat sekali antara istilah-istilah itu.

Free will merupakan nama lain dari qadariyah yang mempunyai 2 arti: kata qadar dipergunakan untuk menamakan yang mengakui dan qadar dipergunakan untuk kebaikan dan keburukan pada hakikatnya dari Allah, Namun sebenarnya pendapat ini hanya lahir dari orang yang buta hatinya. karena Nabi SAW bersabda :

القَدَرِيَّةُ مَجُوْسِ هَذِهِ الأُمَةِ

(“Al-Qadariyyah adalah majusinya umat[islam]ini”).

 Beliau juga bersabda

القَدَرِيَّة خُصَمَاءُ اللهِ فِي القَدْرِ

(“Qadariyyah adalah musuh-musuh Allah tentang takdir Allah”).

            Adapun  predestination merupakan nama lain istilah dari jabariyyah atau Shifatiyyah, paham ini terbagi 2 bagian yakni jabariyah murni dan jabariyyah pertengahan yang moderat. Hal ini merupakan perbuatan manusia yang tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat.

Allah berfirman:

والله خلقكم وما تعملون)الصا فا ت: 96)

Artinya:

(Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat)(.ash-shafat:96)

            Menurut paham Jabariyah, seorang hamba tidak memiliki kekuasaan (qudrah) dan tidak mempunyai efek sama sekali terhadap semua itu, dalam arti bukan hamba yang melakukannya. Perintah Allah untuk itu, di pandang sebagai perintah yang tidak pada tempatnya. Bahkan, Dia memerintahkan dalam bentuk memperoleh perbuatan Tuhan, atau Allah memerintahkannya tetapi memaksa si hamba untuk melakukan yang sebaliknya serta menghalangi untuk melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan tidak memberi alternative pilihan kepada hamba itu. Jabariyah memberi predikat kepada Allah bahwa Dia yang memerintahkan hamba-Nya untuk ,melakukan sesuatu yang ia tidak kuasa melakukannya, dan melarangnya untuk melakukan sesuatu  perbuatan tetapi ia tidak mampu meninggalkannya. Justru Tuhan memerintahkan atau  melarang hamba-Nya untuk  melakukan suatu perbuatan, tetapi Dia juga yang melakukan atau meninggalkannya, kemudian Tuhan akan memberi hukuman yang dahsyat karena perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Artinya, Tuhan  menghukum hamba-Nya karena perbuatan yang dilakukan oleh Tuhan sendiri.

Terdapat perbedaan pandangan antara Jabariyah ekstrim dan Jabariyah moderat. Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tapi perbuatn yang dipaksakan atas dirinya. Manusia tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Sedangkan menurut Jabariyah moderat Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat atau perbuatannya.

            Menurut Qadariyah Allah menyandaarkan berbagai perbuatan kepada hamba-Nya dengan menggunakan bermacam istilah yang bersifat umum dan khusus. Seperti kesanggupan, kemauan, kehendak, al-fill, al kasb dan al shan’i. Sedangkan dengan istilah yang khusus seperti menisbahkan perbuatan shalat, puasa, haji, thaharah, berzina, mencuri, membunuh, berdusta, kafir, fasiq, dan penisbahan semua perbuatan para hamba kepada mereka. Penyandaran perbuatan itu adalah kepada hamba bukan kepada Allah. Jika memang Allah yang menjadi pelaku atas perbuatan hamba, pasti nama-nama-Nya akan tergambar dari perbuatan itu, justru Dia yang lebih sesuai memakai nama-nama itu dari pada hamba sendiri.

            Aliran Qodariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik atau jahat.

2.2  Perbedaan nilai dan paham dalam free wiil dan predestination

      2.2.1  Free will atau Qodariyah

            Qadariyah mula-mula ditimbulkan pertama kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah belajar kepada Washil bin Atho’, pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur Basrah, karena ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang tabi’in yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’ad mati terbunuh dalam tahun 80 H.

Sedangkan Ghailan al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya seorang yang pernah bekerja pada khalifah Utsman bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H). Ghailan juga dihukum mati karena faham-fahamnya. Ghailan sendiri menyiarkan faham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Di sini tak terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal. Selain penganjur faham Qadariyah, Ghailan juga merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah. Tokoh-tokoh faham Qadariyah antara lain : Abi Syamr, Ibnu Syahib, Galiani al-Damasqi, dan Saleh Qubbah.

Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadaiyah, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act.

Mereka, kaum Qadariyah mengemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil naqal (Al-Qur’an dan Hadits) untuk memperkuat pendirian mereka. Mereka memajukan dalil, kalau perbuatan manusia sekarang dijadikan oleh Tuhan, juga kenapakah mereka diberi pahala kalau berbuat baik dan disiksa kalau berbuat maksiat, padahal yang membuat atau menciptakan hal itu adalah Allah Ta’ala.

Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat :

فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاء فَلْيَكْفُرْ

“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barang yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS. Al-Kahfi : 29).

Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah.

Menurut Al-Jubba'i, manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya.Manusia berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (istitha'ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.Pendapat yang sama dikemukakan Abd Al-Jabbar. Ia mengemukakan bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkannya.

Aliran Qadariyah adalah suatu aliran yang suka mendahukukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur'an dan Al-Hadist sendiri. Al-Qur'an dan Hadits di tafsirkan berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indra yang sangat terbatas kemampuannya.

Perbuatan baik maupun buruk ditentukan oleh aqal. Mana, yang baik kata aqal baiklah dia dan mana yang buruk kata aqal maka buruklah dia.

Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekatpada kaum Sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.

Lebih lanjut Abd Al-Jabbar mengemukakan tentang manusia yang berbuat jahat (buruk) kepada manusia, maka perbuatan jahat itu mesti perbuatan Tuhan. Jika demikian, Tuhan bersifat zalim, padahal menurut aqal (akal), tidak mungkin Tuhan bersifat zalim.Ayat yang dijadikan argumentasinya,misalnya,surat As-Sajdah ayat 7:

الّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ

Artinya:

            “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya.”(Q.S. As-Sajdah:7)

            Ayat diatas, Kata Abd Al-Jabbar, mengandung dua arti. Pertama: ahsana berarti “berbuat baik” dan dengan demikian semua perbuatan Tuhan merupakan kebajikan kepada manusia, dan ini tidak mungkin, karena di antara perbuatan-perbuatan Tuhan ada yang tidak merupakan kebajikan, seperti siksaan yang di berikan Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu yang di maksud dengan ahsana di sini adalah arti kedua yaitu baik. Semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat.

 Ayat-ayat lain yang menjadi landasan kaum Qodariyah yakni:

جَزَآءً بِمَا كَانُوْايَعْمَلُوْن

Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, pemberian balasan dari Tuhan atas perbuatan manusia, seperti disebut dalam ayat diatas ini, tidak ada artinya. Agar ayat ini tidak mengandung dusta, demikian Abd Al-Jabbar, perbuatan-perbuatan manusia haruslah betul-betul perbuatan manusia.

Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Menurut bangsa Arab, dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Adapun dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.

Selanjuatnya terlepas apakah paham Qadariyah itu dipengaruhi oleh paham dari luar atau tidak, yang jelas di dalam al-Qur'an dapat dijumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham Qadariyah sebagaimana disebutkan di atas:

إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتىَّ يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa kecuali jika bangsa itu mengubah keadaan diri meraka sendiri"

Dengan demikian paham qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam Islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai paham ini sesat atau keluar dari Islam.

      2.2.2  Predistination atau Jabariyah

 Firqah Jabariyah timbul bersamaan dengan timbulnya firqah Qadariyah, dan tampaknya merupakan reaksi dari padanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Firqah Qadariyah timbul di Irak, sedangkan firqoh Jabariyah timbul di Khurasan Persia.

Pemimpinnya yang pertama adalah Jaham bin Sofwan. Karena itu firqah ini kadang-kadang disebut al-Jahamiyah. Mula-mula Jaham bin Sofwan adalah juru tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih bin Harits, Ali Nashar bin Sayyar yang memberontak di daerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Dia terkenal orang yang tekun dan rajin menyiarkan agama.

Kaum Jabariyah berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris faham ini disebut fatalism atau predestination. Menurut mereka, bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah, dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia sendiri. Kodrat dan iradat Allah adalah membekukan dan mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakekatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik manusia sehari-harinya adalah merupakan paksaan (majbur) semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula, sekalipun nantinya manusia memperoleh balasan surga dan neraka.

Pembalasan surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya, tetapi surga dan neraka itu semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah dalam kodrat dan iradat-Nya.

Jaham bin Sofwan, selain penggerak gerakan Jabariyah, juga seorang pemimpin gerakan yang mengatakan: “bahwa Allah tidak diberi nama apapun, dan tidak pula diberi nama-nama lain kecuali Dia Maha Kuasa (al-Qadir)” karena menurutnya “tidak layak Tuhan itu disifati dengan sifat yang dipakai untuk mensifati makhluk-Nya”.

Adapun cikal bakal munculnya perkataan ini “pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah” berasal dari murid-murid kaum Yahudi dan musyrikin, termasuk kaum Shabi’in. Orang yang pertama kali mengucapkan perkataan ini adalah al-Ja’d bin Darhim. Kemudian diambil dan dipopulerkan oleh Jaham bin Sofwan, sehingga paham Jahamiyah dinisbatkan kepadanya. Al-Ja’d mengambil pernyataan tersebut dari Abban bin Sam’an. Abban sendiri mengambilnya dari Thalut bin Ukhti. Dan Thalut mengambilnya dari Lubaid bin Sam’an al-A’sham, seorang ahli sihir Yahudi. Selain itu Jaham bin Sofwan juga pernah mengatakan bahwa sesungguhnya iman itu cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran dalam hati), sekalipun tidak dinyatakan. Hal ini tidak sesuai dengan faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berpendapat bahwa iman itu ialah membenarkan dalam hati dan mengakui dengan lisan. Orang Islam yang pertama kali menyatakan paham ini di dalam Islam adalah al-Ja’d bin Darhim.

Terhadap al-Qur’an, Jaham bin Sofwan berpendapat, bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk Allah yang dibuat. Sedangkan terhadap Allah ia berpendapat, bahwa Allah itu sekali-kali tidak mungkin dapat terlihat oleh manusia, walaupun di akhirat kelak. Tentang surga dan neraka, kelak sesudah manusia semuanya masuk ke dalamnya dan sudah merasakan pembalasan bagaimana nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah surga dan neraka itu.

Dalam pemahamannya, Jabariyah ini melampaui batas, sehingga mengiktikadkan bahwa tidak berdosa kalau berbuat kejahatan, karena yang berbuat itu pada hakekatnya Allah pula. Sesatnya lagi, mereka berpendapat bahwa orang itu mencuri, maka Tuhan pula yang mencuri, bila orang sembahyang maka Tuhan pula yang sembahyang. Jadi kalau orang yang berbuat buruk atau jahat lalu dimasukkan ke dalam neraka, maka Tuhan itu tidak adil. Karena apapun yang diperbuat manusia, kebaikan atau keburukan, tidak satupun terlepas dari kodrat dan iradat-Nya.

Sebagian pengikut Jabariyah beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Di sini menimbulkan faham wihdatul wujud, yaitu bersatunya hamba dengan Dia. I’tiqad persatuan antara Khalik dan makhluk adalah i’tiqad yang keliru, karena Tuhan tidak serupa dengan sekalian yang ada dalam alam ini. Menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, manusia akan mendapatkan hukuman karena ikhtiar atau usahanya yang tidak baik dan akan diberi paham dengan karunia Tuhan atas ikhtiar dan usahanya yang baik itu. Sesuai dengan firman-Nya :

لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ

“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (QS. Al-Baqarah : 286)

Paham Jabariyah ini diduga telah ada sejak sebelum agama Islam datang kemasyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh Gurun Pasir Sahara telah memberi pengaruh besar dalam ke dalam cara hidup mereka. Dan dihadapkan alam yang begitu ganas, alam yang indah tetapi kejam, menyebabkan jiwa merasa dekat dengan Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan suasana alam yanga demikian menyebabkan mereka tidak punya daya dan kesanggupan apa-apa, melainkan semata-mata patuh, tunduk dan pasrah kepada kehendak Tuhan, dan dalam al-Qur'an sendiri banyak memuat ayat-ayat yang da[at membawa kepada timbulnya paham Jabariyah.

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ

"Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat"

Wa ma ta’malun, di sini diartikan oleh as-Asy’ari “apa yang kamu perbuat dan bukan “apa yang kamu buat.” Dengan demikian ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, dalam paham al-Asy’ari , perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan. Dan tidak ada pembuat (fa’il atau agent) bagi kasb kecuali Allah .

Jabariyah atau predestination,  beranggapan manusia itu lemah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung pada kehendak dan kekuasan Tuhan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hanya kepada Tuhan yang berkehendak. Yang menciptakan perbuatan manusia itu adalah Tuhan. Manusia di sini tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendaknya.

Yang dimaksud al kasb adalah berasal dari hamba dan dengan adanya kasab itulah ada pula taklif, pahala dan siksaan. Al kasb dimiliki oleh hamba, dengan al kasb ia bebas memilih. Al kasb merupakan kebersamaan antara perbuatan yang di ciptakan Allah dan ikhtiyar hamba. Tapi hamba tidak mempunyai pengaruh terhadap al kasb, artinya al kasb di ciptakan oleh Allah sebagaimana perbuatan itu sendiri.

Ayat yang dipakai untuk memperkuat pendapat itu adalah  surat Al-Insan:30

وَمَا تَشآَءُوْنَ اِلَّا اَنْ يَشَآء اللهُ

            “Tetapi kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah.”

yang oleh al-Asy’ari diartikan bahwa manusia tidak bisa menghendaki sesuatu, kecuali bila Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu. Jadi seseorang tidak bisa menghendaki pergi ke Makkah, kecuali jika Tuhan menghendaki seseorang itu supaya berkehendak pergi ke Makkah.Ini jelas mengandung arti kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan dan bahwa kehendak yang ada dalam diri manusia sebenarnya tidak lain dari kehendak Tuhan.

Salah satu risalahnya adalah yang ditulis oleh Hasan al-Bashri kepada sekelompok orang dari penduduk Bashrah yang menyiarkan paham Jabariyah. Dalam risalah itu tertulis:

“Barangsiapa tidak beriman kepada Allah serta ketentuan dan qadar-Nya, berarti telah kafir. Barangsiapa memikulkan dosanya kepada Tuhannya, berarti telah kafir. Sesungguhnya kepatuahan dan kedurhakaan terhadap Allah bukan atas dasar paksaan. Allah Maha Pemilik apa yang mereka miliki dan Maha Kuasa atas apa yang mereka kuasai. Jika mereka melakukan suatu ketaatan, Dia tidak ikut campur dalam perbuatan mereka itu. Jika mereka melakukan suatu kedurhakaan, maka kalauDia menghendaki, Dia akan ikut campur di dalamnya. Jika mereka tidak melakukan suatu perbuatan, Dia tidak akan memaksa mereka untuk melakukannya. Jika Dia memaksa seorang hamba untuk melakukan suatu ketaatan, niscaya gugurlah pahala perbuatan mereka, dan Jika Dia memaksa mereka untuk melakukan perbuatan maksiat, maka gugur pulalah dosa dari diri mereka. Sebaliknya, jika Dia membiarkan mereka, berarti Dia lemah dalam qudrah-Nya. Karena itulah, Dia menyembunyikan kehendak-Nya yang terdapat di dalam diri mereka sehingga jika mereka melakukan suatu ketaatan, maka sebenarnya itu merupakan kekuatan dari Allah.”

Diriwayatkan bahwa ‘ibn Abdullah bin ‘Abbas berkata, ‘Ketika saya duduk bersama ayahku, seorang laki-laki datang seraya berkata, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas, di daerah ini ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa mereka beranggapan dari pihak Allah dan Allah memaksa mereka untuk melakukan perbuatan maksiat.’ Ayahku berkata, ‘Jika saya mengetahui disini ada orang yang seperti itu, akan kucekik lehernya sampai mati. Janganlah kamu mengatakan bahwa Allah memaksa kamu untuk melakukan maksiat, dan jangan pula kamu mangatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang dilakukan hamba-Nya, karena hal itu berarti kamu, merasa lebih tinggi dari Allah.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa paham itu sudah ada sejak masa shahabat, bahkan dianut oleh orang-orang musyrik. Akan tetapi, perbedaan yang terdapat pada masa pemerintahan Bani Umayyah, bahwa pada masanya paham itu sudah berkembang menjadi suatu mazhab yang memiliki banyak pendukung. Mereka menyiarkan, mempelajari, dan menyebarluaskannya kepada masyarakat.

Menurut Asy Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu golongan ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya jika seorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka Jabariyah ekstrim adalah Jahm bin Shafwan dan Ja’d bin Dirham.

Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalam diri. Tenaga yng diciptakan dalam diri, manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquistin). Menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan. Diantara tokoh Jabariyah moderat adalah An-Najjar dan Adh-Dhirar.   

2.3 Pendapat dari Berbagai Aliran Tentang Qadariah dan Jabariah

      2.3.1  Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut AI-Juba'i dan Abd Al-Jabbra, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.

Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau berasal dari manusia sendiri? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?

Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.

Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukannya, kalangan Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Pendapat inilah yang membedakannya dari penganut Qadariyah murni.

Untuk membela fahamnya, aliran Mu’tazilah  mengungkapkan ayat berikut:

الّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ

Artinya :

"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya. (Q.S. As-Sajdah:7)

Yang dimaksud dengan ahsana pada ayat di atas, adalah semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian, perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat. Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya. Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari Tuhan tidak akan ada artinya.

Di samping argumentasi naqliah di atas, aliran Mu’tazilah mengemukakan argumentasi rasional berikut ini:

a.       Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, batallah taklif syar’i. Hal ini karena syariat adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab. Pemenuhan thalab tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.

b.      Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa'd wa al-wa’id (janji dan ancaman). Hal ini karena perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan kepadanya secara mutlak sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.

c.       Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah harus dibarengi kebebasan pilihan?

Konsekuensi lain dari faham di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal karena ajal itu ada dua macam, pertama, adalah al-ajal ath-thabi'i. Ajal inilah yang dipandang Mu'tazilah sebagai kekuasaan mutlak Tuhan untuk menentukannya. Adapun jenis yang kedua adalah ajal yang dibikin manusia itu sendiri, misalnya membunuh seseorang, atau bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan diperlambat. 

      2.3.2  Asy’ariah

Dalam faham Asy'ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah dari pada dengan faham Qodariyah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy'ari, pendiri aliran Asy’ariyah, memakai teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al-kasb Asy'ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan­perbuatannya.

Argumen yang diajukan oleh Al-Asy'ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:

والله خلقكم وما تعملون

Artinya :

"Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perhuat."(Q.S. Ash-Shaffat: 96)

Wa ma ta'malun pada ayat di atas diartikan Al-Asy'ari dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa yang kamu buat. Dengan demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-­perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam faham Asy'ari, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri.

Pada prinsipnya, aliran Asy'ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula –pada diri manusia– daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya. 

      2.3.3  Al-Maturidiyah

Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham Mutazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy'ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mutazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam Mutazilah.

Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.


BAB III

 KESIMPULAN

3.1        Free will dengan Qodariyah  sebenarnya sama, begitu pula Predistination dengan Jabariyah. Yang membedakan hanyalah istilahnya saja. Free will dan Predistination dalam bentuk Bahasa inggris, sedangkan Qodariyah dan Jabariyah dalam bentuk Bahasa arab.

3.2        Paham Qadariyah adalah nama yang dipakai untuk salah satu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebsan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Tokoh pemikirnya adalah Ma'bad al-Jauhani. Dalam ajarannya, aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyi kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksankan kehendaknya itu. Sedangkan Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Tokoh pemikirnya adalah al-Ja'ad ibn Dirham. Aliran Jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.

3.3        Beberapa golongan yang menganut faham Free will dan Predistination, diantaranya:  kaum Mu’tazilah yang menganut faham Free will atau Qodariyah, kaum Asy’ariyah, menganut faham Predistination atau Jabariyah, dan kaum Al-Maturidiyah, yang terbagi menjadi dua, yaitu: Maturidiyah Samarkhan, yang agak condong ke faham Qodariyah, dan Maturidiyah Bukhara, lebih condong pada faham Jabariyah.

Dari kedua faham tersebut, semuanya adanya faham-faham yang salah mengenai manusia dan Tuhan dalam menentukan suatu perbuatan baik buruk ataupun dosa atau tidak. Karena pada hakekatnya manusia diberi akal dan pikiran untuk berbuat dan berusaha, sedangkan nantinya Allah lah yang menentukan hasilnya. Sesuai dengan ajaran-ajaran ahlussunnah wal Jama’ah, yang menetapkan pokok-pokok kepercayaan menurut prinsip-prinsip yang sesuai dengan tujuan akal pikiran.

 DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun.2008.Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.Jakarta : UI-Press

Zainuddin.1992.Ilmu Tauhid Lengkap.Jakarta : Rineka Cipta

                   Syihab.1998.Akidah Ahlus Sunnah Versi Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya.Jakarta : Bumi Aksara

                      Supiana dan M.Karman.2001.Materi Pendidikan Agama Islam.Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Abbas, Siradjuddin.2006.I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah.Jakarta:Pustaka Tarbiyah

Rozak, Abdul dan Rosuhan Anwar.2001.Ilmu Kalam.Bandung:Pustaka Setia

Zahrah, Imam Muhammad Abu.1996.Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam.Jakarta:Logos Pulishing House.

//pemudabugis.multiply.com/journal/item/20?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem


Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA