Nabi dan rasul hanya memberikan peringatan kepada umatnya sedangkan yang memberi hidayah adalah

Allah SWT berik petunjuk bagi siapapun yang dikehendaki

Jumat , 09 Jul 2021, 18:05 WIB

Allah SWT berik petunjuk bagi siapapun yang dikehendaki. Berdoa kepada Allah/ilustrasi

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak Allah SWT. Tidak ada sesuatupun yang terjadi di luar kehendak-Nya. 

Baca Juga

Allah memberikan petunjuk dan memudahkan seseorang beriman, bila orang itu mau memahami dan mengamalkan ayat-ayat yang telah disampaikan kepada para rasul-Nya. 

Sebagai konsekuensi ketidakpercayaan, Allah memandang hina dan mengazab setiap orang yang tidak mau memahami dan mengamalkan ayat-ayat-Nya. Kendati demikian, urusan hidayah pada dasarnya adalah hak prerogatif Allah SWT. 

Mengutip Tafsir Alquran Al-Adhim, karya Ibnu Katsir, berikut ini 10 ayat yang menegaskan otoritas hidayah hanya ada pada Allah SWT:

Yunus ayat 99-100

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (99) وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ (100

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya."

Hai Muhammad, niscaya Dia mengizinkan seluruh penduduk bumi untuk beriman kepada apa yang disampaikan olehmu kepada mereka, lalu mereka beriman semuanya. Akan tetapi, hanya Allah-lah yang mengetahui hikmah dalam semua apa yang dilakukan-Nya. Pengertiannya semakna dengan ayat lain yang disebutkan melalui firmannya.  

Hud ayat 118-119 

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan; sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”

Ar Raad ayat 31

أَفَلَمْ يَيْأَسِ الَّذِينَ آمَنُوا أَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيعًا “Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya.” 

Fathir ayat 8

يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ “Dia menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya, maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.” 

Al Baqarah ayat 272

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al Baqarah 272)

Asy Syuara ayat 3

لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ أَلا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ “Boleh jadi kamu (Muhammad) membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman.”

Al Qashash ayat 56

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu sukai.” 

Ar Raad 40

فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ “Karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedangkan Kamilah yang menghisab amalan mereka.” 

Al Ghasyiyah ayat 21-22 

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصيْطِرٍ “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan, kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”  

Rasulullah diutus oleh Allah dengan dua tugas yang saling melengkapi: pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Kata Allah, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.” (QS Al-Furqan 25:56). Kabar gembira tersebut diberikan kepada orang mukmin yang akan mendapatkan karunia yang besar dari Allah (QS Al-Ahzab 33:47).

Karenanya, seorang mukmin harus selalu menjaga optimisme dan harapan. Jangan sampai berputus asa dari rahmat Allah. Bahkan, meski kita pernah melampaui batas dan berbuat dosa (QS Az-Zumar 39:53- 54). Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Opmitisme tersebut diseimbangkan dengan peringatan yang diberikan Allah melalui Rasulullah, supaya tidak kebablasan.

Kabar gembira dan peringatan ini pun diberikan oleh Rasulullah ketika masa wabah.

Apa kabar gembiranya? Ketika Rasulullah ditanya seorang sahabat tentang wabah, Beliau menjawab: “Wabah adalah azab yang dikirim oleh Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tetapi Dia menjadikannya rahmat untuk kaum mukmin. Siapa saja  tinggal di sebuah kota yang terjangkiti wabah dan dia tetap tinggal di dalamnya dan tidak meninggalkan kota tersebut, tetapi bersabar dan penuh harapan kepada rida Allah, dan mengetahui bahwa wabah tidak akan menimpa kecuali sudah ditulis Allah untuknya, maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang yang mati syahid” (Sahih Al-Bukhari 5734).

Dalam hadis lain, Rasulullah menyatakan bahwa “Mati karena wabah adalah syahid bagi setiap muslim” (Sahih Al-Bukhari 2830). Kesyahidan kematian karena wabah, disamakan dengan kematian karena sakit lambung, tenggelam, terkubur bangunan runtuh, terbakar, dan melahirkan. Semuanya disamakan dengan kesyahidan mati di jalan Allah (Sahih Muslim 1914; Sunan Ibnu Majah 2909).

Seperti tersurat dalam hadis di atas, perlu dicatat di sini, kematian ini bukan sesuatu yang diniatkan alias sengaja memaparkan diri dengan wabah.

Peringatan Rasulullah sangat jelas dalam sebuah hadis lain. Kata Rasulullah, “Ketika kami mendengar adanya wabah di sebuah daerah, maka jangan memasukinya, dan ketika kamu berada di daerah yang terkena wabah, maka jangan keluar darinya” (Sahih Al-Bukhari 5728).

Pesan dalam hadis tersebut sangat jelas, bahwa ikhtiar terbaik harus dilakukan, untuk tidak memaparkan diri kepada penyakit, dan sebaliknya tidak memaparkan penyakit kepada orang lain.

Saat ini, ketika wabah Covid-19 menyerang umat manusia, maka mematuhi orang-orang yang ahli di bidang kesehatan untuk tidak terpapar atau memaparkan penyakit menjadi wajib. Ikhtiar tersebut antara lain dapat berupa menjaga jarak fisik dan memakai masker. Pastikan kita lakukan ini dengan tetap bergembira. Ini perintah agama, bukan hanya imbauan pemerintah.

Mari, kita jaga optimisme. Jangan kita berputus asa dari rahmat Allah. Jangan lupa terus berikhtiar diiringi dengan doa tanpa lelah dan penuh harap, semoga Allah segera mengangkat wabah ini.

Allah menyatakan bahwa Dia akan mengikuti prasangka hamba kepadaNya (Sahih Al-Bukhari 7505). Mari bergembira dalam beragama.

Elaborasi ringan dari materi khutbah Jumat di Masjid Syuhada, 17 Juli 2020.

HIDAYAH HANYA MILIK ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Oleh
Abu Nida` Chomsaha Sofwan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ٨:٥٦

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. [Al Qashash/28 : 56]

Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan meninggalnya Abu Thalib dalam keadaan tetap memeluk agama Abdul Muththalib (musyrik). Hal ini sebagaimana ditunjukkan hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Al Musayyab, bahwa bapaknya (Al Musayyab) berkata: ‘Tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam bergegas mendatanginya. Dan saat itu, ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai, pamanku. Ucapkanlah la ilaha illallah; suatu kalimat yang dapat aku jadikan pembelaan untukmu di hadapan Allah,’. Akan tetapi, ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal menimpali dengan ucapan : ‘Apakah engkau (Abu Thalib) membenci agama Abdul Muththalib?’. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi sabdanya lagi. Namun mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap di atas agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan La ilaha illallah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang”. Lalu Allah menurunkan firmanNya:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ٩:١١٣

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”. [At Taubah/9 : 113]

Adapun mengenai Abu Thalib, Allah berfirman:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki”. [Al Qashash/28 : 56].

Dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dapat dipetik beberapa manfaat dan pelajaran, sebagaimana akan kami sebutkan berikut ini.

Pertama : Dalam kitab Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh menukil perkataan Ibnu Katsir rahimahullah tentang tafsir ayat ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada RasulNya, ‘Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau kasihi,’ artinya, (memberi hidayah atau petunjuk) itu bukan urusanmu. Akan tetapi, kewajibanmu hanyalah menyampaikan, dan Allah akan memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia-lah yang memiliki hikmah yang mendalam dan hujjah yang mengalahkan. Hal ini sesuai dengan kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: ‘Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat hidayah, akan tetapi Allah-lah yang memberi hidayah (memberi taufiq) kepada siapa yang Dia kehendaki. (Al Baqarah : 272). Begitu juga firmanNya: Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf:103).”

Dalam kitab At Tamhid Li Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh berkata: ‘Hidayah yang dinyatakan oleh Allah tidak dimiliki oleh Rasulullah Shllallahu ‘alaihi wa sallam di sini ialah hidayah taufik, ilham dan bantuan yang khusus. Hidayah inilah yang disebut oleh ulama sebagai hidayah at taufiq wal ilham. Yaitu, Allah Subhanahu w Ta’ala menjadikan dalam hati seorang hamba kemudahan secara khusus untuk menerima petunjuk; sebuah bantuan kemudahan yang tidak diberikan kepada orang selainnya. Jadi, hidayah taufik ini, secara khusus diberikan Allah kepada orang yang Dia kehendaki, dan pengaruhnya orang tersebut akan menerima petunjuk dan berusaha meraihnya. Oleh karena itu, memasukkan hidayah ini ke dalam hati seseorang bukanlah tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab hati hamba berada di tangan Allah, Dia yang membolak-balikannya sesuai dengan kehendakNya. Sehingga orang yang paling Beliau cintai sekalipun, tidak mampu Beliau jadikan menjadi seorang muslim, yang mau menerima petunjuk”.

Meskipun Abu Thalib merupakan kerabat Nabi yang banyak berjasa kepadanya, namun Beliau tidak mampu memberinya hidayah taufik.

Adapun jenis hidayah yang kedua, berkaitan dengan hamba yang mukallaf, yaitu hidayah ad dilalah wal irsyad (memberi penjelasan dan bimbingan). Allah menetapkan jenis hidayah ini ditetapkan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus, seluruh nabi dan rasul, dan setiap dai yang menyeru manusia kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ ۖ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi hidayah”. [Ar Ra‘d/13 : 7].

Baca Juga  Hukum Hanya Milik Allah

Dan Allah berfirman tentang diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ صِرَاطِ اللَّهِ

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memberi hidayah kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan Allah”. [Asy Syura/42 : 52-53]

Makna “engkau memberi hidayah” di sini ialah, engkau memberi petunjuk dan bimbingan ke jalan yang lurus dengan beragam petunjuk dan bimbingan, dengan didukung oleh sejumlah mukjizat dan bukti yang menunjukkan kejujuran dan kebenaran Beliau sebagai seorang pemberi petunjuk dan bimbingan.

Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi berkata dalam catatan kakinya terhadap kitab Fathul Majid: “Kata hidayah, dipakai untuk makna memasukkan petunjuk ke dalam hati, dengan mengubah haluannya dari kesesatan, kekufuran dan kefasikan, menuju petunjuk, keimanan dan ketaatan, dan membuatnya tetap lurus, teguh di atas jalan Allah. Hidayah seperti ini, khusus hanya dimiliki Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang berkuasa membolak-balikkan hati dan mengubahnya, serta memberi hidayah atau menjadikan tersesat jalan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang diberi Allah petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Berdasarkan ayat ini diketahui, bahwa petunjuk semacam ini tidak terdapat pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi orang selain Beliau. Orang-orang yang mengaku memiliki petunjuk ini, misalnya para tokoh sufi dan semacamnya yang mengaku dapat memasuki hati murid-muridnya, dapat mengetahui isinya, serta dapat mengendalikan sesuai keinginannya, maka semua itu merupakan kedustaan dan penyesatkan. Orang yang mempercayai klaim seperti ini, berarti ia sesat dan menganggap Allah RasulNya dusta.

Adapun petunjuk menuju ilmu, dalil, keterangan Al Qur`an dan lainnya untuk menempuh jalan keselamatan dan kebahagiaan, maka para hamba mampu melakukan petunjuk ini, sebagaimana telah ditetapkan pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. [Asy Syura : 52].

Allah telah mewajibkan para ahli ilmu untuk melaksanakan tugas ini, yaitu memberikan petunjuk dengan cara amar makruf dan nahi munkar ke jalan Allah yang lurus. Namun kebanyakan orang tidak dapat membedakan antara kedua jenis petunjuk ini. Sebagian melewati batas dan sebagian lainnya meninggalkan amar makruf nahi mungkar, berdalih dengan ayat “Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi”. Yang demikian ini merupakan kebodohan dan kesesatan”.

Kedua : Berkenaan dengan tafsir surat At Taubah ayat 113, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh berkata: ‘Artinya, memintakan ampunan untuk orang musyrik, tidaklah pantas dilakukan para nabi. Ini adalah kalimat yang bentuknya khabar (berita), yang mengandung pengertian larangan. Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Abu Thalib, sebagaimana disinyalir dari lafazh hadits yang menyebutkan kalimat fa anzala (lalu Allah menurunkan) setelah kalimat ucapan Rasulullah la astaghfiranna laka ma lam unha ‘anhu’ (sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu selama hal itu tidak dilarang) yang mengisyaratkan sebagai kelanjutannya.

Di dalam Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata: Kalimat ma kana atau la yanbaghi dan semisalnya, jika datang dalam Al Qur`an, maksudnya, perkara yang disebutkan tersebut terlarang (tertolak) dengan larangan yang keras. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala“Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Mahasuci Dia” (Maryam : 35). Demikian juga firmanNya “Dan tidak layak lagi Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” (Maryam : 92). Dan firmanNya “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Yasin : 40). Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Sesungguhnya Allah tidak tidur, dan tidak layak bagiNya untuk tidur”. [HR Muslim].

Kemudian firmanNya “mereka memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik”, maksudnya, mereka (dilarang) memohon pengampunan untuk orang-orang musyrik.

Sedangkan firmanNya “walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya”, maksudnya, sekalipun orang-orang musyrik itu adalah karib kerabat mereka sendiri. Karena itulah, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah lalu melewati kuburan ibunya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamk meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan kepadaNya untuk ibunya, namun Allah tidak mengizinkan. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin menziarahi kuburan ibunya, dan Allah pun mengizinkannya. Maka Beliau pun menziarahinya untuk mengambil pelajaran.

Allah melarang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan ampunan untuk orang-orang musyrik, karena orang-orang musyrik tersebut tidak berhak untuk dimintakan ampunan. Jika engkau berdoa kepada Allah agar melakukan sesuatu yang tidak layak bagiNya, maka itu merupakan pelanggaran dalam berdoa.

Di bagian lain Syaikh ‘Utsaimin berkata: ‘Dan termasuk perkara yang keliru dari sebagian ucapan manusia, yaitu menyebut tokoh-tokoh kafir yang meninggal dengan almarhum (yang pasti dirahmati Allah). Penyebutan seperti ini haram, karena bertentangan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, haram menampakkan kesedihan atas kematian mereka dengan cara berkabung atau selainnya; karena orang-orang yang beriman sepatutnya merasa senang dengan kematian mereka. Bahkan seandainya orang-orang beriman itu memiliki kemampuan dan kekuatan, niscaya akan memerangi orang-orang kafir itu agar agama seluruhnya milik Allah.

Baca Juga  Sifat Kaum Munafik Dalam Urusan Aqidah

Syaikh Shalih bin Abdulaziz Alu Asy Syaikh berkata,”Jika kita telah mengetahui kalimat ‘ma kana’ (tidak selayaknya) datang dalam Al Qur`an dengan kedua makna ini (makna larangan dan penafian), maka yang dimaksud di sini (ayat 113 surat At Taubah) adalah larangan. Yaitu larangan meminta pengampunan untuk siapapun dari orang-orang musyrik. Maka apabila Allah telah melarang para rasul, para nabi dan para wali, serta selain mereka dari kalangan orang-orang shalih; melarang mereka saat masih hidup dari meminta ampun kepada Allah untuk orang-orang musyrik tersebut, maka ini menunjukkan, kalaulah dianggap mereka mampu memintakan pengampunan dalam kehidupan mereka di alam barzakh, pastilah mereka tidak mau memintakan ampun untuk orang-orang musyrik, dan tidak akan mau memohon kepada Allah untuk orang-orang yang datang kepada mereka -saat mereka telah mati itu- untuk meminta syafaat, memohon ighatsah, atau ibadah-ibadah lainnya. Wallahu a‘lam.”

Ketiga : Sebuah masalah sangat penting lainnya, yaitu tentang penafsiran sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ucapkanlah la ilaha illallah”, berbeda dengan yang dipahami oleh orang-orang yang mengaku berilmu.

Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi berkata: Banyak orang mengaku berilmu, tetapi tidak mengerti makna kalimat “la ilaha illallah”, sehingga setiap orang yang mengucapkan kalimat itu, dianggapnya telah Islam, meskipun nyata-nyata melakukan kekufuran. Misalnya dengan beribadah kepada kuburan, kepada orang-orang yang sudah mati, kepada berhala-berhala, menghalalkan yang jelas-jelas diharamkan agama, memutuskan suatu perkara dengan landasan selain yang telah diturunkan Allah, dan menjadikan para rahib atau pendetanya sebagai tuhan selain Allah. Seandainya mereka mempunyai hati untuk memahami kalimat itu, tentu mereka akan mengetahui, makna la ilaha illallah ialah berlepas diri dari ibadah kepada selain Allah, dan memenuhi perjanjian dengan melaksanakan hak Allah dalam peribadatan. Ini ditunjukkan oleh firman Allah “Barangsiapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia telah berpegang teguh dengan tali yang amat kuat ” [Al Baqarah : 256]” .

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri menyatakan, golongan Khawarij banyak yang melakukan shalat, puasa, membaca Al Qur`an dan dilandasi dengan la ilaha illallah, namun demikian beliau mengatakan, bahwa mereka kafir, jauh dari agama sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya. Beliau bersabda,”Seandainya aku bertemu dengan mereka, tentulah aku akan memerangi dengan peperangan yang dahsyat”. Demikianlah disebutkan dalam Ash Shahihain.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA