Hal hal yang diperbolehkan menerapkan demokrasi adalah dalam hal

Demokrasi memang paradoks, hal ini setidaknya dapat kita saksikan dari kehidapan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di negara kita akhir-akhir ini.

Setiap orang bersuara atas demokrasi, melakukan aksi protes terhadap apa saja juga atas nama demokrasi, mendirikan organisasi atas nama demokrasi, termasuk membubarkan organisasi atas nama demokrasi. Bahkan demokrasi menjadi alasan untuk seseorang atau sekelompok orang untuk menolak demokrasi itu sendiri. Pertanyaannya, benarkah atas nama demokrasi sekelompok orang boleh melawan pemerintahan yang sah? Benarkah atas nama demokrasi, rakyat daerah dapat menyuarakan kepentingan daerahnya sendiri? Termasuk untuk membebaskan diri?

Pertanyaan di atas memang sederhana tetapi tidak mudah menjawabnya. Kita dihadapkan pada dua kondisi yang satu sama lain berpegang pada kepentingan yang berbeda. Pada satu sisi, ada rakyat yang menggantungkan harapan besar agar pemerintah dapat menjamin kebebasannya untuk (setidaknya) bersuara, berkumpul, dan berpendapat. Di sisi yang lain, kita dihadapkan pada negara yang memiliki tanggung jawab mempertahankan keutuhan wailayah maupun ideologi. Rakyat menginginkan kebebasan, sedang negara mengupayakan persatuan. Keduanya sulit sekali dipertemukan dalam sebuah negara yang plural atau nation-state layaknya Indonesia. Hal ini diakui oleh Francis Fukuyama, seorang ahli demokrasi berdarah Jepang namun berkebangsaan Amerika.

Pada tahun 1994, Francis Fukuyama mengklaim bahwa demokrasi ada hasil peradaban demokrasi umat manusia, memang ia tidak lepas dari cacat, namun dibandingkan dengan sistem lain, demokrasi adalah yang paling representatif. Namun pada tahun 2004, Francis Fukuyama merombang kembali hipotesa awalnya, dan secara radikal menyatakan bahwa negara harus diperkuat. Memperkuat negara di era modern ini merupakan suatu respon atas menguatnya kembali gerakan-gerakan radikal yang memposisikan diri sebagai kontra negara. Berdiam diri atas gerakan itu sama artinya dengan menunggu kehancuran negara. Pada titik lain, dapat dikatakan berkembangnya berbagai varian gerakan radikal itu adalah karena lemahnya peran negara.

Batas Demokrasi?

Tulisan Bung Hatta dalam bukunya “Demokrasi kita” barangkali layak dijadikan sebagai rujukan. Tanpa menafikkan perak Foundung Fathers lain, Bung Hatta ada peletak dasar demokrasi asli Indonesia yang tetap konsisten hingga akhir hayatnya. Demokrasi atau kedaulatan rakyat yang kita mimpikan sejak masa penjajahan, orde lama, hingga orde baru, sekarang dihadapkan dalam realita soal bagaimana mempraktikkan demokrasi itu dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Saat ini kita tengah diuji dari apa yang kita cita-citakan dahulu, benarkah demokrasi adalah pilihan terbaik di negeri ini. Kita juga dihadapkan dengan orang-orang yang dengan mudah sekali mengukur kebenaran suatu cita-cita dengan hasilnya dalam praktik.

Harus dipahami bahwa gambaran dari suatu cita-cita dan mempraktikkanya dalam dunia nyata terletak pada suatu medan perjuangan yang disebut realitas daripada cita-cita itu. Dalam alam idea bisa digambarkan suatu bangunan negara yang ideal atas nama demokrasi. Namun dalam dunia nyata dihadapkan dengan berbagai rintangan sehingga tidak jarang ditemui, demokrasi dalam praktik berlainan sekali bentuknya dengan patokan idealnya. Di alam praktik kita berhadapan dengan sifat manusia yang lamban, yang tidak begitu mudah menerima yang baru dan ingin berpegang pada kebiasaan. Selanjutnya pemahaman yang keliru dan salah tentang demokrasi, menimbulkan berbagai respon yang juga keliru. Reaksi terhadap penindasan di masa lampau menimbulkan sikap yang menantang kepada segala ikatan persekutuan. Kebebasan yang baru diperoleh seringkali menghilangkan pertimbangan, bahwa demokrasi ada batasnya (Moh. Hatta: 2009, 12).

Demokrasi sering dipahami bahwa tiap-tiap golongan boleh bertindak dengan sekehendaknya. Bukankah kedaulatan rakyat berarti bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, rakyat mempunyai kekuasaan yang tertinggi? Rakyat adalah raja dan sumber datangnya hukum, oleh karenya rakyat boleh melakukan apa saja sesuai dengan perasaan kebenaran dan keadilan yang hidup dalam golongannya. Juga atas nama demokrasi beberapa penganjur dapat mengajak sekelompok rakyat di tempatnya untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Oleh karena kadaulatan ada di tangan rakyat, sekelompok masyarakat “menyodorkan” keinginannya dan meminta agar negara memenuhi keinginan-keinginan itu. Jika pemerintah menolak tuntutan itu, maka dikatakan bahwa pemerintah menentang demokrasi.

Apakah jadinya dengan suatu negara jika tiap-tiap golongan boleh mengambil keputusan sesuai kehendaknya sendiri atas nama demokrasi, apalagi jika keputusan itu bertentangan satu sama lain. Demokrasi Indonesia telah ditetapkan dengan resmi di dalam konstitusi, konstitusi telah mengatur bagaimana demokrasi tersebar dalam berbagai lembaga negara. Lembaga-lembaga negara inilah yang menjadi wakil dari rakyat dalam berdemokrasi, dengan kata lain, pemerintah atas nama demokrasi menanggung beban besar dalam mewujudkan kedaulatan rakyat itu.

Syarat yang paling mutlak dari semua itu adalah kita harus yakin akan kebenaran dan kebaikan demokrasi bagi susunan negara kita. Bahwa ia adalah dasar yang sebaik-baiknya untuk mencapai Indonesia sejahtera, dengan tetap mengadakan koreksi atas segala hal yang menjadi rintangan.

Tulisan telah diterbitkan pada koran Kompas, 12 Agustus 2017

Profesi guru bermakna strategis dalam rangka pembangunan nasional di bidang pendidikan karena mengemban tugas sejati bagi proses kemanusiaan, pemanusiaan, pencerdasan, pembudayaan, dan

27/02/2020 08:22 - Oleh Administrator - Dilihat 3697 kali

Brilio.net - Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara di dunia yang menganut sistem demokrasi.

BACA JUGA :
Syarat menjadi imam sholat beserta hukum dan keutamaan berjamaah

Lantas, bagaimana demokrasi dalam pandangan Islam? Demokrasi memang bukan diktum suatu agama, namun tidak sulit menghubungkannya dengan ajaran Islam.

Demokrasi adalah bentuk maju atau sistematika dari cara-cara rakyat untuk bermusyawarah. Jelas di dalam Islam ada prinsip bermusyawarah dalam memutuskan pengaturan hal-hal yang bersifat kepentingan umum.

BACA JUGA :
Makna gerakan sholat dan manfaatnya dalam Islam

foto: freepik

Demokrasi digunakan untuk mencapai kemajuan kemaslahatan bersama. Berkaitan dengan sistem kepemerintahan dalam bernegara, Islam memperjuangkan kesetaraan. Kaidah-kaidah kepemerintahan dalam Islam menekankan prinsip kesetaraan.

Dalam Alquran surat Al Hujurat ayat 13, Allah berfirman:

Yaa ayyuhan-naasu innaa khalaqnaakum min zakariw wa unsaa wa ja'alnaakum syu'ubaw wa qabaa'ila lita'aarafu, inna akramakum 'indallaahi atqaakum, innallaaha 'aliimun khabiir

Artinya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Sementara prinsip musyawarah terdapat dalam surat Al Syura ayat 38, yang berbunyi sebagai berikut:


Wallaziinastajaabu lirabbihim wa aqaamus-salaata wa amruhum syuraa bainahum wa mimmaa razaqnaahum yunfiqun

Artinya:
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka."

Dari dua ayat tersebut dapat dijelaskan bahwa kaidah demokrasi dalam Islam yang pertama adalah kesetaraan, kedua adalah permusyawarahan.

Prinsip musyawarah ini diperkuat dengan sunah Nabi Muhammad SAW. Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat dalam suatu perkara yang tidak disebutkan dalam Alquran, dan yang Nabi sendiri tidak mendapat perintah langsung dari Allah.

Maka hak para sahabat itu untuk memberi pendapat dan usulan di luar hal yang Nabi sendiri telah pasti akan melakukannnya.

Ada pun kaidah ketiga dalam demokrasi menurut Islam adalah ta'awun. Ta'awun adalah menyatakan adanya tuntutan untuk kerja sama demi kepentingan Tuhan dan kepentingan manusia sendiri. Sama halnya dalam nilai-nilai demokrasi, yakni menekankan kerja sama dan saling tolong menolong.

Setelah ta'awun, kaidah keempat adalah taghyir atau perubahan. Dalam kaidah ini, menyatakan bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidupnya.

Demokrasi menuntut suatu perubahan, sejalan dengan perkembangan kesadaran manusia yang selalu ingin mengadakan perbaikan.

Allah berfiman dalam surat Al Maidah ayat 44:

Innaa anzalnat-tauraata fiihaa hudaw wa nur, yahkumu bihan-nabiyyunallaziina aslamu lillaziina haadu war-rabbaaniyyuna wal-ahbaaru bimastuhfizu ming kitaabillaahi wa kaanu 'alaihi syuhadaa`, fa laa takhsyawun-naasa wakhsyauni wa laa tasytaru bi`aayaatii samanang qaliilaa, wa mal lam yahkum bimaa anzalallaahu fa ulaa`ika humul-kaafirun

Artinya:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA