5 masalah teratas dalam pendidikan 2022

Menjadi seorang mahasiswa memang gak selalu mudah guys. Kadang banyak sekali tantangan hingga masalah yang dihadapi di dunia perkuliahan. Ini nih yang kerap kali bikin menghambat masa studi kamu di perguruan tinggi. 

Eits, jangan khawatir dulu ya sobat. Meskipun banyak masalah bukan berarti kamu harus terpuruk. Masih ada kok jalan keluar yang bisa kamu ambil. 

Nah, berikut adalah 5 masalah yang sering dialami mahasiswa dan solusinya.  

1. Sulit mengatur waktu 

Saking banyaknya kegiatan yang diikuti, maka tak heran jika seorang mahasiswa sulit mengatur waktu. Mereka gak bisa memprioritaskan kegiatan mana yang lebih penting. Alhasil banyak hal yang harus dikorbankan. 

Biar kamu gak kejebak sama permasalahan ini, kamu harus benar-benar membuat skala prioritas guys. Kamu harus bisa menyusun tingkat urgensi dari permasalahan ini. So, kamu gak akan tuh terjebak dengan sulit mengatur waktu. 

Baca juga: 5 Tips Mendapatkan IP Tinggi Dalam Perkuliahan Offline & Daring

2. Masalah finansial

Masalah finansial bisa dikatakan sebagai salah satu momok berbahaya saat menjalani dunia perkuliahan. Nah, sebagai seorang mahasiswa yang baik kamu harus bisa mengatur finansial dengan baik. Caranya dengan membuat pos keuangan kamu setiap awal bulan. Jangan sampai kamu boros dan foya-foya selama menempuh masa kuliah. 

3. Konflik batin dengan dosen

Nah, yang satu ini sering terjadi di dunia perkuliahan. Mahasiswa yang mulai memasuki masa mengerjakan skripsi biasanya kerap mengalami konflik batik dengan dosen. 

Biar kamu gak mengalami hal serupa, yuk mulai sekarang bangun komunikasi yang baik dengan dosen. Di samping itu kamu juga harus bisa menempatkan diri dengan baik ya. 

4. Nilai turun

Permasalahan yang sering terjadi adalah nilai yang turun terus menerus. Ini nih yang bikin kamu suka down saat memasuki masa perkuliahan. Nilai turun masih bisa diperbaiki kok. Asalkan kamu terus berusaha dan belajar semaksimal mungkin. 

Oh iya sobat, biar nilai kamu terus naik masih banyak cara yang bisa kamu lakukan. Seperti halnya, membuat jadwal belajar rutin dan memperhatikan perkuliahan ketika dosen mengajar. 

5. Gak bisa mengatur emosi

Ini nih yang bikin fatal. Menjadi seorang mahasiswa harus belajar tahan banting guys. Berada di dunia perkuliahan itu ibarat kamu berada di sebuah gurun untuk mencari air. Kamu harus mengerahkan seluruh tenaga agar bisa survive dalam mencapai tujuan. 

Jika kamu kesulitan untuk mengatur emosi di dunia perkuliahan, kamu bisa melakukan meditasi diri atau berbagi cerita dengan sobat kamu. Dijamin ampuh deh!

Baca juga: MABA, Ini 5 Tips Produktif Mengawali Perkuliahanmu

Jadi begitu guys, cara jitu yang bisa kamu ambil kalau sedang menghadapi permasalahan di dunia perkuliahan. Selamat mencoba! 

Oh iya hampir aja lupa, hiihi. Kalau sobat Miku pingin kepoin informasi seputar perkuliahan, langsung aja yuk kunjungi maukuliah.id. Di sini kamu bakal dapat banyak insight baru seputar dunia pendidikan dan perkuliahan. 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama Results Internasional menyebut ada tiga permasalahan utama pendidikan di Indonesia. Masing-masing, yakni kualitas guru, sekolah yang tidak ramah anak dan deskriminasi terhadap kelompok marginal.

"Ada tiga isu strategis yang perlu mendapat perhatian," kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam Seminar Internasion dan Laporan Right to Education Index (RTEI) 2016 di Jakarta, Kamis (23/3).

Ia menyebut, penelitian RTEI mengukur lima faktor utama, yakni pemerintahan, ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan adaptasi. Dari lima faktor itu, Indonesia mendapatkan skor 77 persen untuk laporan pendidikan. Namun, posisi Indonesia sejajar dengan Nigeria dan Honduras. 

Ironisnya, ia menyebut, kualitas pendidikan Indonesia berada di bawah Filipina (81 persen) dan Etiopia (79 pensen). Penelitian itu menempatkan Inggris (87 persen) di urutan teratas. Disusul, Kanada (85 persen) dan Australia (83 persen).

Ubaid menjelaskan, kualitas guru yang rendah disebabkan rasio ketersediaan guru, khususnya di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Berdasarkan hasil uji kompetensi guru pada 2016 menunjukkan nilai di bawah standar. Ia menyebut, hal tersebut tidak sebanding dengan anggaran yang dialokasikan untuk gaji guru.

Sementara itu, Ubaid menjelaskan, hasil penelitian menunjukkan, lingkungan sekolah di Indonesia belum ramah anak. Ia mencontohkan, hal itu terlihat dari masih maraknya kekerasan di sekolah, baik fisik maupun bukan fisik.

Ia menyebut, setidaknya ada enam tipe kekerasan utama yang terus terulang di lingkungan sekolah. Yakni, penganiayaan guru terhadap siswa, siswa terhadap guru, sesama siswa wali murid kepada guru, pelecehan seksual dan tawuran antarsekolah.

Selain itu, Ubaid menyebut, akses pendidikan bagi kelompok marginal masih rendah. Kelompok marginal yang masuk kategori ini adalah perempuan, anak di penjara, kelompok difabel, anak keluarga miskin, dan para pengungsi. Ia mengingatkan, di Indonesia ada banyak pengungsi dari berbagai negera, seperti, Myanmar, Irak, Somalia, Afganista dan Palestina.

Ubaid menyebut, JPPI dan Results Internasional merekomendasikan sejumlah hal untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Pertama, meningkatkan kualitas guru butuh komitmen jelas pemerintah dalam mengembangkan kapasitas guru. Pemerintah harus punya peta jalan yang jelas, terukur dan berkesinambungan. 

Juga evaluasi dan pemantauan harus dilakukan secara berkala. Sebab, dikhawatirkan kualitas guru akan terus menjadi dilema berkepanjangan.

Kedua, pemerintah harus memberikan sanksi tegas terhadap pihak yang melakukan kekerasan di lingkungan sekolah. Hal itu bertujuan untuk menciptakan rasa aman dan ramah anak di sekolah. Selain itu, pemerintah harus mendorong sekolah dan orang tua aktif berpartisipasi dan mengontrol sekolah.

Ketiga, Ubaid menjelaskan, perlu kebijakan afirmasi untuk kelompok marginal atas diskriminasi pendidikan yang dialami kelompok itu. Sebab, masih banyak anak tidak bisa sekolah karena identitas yang tidak sesuai dengan domisili.

Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud, Hendarman menyebut, hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki dan mengatasi sejumlah permasalah pendidikan. Kendati demikian, ia mempertanyakan rendahnya hasil yang diperoleh Indonesia dalam peneltian itu. 

Apa saja permasalahan dalam pendidikan?

Masalah Pendidikan di indonesia.
Bahan belajar mengajar yang masih minim. ... .
Sarana dan prasana yang kurang memadai. ... .
Profesionalitas Guru yang kurang. ... .
Kurikulum pembelajaran. ... .
Dana pemerintah..

Apa masalah terbesar dalam pendidikan?

Masalah kompetensi guru yang rendah ini merupakan masalah terbesar yang harus dihadapi oleh tokoh-tokoh pendidikan negara Indonesia.

Apa saja masalah terbesar pendidikan di Indonesia?

Berbagai masalah pendidikan di indonesia ini sangatlah banyak diantaranya dari segi (1) rendahnya layanan pendidikan di Indonesia,(2) rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, (3) rendahnya mutu pendidikan tinggi di Indonesia, (4) rendahnya kemampuan literasi anak-anak Indonesia.

Masalah apa yang sulit diatasi di bidang pendidikan?

Rendahnya pemeretaan pendidikan. 2. Rendahnya mutu pendidikan. 3. Rendahnya relevansi pendidikan dengan tuntunan masyarakat. 4. Rendahnya Efekktivitas pendidikan.

  • Oleh
  • 01/07/202103/02/2022

Inggris menyambut ratusan ribu siswa internasional setiap tahun dan tetap menjadi tujuan populer untuk pendidikan sejak lama. Namun, sistem pendidikan Inggris bukan tanpa tantangannya sendiri, dan beberapa dari mereka mengejutkan. Mari kita lihat beberapa tantangan terbesar yang dihadapi oleh sekolah dasar dan menengah di Inggris, dan bagaimana kami dapat membantu.

Tantangan dalam Pendidikan: Pemotongan Anggaran

Underfunding adalah salah satu tantangan terbesar dalam pendidikan. Ini juga merupakan salah satu yang menimbulkan sejumlah masalah lain. Pada tahun lalu, sumber daya sekolah telah tersebar sangat tipis karena pandemi. Penghasilan dari leasing out fasilitas dan tempat telah hilang dan pengeluaran tambahan telah dikeluarkan pada Covid Essentials termasuk APD, persediaan pembersih, papan nama dan peralatan digital.

Terlepas dari harapan sektor pendidikan, & NBSP; Anggaran pengambilan Covid senilai £ 1,4 miliar pemerintah untuk sekolah-sekolah ternyata kurang dari sepersepuluh dari £ 15 miliar yang direkomendasikan oleh Komisaris Pemulihan Pendidikan untuk Inggris.

Dan ini hampir tidak luar biasa. Menurut Institute for Fiscal Studies (IFS), pengeluaran sekolah per murid di Inggris turun 9% secara riil antara 2009-10 dan 2019-20, pemotongan terbesar dalam lebih dari 40 tahun. Underfunding telah menjadi masalah yang berkelanjutan dalam pendidikan selama bertahun -tahun. Schools dengan defisit anggaran menjadi rusak dan dibiarkan memutuskan apa yang harus disimpan dan apa yang harus dibuang mengingat sumber daya yang terbatas. Ukuran kelas terus tumbuh.

Sejak 2010, ada peningkatan 258% dalam jumlah murid sekunder di kelas 36 atau lebih. Dalam kasus yang lebih ekstrem, jam sekolah harus dikurangi untuk menghemat biaya, dengan siswa diminta untuk datang terlambat atau pulang lebih awal. Menurut survei Dewan London pada tahun 2017, 42% sekolah telah memotong staf pengajar untuk menghemat biaya. Luas kurikulum sering dikurangi, dengan bahasa, komputasi, desain dan teknologi dan musik yang paling terpengaruh. Program berharga seperti dukungan untuk anak -anak dengan kebutuhan pendidikan khusus juga dikompromikan.

Tantangan dalam Pendidikan: Kekurangan Guru

Ini sebagian akibat dari defisit anggaran, karena sekolah yang kurang dana dipaksa untuk berhemat. Mengurangi jumlah asisten pengajar dan guru serta memotong pengeluaran sumber belajar adalah tiga tanggapan yang paling umum terhadap tekanan keuangan di sekolah menengah. Sebagai hasil dari pengurangan staf, guru diminta untuk mengambil tugas tambahan, dari mengajar mata pelajaran tambahan dan memberikan pengawasan makan siang hingga pembersihan dan tugas lainnya. Dikombinasikan dengan ukuran kelas yang tumbuh, ini meningkatkan masalah kelas karena murid menerima lebih sedikit perhatian individu dari guru.

Di samping pemotongan anggaran, kekurangan guru yang memenuhi syarat telah menjadi tantangan yang berkelanjutan. Guru sekolah menengah di Inggris turun 7% dari 2007 hingga 2019, sementara jumlah murid tetap sama dan diperkirakan akan meningkat sebanyak 10% pada tahun 2023. & nbsp; & nbsp;

Subjek seperti matematika, ilmu pengetahuan dan bahasa telah melihat kekurangan terburuk dari guru yang berkualitas, karena lulusan dari mata pelajaran ini sering tertarik pada pekerjaan selain mengajar yang menawarkan upah lebih tinggi. Bagaimanapun, baik guru negara bagian dan independen bekerja rata -rata 55 jam per minggu. Banyak sekolah berjuang untuk merekrut guru dengan gelar dalam mata pelajaran ini dan sebanyak setengah dari semua guru dari mata pelajaran ini meninggalkan profesi guru setelah lima tahun.

Memang, kekurangan guru sangat parah untuk sekolah di kota dan ini bukan hanya masalah anggaran sekolah. Dengan siswa yang berasal dari beragam budaya, agama dan posisi sosial ekonomi, perawatan dan dukungan ekstra, yang sering kali menghasilkan beban kerja tambahan dan stres bagi para guru. Mereka sering bersedia mengajar di sekolah swasta untuk gaji yang lebih rendah karena pekerjaan itu lebih mudah mengingat ukuran kelas yang lebih kecil dan siswa dari latar belakang yang kurang rumit.

Tantangan dalam Pendidikan: Penilaian berlebihan

Semua akan setuju bahwa sejumlah tes dan penilaian diperlukan untuk mengkonsolidasikan pembelajaran dan meminta pertanggungjawaban penyedia pendidikan. Namun, kadang -kadang efek penilaian formal konstan pada anak -anak dan guru diabaikan. & NBSP;

Sebuah survei tentang orang tua anak -anak di sekolah dasar di Inggris menemukan bahwa sebagian besar orang tua tidak menyadari bahwa anak -anak menjalani tes hukum dalam lima dari tujuh tahun utama, yang sebagian besar berfokus pada bahasa Inggris dan matematika. 73% orang tua yang disurvei setuju bahwa anak -anak berada di bawah tekanan terlalu banyak karena pengujian standar. 61% mengatakan bahwa anak mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka belajar bahasa Inggris dan matematika dalam persiapan untuk SAT.

In order to achieve good results, it is inevitable that more teaching hours are spent on skills required to score in exams as well as subjects that carry more weight in assessment, and creative and non-academic subjects are often compromised. A survey in 2019 on the effect of SATs reveals that 90% of responding primary school headteachers believe that the curriculum is narrowed to prepare for the tests in Year 6 and 52% agreed it was narrowed in other year groups too. On the whole, 80% of headteachers agree that SATs have a negative effect on pupils’ wellbeing.

Formal assessment also has a negative impact on teachers and schools. Extra workload aside, the pressure of preparing pupils for “the big test” that makes or breaks the future prospects of both the pupils and the school is not to be underestimated.

Challenges in education: Inadequate access to technology

While most of us are used to the idea of working on computers, classrooms in the minds of many are places where children work with pen and paper and where electronic devices are a distraction. It was during the pandemic that we realised how the lack of access to technology is affecting children’s learning, and how far schools are behind in preparing children for a future driven by technology. 

A 2020 survey conducted for Lenovo on teachers across the UK found that 65% of teachers want more training to utilise existing technology, and nearly 70% believe more computers are needed for students, with London reporting an average of 11 students sharing a computer at school. More than a quarter of schools do not offer extra-curricular opportunities to develop digital skills.  

While there are learning resources for different age groups online and schools had to take lessons online during the Covid lockdowns and self-isolation, many low-income families could not afford laptops and Wi-Fi connection for their children. Another survey published by Microsoft in 2020 found that just 1% of primary state schools provide devices that their pupils can take home, compared with 38% of private primary schools. At secondary level, 7% of secondary state schools provide take home devices, while 20% of private secondary schools do so. As such, the digital divide is putting the poorest pupils at a disadvantage and contributing to the attainment gap between rich and poor children in the UK.

Challenges in education: Inequality

Inequality is arguably the most pressing current issue in education today and a culmination of all the problems mentioned above. Due to the lack of resources both at school and at home in deprived areas, children from low-income families or with special education needs are more severely affected by these problems than their more affluent peers. 

Schools in deprived areas face more difficulty in recruiting qualified teachers and have smaller budgets for electronic equipment. Disadvantaged children also lack the home learning environment enjoyed by their peers, an important factor contributing to the learning gap that had widened by 46% over the school closures during the pandemic. In the long term the attainment gap between the rich and the poor can be life-changing. Poorer students in sixth forms and colleges trail their more affluent peers by an average of three A-Level grades when taking qualifications at this level.  

Although significant efforts have been made over the years to narrow the education gap, a lot remains to be done. The Education Policy Institute (EPI) argues that the government’s commitment to “level-up” funding, contrary to what it sounds like, directs additional funding towards schools that historically receive less funding because they are in more affluent areas with fewer disadvantaged pupils eligible for additional funding. In 2020, schools serving more deprived pupils in England have already seen the largest falls in spending per pupil over the last decade. The government’s new National Funding Formula will deliver funding increases of 3–4 percentage points less to schools in poorer areas than to those in more affluent areas up to 2021.

You can help, get involved!

Is there anything I can do to help children affected by these deep-rooted problems, you may ask? Volunteering may be the answer. While we cannot make the problems go away, everyone can give a bit of time and make a difference in the lives of those who are somewhat left behind in the system. 

Simply check out your council’s website for school volunteering opportunities in your area, or reach out to schools nearby to see if they need help with mending school facilities, helping out at school events, or donations of electronic devices that you no longer need. If you are a professional with valuable skills to share that are not sufficiently covered at school, or if you think your career story can inspire young children to strive for a brighter future, organisations such as 1HOUR offers remote sessions where you can share your knowledge with school children wherever you are. Learn more about volunteering opportunities at schools. 

Apa masalah utama pendidikan?

Pertimbangkan daftar 10 tantangan utama yang saat ini dihadapi sekolah umum, berdasarkan perspektif banyak yang terlibat dalam dunia pendidikan hari ini ...
Ukuran kelas ..
Poverty..
Faktor keluarga ..
Technology..
Bullying..
Sikap dan perilaku siswa ..
Tidak ada anak yang tertinggal ..
Keterlibatan orang tua ..

Apa 3 masalah terbesar yang menghalangi sekolah saat ini?

Kami telah menguraikan 3 tantangan berikut yang dihadapi pendidikan hari ini ... dan bagaimana menyelesaikannya ...
Masalah #1: Perlawanan terhadap perubahan.....
Masalah #2: Anggaran pendidikan yang tidak fleksibel.....
Masalah #3: Strategi pengembangan profesional yang sudah ketinggalan zaman ..