Urutan langkah-langkah interpretasi citra yang tepat adalah

A. Interpretasi Citra

Menurut Este dan Simonett, 1975: Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut.Jadi di dalam interpretasi citra, penafsir mengkaji citra dan berupaya mengenali objek melalui tahapan kegiatan, yaitu:

deteksi
identifikasi
analisis

Setelah melalui tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan digunakan ke dalam berbagai kepentingan seperti dalam: geografi, geologi, lingkungan hidup, dan sebagainya.Pada dasarnya kegiatan interpretasi citra terdiri dari 2 proses, yaitu melalui pengenalan objek melalui proses deteksi dan penilaian atas fungsi objek.

1. a. Pengenalan objek melalui proses deteksi yaitu pengamatan atas adanya suatu objek, berarti penentuan ada atau tidaknya sesuatu pada citra atau upaya untuk mengetahui benda dan gejala di sekitar kita dengan menggunakan alat pengindera (sensor).
Untuk mendeteksi benda dan gejala di sekitar kita, penginderaannya tidak dilakukan secara langsung atas benda, melainkan dengan mengkaji hasil rekaman dari foto udara atau satelit.
  b. Identifikasi.
Ada 3 (tiga) ciri utama benda yang tergambar pada citra berdasarkan ciri yang terekam oleh sensor yaitu sebagai berikut:
    Spektoral
Ciri spektoral ialah ciri yang dihasilkan oleh interaksi antara tenaga elektromagnetik dan benda yang dinyatakan dengan rona dan warna.
    Spatial
Ciri spatial ialah ciri yang terkait dengan ruang yang meliputi bentuk, ukuran, bayangan, pola, tekstur, situs, dan asosiasi.
    Temporal
Ciri temporal ialah ciri yang terkait dengan umur benda atau saat perekaman.
2. Penilaian atas fungsi objek dan kaitan antar objek dengan cara menginterpretasi dan menganalisis citra yang hasilnya berupa klasifikasi yang menuju ke arah teorisasi dan akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari penilaian tersebut. Pada tahapan ini, interpretasi dilakukan oleh seorang yang sangat ahli pada bidangnya, karena hasilnya sangat tergantung pada kemampuan penafsir citra.

Menurut Prof. Dr. Sutanto, pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu perekaman data dari citra dan penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Lihat gambar 4.1.

Perekaman data dari citra berupa pengenalan objek dan unsur yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke dalam bentuk tabel, grafik atau peta tematik. Urutan kegiatan dimulai dari menguraikan atau memisahkan objek yang rona atau warnanya berbeda dan selanjutnya ditarik garis batas/delineasi bagi objek yang rona dan warnanya sama. Kemudian setiap objek yang diperlukan dikenali berdasarkan karakteristik spasial dan atau unsur temporalnya.

Objek yang telah dikenali jenisnya, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tujuan interpretasinya dan digambarkan ke dalam peta kerja atau peta sementara. Kemudian pekerjaan medan (lapangan) dilakukan untuk menjaga ketelitian dan kebenarannya. Setelah pekerjaan medan dilakukan, dilaksanakanlah interpretasi akhir dan pengkajian atas pola atau susunan keruangan (objek) dapat dipergunakan sesuai tujuannya.

Untuk penelitian murni, kajiannya diarahkan pada penyusunan teori, sementara analisisnya digunakan untuk penginderaan jauh, sedangkan untuk penelitian terapan, data yang diperoleh dari citra digunakan untuk analisis dalam bidang tertentu seperti geografi, oceanografi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya lihat kembali gambar 4.1.

Dalam menginterpretasi citra, pengenalan objek merupakan bagian yang sangat penting, karena tanpa pengenalan identitas dan jenis objek, maka objek yang tergambar pada citra tidak mungkin dianalisis. Prinsip pengenalan objek pada citra didasarkan pada penyelidikan karakteristiknya pada citra. Karakteristik yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali objek disebut unsur interpretasi citra.

Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Didalam interpretasi citra, penafsir citra mengkaji citra dan berupaya melalui proses penalaran untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan menilai arti pentingnya obyek yang tergambar pada citra. Dengan kata lain maka penafsir citra berupaya untuk mengenali obyek yang tergambar pada citra dan menterjemahkannya ke dalam disiplin ilmu tertentu seperti geologi, geografi, ekologi, dan disiplin ilmu lainnya.

Tahapan Interpretasi

Di dalam penenalan obyek yang tergambar pada citra, ada tiga rangkaian kegiatan yang diperlukan, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengamatan atas adanya suatu obyek, misalnya pada gambaran sungai terdapat obyek yang bukan air. Identifikasi adalah upaya mencirikan obyek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup. Sehubungan dengan contoh tersebut maka berdasarkan bentuk, ukuran, dan letaknya, obyek yang tampak pada sungai tersebut disimpulkan sebagai perahu dayung. Pada tahap analisis dikumpulkan keterangan lebih lanjut, misalnya dengan mengamati jumlah penumpangnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa perahu tersebut berupa perahu dayung yang berisi tiga orang. Deteksi berarti penentuan ada atau tidak adanya sesuatu obyek pada citra. Ia merupakan tahap awal dalam interpretasi citra. Keterangan yang diperoleh pada tahap deteksi bersifat global. Keterangan yang diperoleh pada tahap interpretasi selanjutnya yaitu pada tahap identifikasi, bersifat setengah rinci. Keterangan rinci diperoleh dari tahap akhir interpretasi, yaitu tahap analisis (Lintz dan Simonet, 1976). Lo (1976) yang menyimpulkan pendapat Vink mengemukakan bahwa pada dasarnya kegiatan interpretasi citra terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat pertama yang berupa penenalan obyek melalui proses deteksi dan identifikasi, dan tingkat kedua yang berupa penilaian atas pentingnya obyek yang telah dikenali tersebut, yaitu arti pentingnya tiap obyek dan kaitan antar obyek itu. Tingkat pertama berarti perolehan data, sedang tingkat kedua berupa interpretasi atau analisis data. Didalam upaya otomatis, hanya tingkat pertama lah yang dikomputerkan. Tingkat kedua harus dilakukan oleh orang yang berbekal ilmu pengetahuan cukup memadai pada disiplin tertentu.

Unsur Interpretasi Citra

Pengenalan obyek merupakan bagian vital dalam interpretasi citra. Tanpa dikenali identitas dan jenis obyek yang tergambar pada citra, tidak mungkin dilakukan analisis untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Demikian pentingnya pengenalan obyek itu sehingga ada satu periode perkembangan penginderaan jauh yang memusatkan perhatiannya pada pengenalan obyek pada citra, yaitu antara 1950-1960. Pada saat itu interpretasi citra masih berupa interpretasi foto udara saja, karena belum ada citra lainnya. Pusat perhatiannya hanya pada cara-cara pengenalan obyek  sehingga tidak pernah sampai pada arti interpretasi citra yang sebenarnya, yaitu pengenalan obyek dan analisis data sesuai dengan disiplin ilmunya untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Periode ini disebut periode teknik interpretasi yang berlebihan (Stone, 1974; Baret and Curts, 1976). Prinsip pengenalan obyek pada citra mendasarkan atas penyidikan karakteristiknya atau atributnya pada citra. Karakteristik obyek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek disebut unsur interpretasi citra. Foto udara merupakan citra tertua di dalam penginderaan jauh. Ia telah dikembangkan paling lama dan hingga dasawarsa 1960-an paling banyak digunakan sehubungan dengan ketersediaan foto dan alat interpretasinya serta kemudahan di dalam pelaksanaan interpretasinya. Gambaran pada foto udara lebih mirim ujud sebenarnya di medan dan lebih terinci bila dibandingkan dengan gambaran pada citra lainnya. Sebagai akibatnya, unsur interpretasinya juga paling lengkap bila dibandingkan dengan unsur interpretasi pada citra lainnya. Dengan alasan itulah maka unsur interpretasi yang dibincangkan pada tulisan ini adalah unsur interpretasi foto udara. Unsur interpretasi foto udara terdiri dari sembila butir, yaitu rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi. Sembila unsur interpretasi citra ini disusun secara berjenjang. Perbincangan berikut ialah tentang unsur interpretasi tersebut. Di samping itu juga dibincangkan konvergensi bukti, asas penting penerapan unsur interpretasi citra dalam pengenalan obyek.

A. Rona dan Warna

Rona (tone/color tone/grey tone) adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra. Rona pada foto pankromatik merupakan atribut bagi obyek yang berinteraksi dengan seluruh spektrum tampak yang sering disebut sinar putih, yaitu spektrum dengan panjang gelombang (0,4 - 0,7) μm. Di dalam penginderaan jauh, spektrum demikian disebut spektrum lebar. Jadi, rona merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Warna ialah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak. Sebagai contoh, obyek tampak biru, hijau, atau merah bila ia hanya memantulkan spektrum dengan panjang gelombang (0,4-0,5)μm, (0,5-0,6)μm, atau (0,6-0,7)μm.

Warna Berdasarkan Pantulan a = tampak biru karena memantulkan saluran biru

b = tampak kuning karena menyerap sinar biru

Sebaliknya bila obyek menyerap sinar biru maka ia akan memantulkan warna hijau dan merah. Sebagai akibatnya maka obyek akan tampak dengan warna kuning. Berbeda dengan rona yang hanya menyajikan tingkat kegelapan di dalam ujud hitam putih, warna menunjukkan tingkat kegelapan yang lebih beraneka. Ada tingkat kegelapan di dalam warna biru, hijau, merah, kuning, jingga, dan warna lainnya. Meskipun tidak menjelaskan cara pengukurannya, Ester et al. (1983) mengutarakan bahwa mata manusia dapat membedakan 200 rona dan 20.000 warna. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa pembedaan obyek pada foto berwarna lebih mudah bila dibandingkan dengan pembedaan obyek pada foto hitam putih. Pernyataan yang senada dapat diutarakan pula, yakni pembedaan obyek pada citra yang menggunakan spektrum sempit lebih mudah darpada pembedaan obyek pada citra yang dibuat dengan spektrum lebar, meskipun citranya sama-sama tidak berwarna. Asas inilah yang mendorong orang untuk menciptakan citra multispektral. Rona dan warna disebut unsur dasar. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya rona dan warna di dalam mengenali obyek. Tiap obyek tampak pertama pada citra berdasarkan rona atau warnanya. Setelah rona atau warna yang sama dikelompokkan dan diberi garis batas untuk memisahkannya dari rona atau warna yang berlainan, barulah tampak bentuk, tekstur, pola, ukuran dan bayangannya. Itulah sebabnya maka rona dan warna disebut unsur dasar. Mengingat pentingnya rona dan warna sebagai unsur dasar, maka perbincangannya akan melebihi unsur interpretasi lainnya.

Perbincangan rona akan meliputi: (1) cara pengukuran rona, (2) faktor yang mempengaruhi rona, (3) cara pengukuran warna, (4) faktor yang mempengaruhi warna.

B. Bentuk

Bentuk merupakan variabel kulitatif yang memerikan konfigurasi kerangka suatu obyek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. Bentuk, ukuran, dan tekstur dikelompokkan sebagai susunan keruangan rona sekonder dalam segi kerumitannya. Pangkal tolaknya bermula dari rona yang merupakan unsur dasar dan termasuk primer dalam segi kerumitannya. Pengamatan atas rona dapat dilakukan paling mudah. Oleh karena itu bentuk, ukuran, dan tekstur yang langsung dapat dikenali berdasarkan rona, dikelompokkan sekonder kerumitannya. Ada dua istilah di dalam bahasa inggris yang artinya bentuk, yaitu 'shape' dan 'form'. Shape adalah bentuk luar atau bentuk umum, sedangkan form merupakan susunan atau struktur yang bentuknya lebih rinci. Contoh shape atau bentuk luar: Bentuk bumi bulat Bentuk wilayah Indonesia memanjang sejauh sekitar 5.100 km. Contoh form atau bentuk rinci: Pada Bumi yang bentuknya bulat terdapat berbagai bentuk relief atau bentuk lahan seperti gunung api, dataran pantai, tanggul alam, dsb. Wilayah Indonesia yang bentuk luarnya memanjang, berbentuk (rinci) negara kepulauan. Wilayah yang memanjang dapat berbentuk masif atau bentuk lainnya, akan tetapi bentuk wilayah kita berupa himpunan pulau-pulau. Baik bentuk luar maupun bentuk rinci, keduanya merupakan unsur interpretasi citra yang penting. Banyak bentuk yang mencirikan sehingga memudahkan pengenalan obyeknya pada citra. Contoh pengenalan obyek berdasarkan bentuk:

  • Gedung sekolah pada umumnya berbentuk huruf I, L, U atau berbentuk empat segi panjang
  • Tajuk pohon palma berbentuk bintang, tajuk pohon pinus berbentuk kerucut, dan tajuk bambu berbentuk bulu-bulu.
  • Gunung api berbentuk kerucut, sedang bentuk kipas aluvial seperti segitiga yang alasnya cembung
  • Batuan sedimen membentuk topografi kasar dengan lereng terjal bila pengikisannya telah berlangsung lanjut
  • Bekas meander sungai yang terpotong dapat dikenali sebagai bagian rendah yang berbentuk tapal kuda.

C. Ukuran

Ukuran adalah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, volume lereng, ketinggian tempat dan kemiringan. Ukuran dapat mencirikan obyek sehingga dapat dijadikan sebagai ciri pembeda dengan obyek lainnya Karena ukuran obyek pada ctra merupakan fungsi skala, maka di dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra harus selalu diingat skalanya. Contoh: Ukuran rumah sering mencirikan apakah rumah itu rumah mukim, kantor, atau industri. Rumah mukim pada umumnya lebih kecil bila dibandingkan dengan kantor atau industri. Lapangan orlahraga di samping dicirikan oleh bentuk segi empat, lebih dicirikan oleh ukurannya, yaitu sekitar 80 m x 100 m bagi lapangan sepak bola, sekitar 15 m x 30 m bagi lapangan tenis, dan sekitar 8 m x 15 m bagi lapangan bulu tangkis.

Nilai kayu di samping ditentukan oleh jenis kayunya juga ditentukan oleh volumenya. Volume kayu dapat ditaksir  berdasarkan tinggi pohon, luas hutan, serta kepadatan pohonnya, dan diameter batang pohon.

D. Tekstur

Tekstur adalah frekuensi perubahan atau pengolangan rona pada citra. Dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu tekstur halus, sedang dan kasar. Contoh: Hutan bertekstur kasar, belukar bertekstur sedang, semak bertekstur halus. Tanaman padi bertekstur halus, tanaman tebu bertekstur sedang, dan tanaman pekarangan bertekstur kasar

Permukaan air yang tenang bertekstur halus.

E. Pola

Pola adalah kecenderungan bentuk suatu obyek , misal pola aliarn sungai, jaringan jalan dan pemukiman penduduk. Pola atau susunan keruangan merupakan ciri bagi beberapa obyek alamiah. Contoh: Pola aliran sungai sering menandai bagi struktur geologi, litologi, dan jenis tanah. Pola aliran trellis menandai struktur lipatan. Pola aliran yang padat mengisyaratkan peresapan air kurang sehingga pengikisan berlangsung efektif. Pola aliran dendritik mencirikan jenis tanah atau jenis batuan serba sama dengan sedikit atau tanpa pengaruh lipatan maupun patahan. Pola aliran dendritik pada umumnya terdapat pada batuan endapan lunak, tufa vulkanik, dan endapan tebal oleh gletser yang telah terkikis. Permukiman transmigrasi dikenali dengan pola yang teratur, yaitu dengan rumah yang ukuran dan jaraknya seragam, masing-masing menghadap jalan.

Kebun karet, kebun kelapa, kebun kopi dan sebagainya mudah dibedakan dari hutan atau vegetasi lainnya dengan polanya yang teratur, yaitu dari pola serta jarak tanamnya.

F. Bayangan

Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada pada daerah gelap. Obyek yang berada pada daerah gelap biasanya tidak terlihat atau hanya samar-samar. Meskipun demikian bayangan sering menjadi kunci penting pada pengenalan beberapa obyek yang justru lebih tampak pada bayangannya. Contoh: Cerobong asap, menara, tangki minyak, dan bak air yang dipasang tinggi lebih tampak dari bayangannya. Tembok stadion, gawang sepak bola, dan pagar keliling lapangan tenis pada foto berskala 1:5.000 juga lebih tampak dari bayangannya.

Lereng terjal tampak lebih jelas dengan adanya bayangan.

G. Situs

Situs merupakan tempat kedudukan suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Situs bukan merupakan ciri obyek secara langsung, melainkan dalam kaitannya dengan lingkungan sekitarnya. Situs diartikan dengan berbagai makna oleh para pakar. Estes dan Simonet (1975), mengartikan situs sebagai letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Di dalam pengertian ini, Monkhouse (19740 menyebutkan situasi, seperti misalnya letak kota (fisik) terhadap wilayah kota (administratif), atau letak suatu bangunan terhadap persil tanahnya. Oleh Vanzuidam (1979), situasi juga disebut situs geografi, yang diartikan sebagai tempat kedudukan atau letak suatu daerah atau wilayah terhadap sekitarnya. Misalnya letak iklim yang banyak berpengaruh terhadap interpretasi citra untuk geomorfologi. Menurut Estes dan Simonet (1975), letak obyek terhadap bentang darat seperti misalnya situs suatu obyek di rawa, di puncak bukit yang kering, di sepanjang tepi sungai, dsb. Situs semacam ini oleh Van Zuidam (1979) disebutkan situs topografi, yaitu letak suatu obyek atau tempat terhadap daerah sekitarnya. Situs ini berupa unit terkecil dalam suatu sistem wilayah morfologi yang dipengaruhi oleh faktor situs seperti: (1) beda tinggi, (2) kecuraman lereng, (3) keterbukaan terhadap sinar, (4) keterbukaan terhadap angin, (5) ketersediaan air permukaan dan air tanah. Lima faktor situs ini mempengaruhi proses geomorfologi maupun proses atau perujudan lainnya. Contoh: Tajuk pohon yang berbentuk bintang mencirikan pohon palma. Mungkin jenis palma tersebut berupa pohon kelapa, kelapa sawit, sagu, nipah, atau jenis palma lainnya. Bila tumbuhnya menggerombol (pola) dan situsnya di air payau maka yang tampak pada foto tersebut mungkin sekali nipah. Situs kebun kopi terletak di tanah miring karena tanaman kopi menghendari pengatusan air yang baik.

Situs permukiman memanjang pada umumnya pada igir beting pantai, pada tanggul alam, atau di sepanjang tepi jalan.

H. Asosiasi

Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Karena adanya keterkaitan ini maka terlihatnya suatu obyek pada citra sering merupakan petunjuk adanya obyek lain. Contoh Disamping ditandai dengan bentuknya yang berupa empat persegi panjang serta dengan ukuran sekitar 100 x 80 m, lapangan sepakbola ditandai dengan adanya gawang yang situsnya pada bagian tengah garis belakangnya. Lapangan sepak bola berasosiasi dengan gawang. Kalau tidak ada gawangnya, lapangan itu bukan lapangan sepak bola. Gawang tampak pada foto udara berskala 1:5.000 atau lebih besar. Stasiun kereta api berasosiasi dengan jalan kereta api yang jumlahnya lebih dari satu (bercabang)

Gedung sekolah disamping ditandai oleh ukuran bangunan yang relatif besar serta bentuknya yang menyerupai I, L, atau U, juga ditandai dengan asosiasinya terhadap lapangan olah raga. Pada umumnya gedung sekolah ditandai dengan adanya lapangan olah raga di dekatnya.

I. Konvergensi Bukti

Di dalam mengenali sebuah obyek pada pada foto udara atau pada citra lainnya, dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan satu unsur interpretasi citra. Sebaiknya digunakan unsur interpretasi citra sebanyak mungkin. Semakin ditambah jumlah unsur interpretasi citra yang digunakan, semakin menciut lingkupnya ke arah titik simpul tertentu. Inilah yang dimaksud dengan konvergensi bukti, atau bukti-bukti yang mengarah ke satu titik simpul. Sebagai contoh, misalnya pada foto udara terlihat tetumbuhan yang tajuknya berbentuk bintang. Pohon tersebut jelas berupa pohon palma, akan tetapi kemungkinannya masih cukup luas. Mungkin palma tersebut berupa pohon kelapa, kelapa sawit, nipah, enau, dan sagu. Di dalam contoh ini terdapat lima kemungkinan berdasarkan satu unsur interpretasi citra, yaitu berdasarkan bentuk tajuk saja. Bila ditambah satu unsur interpretasi citra lagi misalnya pola, kemungkinannya akan menjadi lebih menciut. Misalnya saja tetumbuhan tersebut polanya tidak teratur, maka kemungkinan yang lima itu menciut menjadi tiga yaitu nipah, enau, atau sagu. Pohon kelapa dan kelapa sawit pada umumnya ditanam  orang dengan pola tanam yang teratur. Kemungkinan yang tinggal tiga itu akan menciut bila ditambah dengan satu unsur interpretasi lagi, misalnya ukuran. Bila ukuran tetumbuhan tersebut 10 meter atau lebih, maka kemungkinannya tinggal dua, yaitu enau atau sagu. Nipah merupakan pohon palma yang tak berbatang yang tinggi tajuknya hanya sekitar 3 meter atau kurang. Bila ditambah satu unsur interpretasi citra lagi yaitu situsnya di tanah becek dan berair payau, maka kemungkinan tersebut benar-benar menciut menjadi satu titik simpul, yaitu bahwa yang tergambar pada foto tersebut tidak lain kecuali sagu. Enau merupakan tumbuhan darat yang tidak terdapat pada air payau.


Sumber:

Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA