3 sebutkan isi amanat sri sultan hamengkubuwono ix pada 5 september 1945

Ketika sebuah negara baru lahir di negeri ini, 17 Agustus 1945, dengan dikumandangkannya proklamasi oleh Soekarno dan Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera mengambil sikap. Dua hari setelah proklamasi, beliau mengirim telegram ucapan selamat kepada para proklamator. Dua minggu setelahnya, tepatnya tanggal 5 September 1945, beliau bersama Paku Alam VIII, mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Yogyakarta dengan demikian resmi memasuki abad modernnya, dimana dia bukan lagi sebuah entitas negara sendiri, tetapi bagian dari negara republik. Langkah beliau yang didukung sepenuhnya oleh rakyatnya ini, di kemudian hari dibuktikan dengan pengabdian yang total. Ketika negara yang baru lahir ini menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial yang datang kembali, beliau mengundang para tokoh bangsa untuk pindah ke Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa Yogyakarta siap menjadi ibukota negara Republik yang baru berdiri tersebut.

Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap republik juga ditunjukkan melalui dukungan finansial. Selama pemerintahan republik berada di Yogyakarta, segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton. Hal ini meliputi gaji Presiden/ Wakil Presiden, staff, operasional TNI hingga biaya perjalan dan akomodasi delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri tidak pernah mengingat-ingat berapa jumlah yang sudah dikeluarkan. Bagi beliau hal ini sudah merupakan bagian dari perjuangan. Bahkan beliau memberi amanat kepada penerusnya untuk tidak menghitung-hitung apalagi meminta kembali harta keraton yang diberikan untuk republik tersebut.

Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran staff kabinet RI harus kembali ke Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan pesan perpisahan dengan sangat berat hati. Ujarnya, “Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta”. Demikianlah Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjalankan sabda pandita ratu-nya, sesuai telegram yang beliau kirim dua hari setelah proklamasi, bahwa beliau “sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.

Sejarah mencatat bahwa perjuangan Indonesia menuju bentuknya saat ini mengalami fase pasang surut. Di ujung berakhirnya era Orde Lama, ketika Soeharto mengambil alih kendali pemerintahan, kepercayaan negara-negara dunia kepada Indonesia sedang berada di titik terendah. Tak satupun pemimpin dunia yang mengenal Soeharto. Indonesia sebagai negara juga sedang dijauhi karena sikap anti-asing yang sangat kuat di era akhir Order Lama. Di saat seperti ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun menyingsingkan lengan bajunya, keliling dunia untuk meyakinkan para pemimpin negara-negara tetangga bahwa Indonesia masih ada, dan beliau tetap bagian dari negara itu. Dengan demikian kepercayaan internasional pelan-pelan dapat dipulihkan kembali.

Seiring perjalanan Republik Indonesia sebagai negara, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. Selain menjadi pejuang pejuang kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) hingga Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949). Di masa kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) hingga masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950) beliau menjabat Menteri Pertahanan. Dan menjadi Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951). Beliau masih terus menjabat berbagai jabatan di tiap periode hingga pada tahun 1973 menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua. Jabatan tersebut diemban sampai pada tanggal 23 Maret 1978, ketika beliau menyatakan mengundurkan diri.

Selain berperan di bidang politik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Khusus mengenai kepanduan ini, beliau menyandang medali Bronze Wolf dari organisasi resmi World Scout Committee (WSC) sebagai pengakuan atas sumbangsih seorang individu kepada kepanduan dunia.

Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, ketika beliau berkunjung ke Amerika, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di George Washington University Medical Center. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja di Imogiri, diiringi oleh lautan massa yang ikut berduka. Pada saat itu, pohon beringin Kyai Wijayandaru di Alun-alun Utara, mendadak roboh, seakan pertanda duka yang mendalam.

Berdasar SK Presiden Repulik Indonesia Nomor 053/TK/Tahun 1990, pada tanggal 30 Juli 1990, atas jasa-jasa beliau kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Sumber : kratonjogja.id

Sri Sultan Hamengkubuwono IX sejak zaman pendudukan Belanda dan Jepang di Indonesia tidak mau bekerjasama dengan para penjajah. Pada tanggal 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX atau lebih dikenal dengan Sultan HB IX bersama dengan Paku Alam VIII sebagai pemimpin Keraton Yogyakarta menyatakan dukungannya yang penuh kepada kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan pernyataan ini, maka Republik Indonesia kembali mendapatkan bukti yang nyata adanya pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan.

Dengan demikian, pernyataan Sri Sultan HB IX bersama dengan Paku Alam VIII pada tanggal 5 September 1945 adalah mengenai ketegasan dukungannya pada kemerdekaan RI dan menyatakan Yogyakarta adalah bagian dari Republik Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengambil sikap yang jelas terkait berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap ini dikukuhkan dalam amanat Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada 5 Maret 1945, tepat 72 tahun yang lalu.

Sebelumnya, sehari setelah proklamasi Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim telegram ucapan selamat dan pernyataan dukungan terhadap Republik Indonesia.

Pernyataan tersebut kemudian disusul dengan maklumat resmi berisi pernyataan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam dengan Indonesia. 

Dalam catatan kerabat Keraton Yogyakarta Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo, seperti dilansir Antara, pernyataan itu meneguhkan bahwa Yogyakarta merupakan wilayah pertama di NKRI. Saat itu, tidak ada satu kerajaan maupun negara-negara bentukan Belanda yang menyatakan bergabung dengan NKRI.

"Pernyataan bergabungnya Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam NKRI memiliki nilai strategis yang luar biasa, karena saat itu meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, namun kolonialis Belanda selalu menyatakan mana wilayahmu sebagai sebuah negara," katanya.

Dengan pernyataan bergabungnya wilayah Yogyakarta ke NKRI, Indonesia yang baru merdeka tersebut memiliki wilayah kedaulatan. Langkah ini pun kemudian diikuti wilayah-wilayah lain termasuk kerajaan-kerajaan di Nusantara yang dibentuk Belanda

"Ini merupakan pengorbanan luar biasa dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII yang sangat luar biasa, dari sebelumnya sebagai seorang penguasa penuh atas wilayah Yogyakarta, menjadi harus mengikuti aturan pemerintah NKRI," katanya.

Ia menambahkan pengorbanan yang tidak kalah pentingnya adalah ketika NKRI berdiri, maka harus mencetak Oeang/uang Republik Indonesia (ORI). Hal itu harus dibarengi adanya jaminan uang emas di Bank Indonesia.

"Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan ikhlas memberikan emas batangan milik Keraton Yogyakarta sebagai jaminan, dan sampai saat ini keluarga keraton tidak pernah mengungkit-ungkit serta meminta kembali," katanya.

Kemudian saat para pemimpin negara kesulitan menjalankan pemerintahan di Jakarta seiring aksi-aksi Belanda, pada Januari 1946 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengundang para pemimpin Republik Indonesia untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Dengan menaiki kereta api yang berjalan dalam gelapnya malam, rombongan pembesar negara mengungsi ke Yogyakarta.

Atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Yogyakarta kemudian menjadi ibu kota republik. Selama berada di Yogyakarta, seluruh biaya operasional, akomodasi, hingga gaji pejabat negara Indonesia ditanggung sepenuhnya oleh Keraton Yogyakarta.

Isi Maklumat 5 September

Berikut salinan pernyataan dari Sultan HB IX dan Adipati Pakualam VIII pada 5 September 1945; 

Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:

Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.

Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.

Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.

Ngajogjakarta Hadiningrat,

28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta
Hadiningrat menjatakan:

Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada di tangan Kami dan
kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.

Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman
mengindahkan Amanat Kami ini.

Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945