Menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dengan masuknya budaya islam di nusantara

Tradisi Islam di Nusantara ini begitu lekat dengan sejarah Indonesia

Banyak tradisi Islam di Nusantara yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Sebab, pendekatan awal Islam di Indonesia adalah beriringan dengan tradisi yang ada agar bisa lebih diterima oleh masyarakat secara luas.

Ad-Dhuha Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Budaya Islam mencatat bahwa tradisi Islam di Nusantara merupakan jejak peninggalan para wali yang mampu mengakulturasikan tradisi sebelum Islam.

Baca Juga: Tak Cuma di Indonesia, 3 Negara Ini Punya Tradisi Seputar Ari-ari Bayi

Tradisi Islam di Nusantara

Foto: Orami Photo Stock

Tradisi adalah kebiasaan atau adat istiadat yang dilakukan turun temurun oleh masyarakat. Sebelum Islam datang, masyarakat Indonesia sudah mengenal berbagai kepercayaan dan memiliki beragam tradisi lokal.

Hadirnya Islam turut berbaur dengan tradisi tersebut hingga tercipta beberapa tradisi Islam di Nusantara. Ini digunakan sebagai metode dakwah para ulama zaman itu dengn tidak memusnahkan secara total tradisi yang telah ada di masyarakat.

Seni budaya, adat, dan tradisi yang bernapaskan Islam tumbuh dan berkembang di Nusantara yang sangat bermanfaat bagi penyebaran Islam di Nusantara. Para ulama dan wali pada zaman dahulu tentu telah mempertimbangkan tradisi-tradisi tersebut dengan sangat matang, baik dari segi madharat mafsadat maupun halal-haramnya.

Banyak sekali tradisi Islam di Nusantara yang berkembang hingga saat ini. Semuanya mencerminkan kekhasan daerah atau tempat masing-masing. Berikut ini adalah beberapa tradisi Islam di Nusantara

1. Tradisi Halal Bihalal

Ini dilakukan pada Bulan Syawal yang berupa acara saling bermaaf-maafan. Setelah umat Islam selesai puasa Ramadhan sebulan penuh, maka dosa-dosanya telah diampuni oleh Allah SWT.

Namun, dosa kepada sesama manusia belum akan diampuni jika belum mendapat kehalalan atau dimaafkan oleh orang tersebut.

Oleh karena itu tradisi halal bihalal dilakukan dalam rangka saling memaafkan atas dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan agar kembali kepada fitrah (kesucian). Tujuan halal bihalal selain saling bermaafan adalah untuk menjalin tali silaturahim dan mempererat tali persaudaraan.

Halal bihalal sebagai sebuah tradisi Islam di Nusantara lahir dari sebuah proses sejarah. Ini dibuat untuk membangun hubungan yang harmonis (silaturahim) antar umat untuk berkumpul, saling berinteraksi dan saling bertukar informasi.

2. Tradisi Kupatan (Bakdo Kupat)

Di Pulau Jawa bahkan sudah berkembang ke daerah-daerah lain terdapat tradisi kupatan. Tradisi membuat kupat ini biasanya dilakukan seminggu setelah hari raya Idulfitri.

Biasanya, masyarakat akan berkumpul di suatu tempat seperti mushala dan masjid untuk mengadakan selamatan dengan hidangan yang didominasi kupat (ketupat). Kupat merupakan makanan yang terbuat dari beras dan dibungkus anyaman (longsong) dari janur kuning atau daun kelapa yang masih muda.

Sampai saat ini ketupat menjadi maskot Hari Raya Idul Fitri karena sebagai makanan khas lebaran. Oleh para Wali, tradisi membuat kupat itu dijadikan sebagai sarana untuk syiar agama.

Oleh sebagian besar masyarakat, kupat juga menjadi singkatan atau di-jarwo dhosok-kan menjadi rangkaian kata yang sesuai dengan momennya yaitu Lebaran. Kupat adalah singkatan dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan menjadi simbol untuk saling memaafkan.

Baca Juga: 5 Tradisi Menyusui dari Berbagai Negara di Dunia

3. Tradisi Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta

Tradisi Sekaten dilaksanakan setiap tahun di Keraton Surakarta Jawa Tengah dan Keraton Yogyakarta. Tradisi ini dilestarikan sebagai wujud mengenang jasa-jasa para Walisongo yang telah berhasil menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Peringatan yang lazim dinamai Maulud Nabi itu oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat Syahadat). Tradisi ini sebagai sarana penyebaran agama Islam yang pada mulanya dilakukan oleh Sunan Bonang.

Dahulu setiap Sunan Bonang membunyikan gamelan diselingi dengan lagu-lagu yang berisi ajaran agama Islam serta setiap pergantian pukulan gamelan diselingi dengan membaca syahadatain. Jadi, Sekaten diadakan untuk melestarikan tradisi para wali dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

4. Tradisi Grebeg

Tradisi untuk mengiringi para raja atau pembesar kerajaan. Grebeg pertama kali diselenggarakan oleh keraton Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono ke-1. Grebeg dilaksanakan saat Sultan memiliki hajat dalem berupa menikahkan putra mahkotanya.

Grebek di Yogyakarta di selenggarakan 3 tahun sekali yaitu: Pertama grebek pasa-syawal diadakan setiap tanggal 1 Syawal bertujuan untuk menghormati Bulan Ramadhan dan Lailatul Qadr. Kedua grebeg besar, diadakan setiap tanggal 10 dzulhijjah untuk merayakan hari raya kurban.

Ketiga grebeg maulud setiap tanggal 12 Rabiul awwal untuk memperingati hari Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain kota Yogyakarta yang menyelenggarakan pesta grebeg adalah kota Solo, Cirebon dan Demak.

5. Tradisi Grebeg Besar di Demak

Tradisi Grebeg Besar merupakan upacara tradisional yang setiap tahun dilaksanakan di Kabupaten Demak Jawa Tengah. Tradisi ini dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah bertepatan dengan datangnya Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban.

Tradisi ini cukup menarik karena Demak merupakan pusat perjuangan Walisongo dalam dakwah. Pada awalnya Grebeg Besar dilakukan tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1428 Caka dan dimaksudkan sekaligus untuk memperingati genap 40 hari peresmian penyempurnaan Masjid Agung Demak.

Baca Juga: 9 Tradisi Pernikahan Berbagai Negara yang Aneh dan 'Menyebalkan'

Tradisi Islam di Nusantara saat Syawal

Foto: Orami Photo Stock

Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak suku, etnis, dan kepercayaan, tidak heran bahwa Indonesia memiliki beragam tradisi. Salah satunya adalah tradisi Islam di Nusantara khususnya yang terjadi saat bulan Syawal. Beberapa di antaranya yakni:

5. Sesaji Rewanda, Semarang

Ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang diberikan oleh Allah SWT, serta mengenang napak tilas perjuangan Sunan Kalijaga untuk membangun Masjid Demak. Tradisi bulan Syawal di Indonesia ini biasanya diadakan pada hari ketiga setelah Idul Fitri.

Warga akan membawa gunungan yang berisi sego kethek (nasi monyet), buah-buahan, hasil bumi, lepet, dan ketupat dari Kampung Kandri ke Goa Kreo. Replika kayu jati tiang Masjid Demak juga akan diarak dalam acara ini. Ratusan penari dan pemusik tradisional pun akan memeriahkan acara ini.

6. Njimbungan, Klaten

Tradisi Islam di Nusantara pada bulan Syawal di Indonesia berikutnya ada di daerah Klaten. Para warga lebih mengenal acara ini sebagai acara Njimbungan. Yakni berupa arak-arakan gunungan ketupat dan hasil bumi di Bukit Sidogora, Krakitan Bayat, Klaten.

Nantinya, gunungan ketupat dan hasil bumi ini akan dibagikan ke seluruh peserta yang mengikuti acara ini. Walaupun terlihat ricuh saat prosesi pembagian ini, sebenarnya ritual ini tetap berlangsung dengan aman. Tradisi ini peninggalan Keraton Surakarta yang digelar enam hari setelah Lebaran.

7. Grebeg Syawal, Yogyakarta

Grebeg Syawal Yogyakarta dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal tepatnya saat lebaran berlangsung atau setelah salat Id. Tradisi ini merupakan wujud kedermawanan sultan kepada rakyat Yogyakarta.

Pada Grebeg Syawal ini, gunungan hasil bumi akan diarak dari Keraton Yogyakarta menuju Masjid Agung Kauman. Setelah itu, gunungan tersebut akan jadi rebutan warga. Mereka percaya, aneka hasil bumi di gunungan tersebut mampu membawa keberuntungan karena telah didoakan saat ritual berlangsung.

8. Syawalan, Pekalongan

Berbeda dengan yang daerah lain yang menyediakan gunungan hasil bumi, daerah Pekalongan justru menghadirkan lopis raksasa. Tradisi bernama Syawalan ini dilakukan di daerah Krapyak.

Alasan dipilihnya lopis adalah karena makanan berbahan beras ketan ini dapat menjadi simbol persatuan yang erat. Nantinya, lopis tersebut akan dipotong-potong untuk kemudian dibagikan ke seluruh warga Pekalongan.

Beberapa tradisi Islam di Nusantara tersebut masih ada hingga kini dan dilestarikan juga oleh masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan dan juga keislaman yang harus terjaga.

  • //online-journal.unja.ac.id/Ad-Dhuha/article/view/9727
  • //www.bacaanmadani.com/2018/02/10-contoh-tradisi-islam-di-nusantara.html
  • //blog.reservasi.com/5-tradisi-bulan-syawal-di-indonesia-yang-fenomenal/

tirto.id - Sebelum agama Islam masuk ke nusantara, sudah ada beberapa agama dan aliran kepercayaan yang dipegang teguh oleh masyarakat asli Indonesia. Agama maupun kepercayaan itu bahkan sudah mengakar hingga mempengaruhi dan membentuk budaya di tengah masyarakat.

Misalnya, sebelum Islam masuk ke nusantara, sebagian masyarakat Indonesia memeluk agama Hindu dan Buddha. Eksistensi agama tersebut terlihat di berbagai produk budaya, adat, sampai kesenian.

Ketika Islam mulai diterima sebagian besar masyarakat Indonesia, terjadi pula perubahan sosial, adat hingga kebudayaan. Pengaruh Islam merembes pula dalam berbagai kesenian, adat istiadat dan budaya.

Namun, budaya lama tidak hilang sepenuhnya. Sebab, nilai-nilai Islam yang hidup di masyarakat nusantara kemudian mewarnai budaya dari era sebelumnya tanpa menghapusnya sama sekali.

Perluasan pengaruh Islam yang pesat di nusantara turut memicu terbentuknya akulturasi budaya. Jadi, budaya yang sudah mengakar di masyarakat bertemu dengan nilai-nilai Islam. Hasilnya ialah munculnya produk budaya baru yang tidak meninggalkan ciri khas kedua budaya.

Baca juga:

  • Contoh Akulturasi Budaya Betawi & Tionghoa dalam Sejarah Jakarta
  • Mengenal Hubungan Antarbudaya: Akulturasi dan Asimilasi

Contohnya terdapat penanggalan Islam yang dipadu dengan weton pada masyarakat Jawa, atau bangunan sejumlah masjid kuno yang memiliki gaya arsitektur candi-candi Hindu.

Mengutip buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas IX terbitan Kemdikbud (2014), ada beberapa contoh budaya nusantara yang dipengaruh nilai-nilai Islam, tetapi masih memuat unsur dari kultur lokal. Di antara contohnya adalah sebagai berikut.

1. Kalender Jawa

Kalender Jawa menjadi perpaduan antara kalender hijriah dengan penanggalan Jawa. Misalnya, bulan Muharam diganti menjadi Sura, Safar menjadi Sapar, dan sebagainya.

2. Bangunan masjid

Masjid yang merupakan hasil akulturasi budaya nampak pada bangunan masjid kuno. Misalnya, atap masjid berbentuk tumpang, merupakan akulturasi kultur Islam dengan budaya Hindu. Atap seperti ini ditemukan pula pada pura milik orang Hindu.

Hadirnya menara sebagai tempat mengumandangkan adzan juga bentuk akulturasi. Bangunannya dari terakota tersusun seperti candi. Contoh menara ini terlihat pada Masjid Kudus.

3. Seni ukir dan kaligrafi

Seni ukir yang menjadi hasil akulturasi budaya lokal dengan Islam bisa ditemukan pada berbagai bentuk. Misalnya, ukiran di hiasan masjid, bangunan makam di bagian jirat, nisan, cungkup, dan tiang cungkup. Motifnya antara lain daun, bunga, bukit karang, pemandangan alam, dan kaligrafi.

Kaligrafi Islam ditemukan pada banyak masjid kuno. Tidak hanya dahulu saja, ukiran kaligrafi juga masih tersemat pada masjid-masjid kekinian di dinding hingga mimbar. Tidak jarang, kaligrafi itu terukir di kayu dengan motif khas budaya lokal.

4. Seni tari dan musik

Bentuk tarian lokal yang diwarnai oleh budaya Islam misalnya tari Zipin. Tari ini diiringi oleh musik dengan nada qasidah dan gambus. Zipin umumnya dipertontonkan dalam upacara atau perayaan tertentu seperti khitanan, pernikahan, dan hari bedar.

Tari lainnya yang dipengaruhi budaya Islam adalah tari Seudati dari Aceh, yang kerap disebut tari Saman. Penarinya ada 8 orang yang menggerakkan tari Saman sembari menyanyikan salawat.

Di musik, terdapat seni musik rebana, hadrah, qasidah, nasyid, dan gambus. Hadrah, misalnya, menampilkan seni musik hasil perpaduan alat musik perkusi rebana. Musik ini biasa menampilkan lagu salawat maupun pujian pada Allah.

5. Seni pertunjukan

Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang memadukan budaya Jawa dengan unsur Islam. Wayang masih lestari sampai sekarang. Cerita wayang memiliki pesan moral berdasar filsafat hidup orang Jawa, yang diiringi musik gamelan. Cerita dalam wayang mengadopsi epos Mahabharatha yang lahir dari agama Hindu, cerita-cerita lisan di budaya lokal Jawa, hingga kisah-kisah lain hasil kreasi para dalang.

6. Seni sastra

Seni sastra yang diwarnai nilai-nilai Islam antara lain babad, hikayat, dan suluk. Babad merupakan dongeng yang diubah menjadi cerita sejarah. Contohnya, Babad Tanah Jawi atau Babad Cirebon.

Adapun hikayat ialah cerita atau dongeng yang berisi berbagai hal penuh keajaiban dan keanehan, seperti Hikayat Bayan Budiman. Lalu, Suluk adalah kitab-kitab yang menjelaskan bab tasawuf.

Baca juga:

  • Bagaimana Menangani Masalah karena Keberagaman Budaya di Indonesia?
  • Akulturasi Budaya dalam Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon

Baca juga artikel terkait BUDAYA ISLAM atau tulisan menarik lainnya Ilham Choirul Anwar
(tirto.id - ica/add)


Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Addi M Idhom
Kontributor: Ilham Choirul Anwar

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA