Teater tradisional di Indonesia telah berkembang sebelum abad ke

Tahukah Sobat Valid, tanggal 27 Maret adalah hari yang diperingati sebagai Hari Teater Sedunia? Penggagasnya adalah Institut Teater Internasional (ITI), bersama komunitas teater internasional yang pertama kali merayakannya pada 1961. 

Dilansir dari situs World Theatre Day, Hari Teater Sedunia 2022 sedianya akan diselenggarakan oleh ITI dan dilaksanakan secara online. Perayaan tahun ini lebih banyak melibatkan pada artis-artis pendatang baru yang menjadi generasi penerus dunia teater. ITI pun akan mengundang artis teater pendatang baru dari berbagai negara, untuk berpartisipasi dalam pementasan online. 

Sekadar mengingatkan, teater sendiri merupakan jenis seni pertunjukan yang merupakan visualisasi dari drama. Dengan kata lain, teater adalah drama yang dipentaskan di atas panggung untuk disaksikan penonton. 

Jika ditarik dari sejarahnya, drama atau teater berasal dari Yunani. Secara istilah pun, “teater” berasal dari bahasa Yunani, theatron yang artinya "tempat atau gedung pertunjukan". Dalam hal ini, istilah theatron sendiri terbentuk dari kata theaomai yang memiliki arti "melihat".

Teater pertama kali dilangsungkan di Teater Dionisos yang terletak di Akropolis, Athena, Yunani pada awal abad ke-5. Sejak saat itu, seni teater menjadi salah satu hiburan paling digemari di seluruh Yunani. 

Lalu, bagaimana dengan di Tanah Air? 

Sejarah teater di Tanah Air telah dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Saat itu, sudah terlihat adanya unsur-unsur teater tradisional dalam upacara ritual. 

Seiring dengan berjalannya waktu, seni teater di Indonesia pun lambat laun berdiri sendiri, terlepas dari ritual adat atau agama dan terus berkembang hingga sekarang. Cerita yang diangkat pun banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat dari masa ke masa. 

Nah, berikut ini beberapa kelompok teater legendaris yang turut ambil andil dalam perkembangan seni teater di Indonesia. 

Bengkel Teater Rendra
W.S. Rendra mendirikan Bengkel Teater pada 1967, sepulang dari Amerika Serikat. Penyair yang dijuluki si “burung merak” itu pertama kali mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Namun, pada 1977 Rendra mengalami kesulitan untuk tampil di depan publik karena tekanan politik. 

Rendra kemudian memutuskan hijrah ke Depok dan kembali mendirikan Bengkel Teater di sana pada 1985. Hingga saat ini, Bengkel Teater Rendra masih berdiri dan berkegiatan, walaupun si empunya telah berpulang di 2009 silam. 

Rendra bisa dibilang adalah sosok sastrawan yang melahirkan banyak karya, membesarkan banyak nama, dan ambil andil dalam perkembangan seni sastra dan teater di Indonesia. Hingga saat ini, Rendra masih menjadi sosok yang dianggap berjasa dalam perkembangan teater modern di Indonesia. 

Teater Populer
Kelompok teater ini didirikan oleh Teguh Karya, bersama Nano Riantiarno, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, El Malik, Hengki Sulaiman dan beberapa nama besar di dunia teater lainnya pada 14 Oktober 1968. 

Sepeninggal Teguh pada 2001, anggota Teater Populer pun banyak yang hijrah ke dunia perfilman. Sementara itu, Nano Riantiarno mendirikan Teater Koma, yang hingga kini juga menjadi salah satu kelompok teater legendaris yang dimiliki Indonesia. 

Meskipun sempat tidak aktif, belakangan Teater Populer dihidupkan kembali oleh Slamet Rahardjo. Teater Populer pun berusaha eksis dalam berkesenian, meski tak seaktif dan seberjaya dahulu, ketika Teguh Karya hidup.

Teater Koma
Bicara soal kelompok teater legendaris Indonesia, tak lengkap rasanya jika tidak membahas Teater Koma. seperti disebutkan di atas, kelompok teater ini didirikan oleh Nano Riantiarno pada 1 Maret 1977. 

Teater Koma, kini menjadi salah satu kelompok teater yang disebut-sebut paling produktif di Indonesia. Tak hanya tampil di atas panggung-panggung besar, Teater Koma juga kerap tampil di layar kaca. Tercatat, sampai 2015 saja, setidaknya Teater Koma telah memproduksi sekitar 140 pementasan, baik di televisi atau di panggung.

Nano Riantiarno memang menjadi salah satu seniman besar di dunia teater. Ia adalah sutradara, aktor, serta penulis naskah yang dihormati di Indonesia. Selain membawakan naskah drama yang sudah banyak dikenal, grup ini juga banyak membawakan naskah karya sang pendiri. 

Teater Kecil 
 Bicara tentang Teater Kecil, berarti juga bicara tentang sang pendiri, Arifin C. Noer. Ia mendirikan kelompok teater ini pada 1968, untuk menjawab tantangan setelah masa 1965. Beberapa yang menjadi anggotanya saat itu, antara lain Ikranagara, Soedibyanto, Rudolph Puspa, Salim Said, dan Rita Zahara.

Pada awal dibentuk, Teater Kecil tidak menggunakan naskah yang mengandalkan dialog, namun lebih mengedepankan gerak, musik, dan efek rupa. Kekuatan Teater Kecil ada pada tema-tema yang diangkat, yang mencerminkan persoalan rakyat kecil, serta penderitaan dan harapan mereka. Setiap pementasan Teater Kecil pun selalu mendapat komentar baik dari para kritikus. 

Di samping itu, Arifin juga kerap memasukkan unsur-unsur tradisi, seperti lenong, wayang, dan kesenian rakyat lainnya dalam pementasan. Dengan kata lain, melalui Teater Kecil, Arifin mencoba mendekatkan teater dengan kultur masyarakat Indonesia, namun juga tidak mengabaikan unsur-unsur modern yang membuat teater tetap relevan dengan zaman. 

Teater Mandiri 
Teater Mandiri didirikan oleh Putu Wijaya, salah satu sastrawan Indonesia yang juga merupakan mantan anggota Bengkel Teater Rendra. Mulai berdiri pada 1971, kelompok teater ini punya filosofi “Bertolak dari yang ada”. 

Anggota Teater Mandiri pun berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari seniman, karyawan, anak jalanan, tukang sapu, hingga mereka yang berkebutuhan khusus, seperti tuna aksara. Bagi para pengamat seni pertunjukkan, Teater Mandiri disebut sebagai teater post-modern karena terkenal akan konsep “meneror” penontonnya. 

Teater Mandiri punya kekhasannya sendiri, yang menampilkan kisah yang membolak-balikkan logika. Tokoh dalam teater ini sering tampil tanpa karakter dan hanya mewakili sosok anonim. 

Kisah yang diangkat pun dekat dengan kenyataan. Bagi Putu Wijaya, teater punya peran memberikan teguran dan tekanan, untuk kemudian menyerang “kesadaran” penontonnya.

Nah, dari beberapa kelompok teater legendaris Indonesia di atas, manakah yang pertunjukannya pernah Sobat Valid tonton? 

Kelompok-kelompok teater di atas punya peran besar dalam perkembangan teater modern di Indonesia. Tak hanya sebagai sarana hiburan, seni pertunjukan teater di tangan kelompok-kelompok ini pun dapat menjadi bentuk kontrol sosial lewat protes, kritik, serta media untuk menggambarkan kondisi masyarakat pada masanya.

Referensi:  

 Mengenal Grup-grup Teater Legendaris Indonesia. Diakses dari Kemenparekraf: https://kemenparekraf.go.id/hasil-pencarian/mengenal-grup-grup-teater-legendaris-indonesia

Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya. Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya.  Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbedabeda, tergantung  kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia.

Wayang

Wayang  Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua.  Sedangkan bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya. Awal mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun  930.  Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa.  Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia Zaman Purba.  Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal  (daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit  sebagaimana dikenal sekarang.   Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan  wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.

Wayang Wong (wayang orang)

Teater tradisional di Indonesia telah berkembang sebelum abad ke
Wayang Wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada umumnya teater tradisional  dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada juga pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu populer. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan oleh orang. Wayang yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang kulit -hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya sendiri. Sedangkan wujud  pergelarannya berbentuk drama, tari dan musik. Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda, karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun tidak seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan dibalik layar penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerakgerakan badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari. Pertunjukan ini di Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog.

Makyong

Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita kerajaan.  Makyong juga digemari oleh para bangsawan dan sultansultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.  Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu.  Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah lain. Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang pawang (sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.

Randai

Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan bahkan berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Teater tradisional di Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita. Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu. Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam,  dendang  dan lagu. Sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu salung, rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog. Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam kaitannya dengan gaya silat di masingmasing daerah.

Mamanda

Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan, yang  orang sering menyebutnya sebagai teater rakyat.  Pada tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka yang lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek. Nama teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.

Lenong

Lenong merupakan teater rakyat Betawi. Apa yang disebut teater tradisional yang ada pada saat ini, sudah sangat berbeda dan jauh berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat lingkungannya, dibandingkan dengan  lenong di zaman dahulu. Kata daerah Betawi, dan bukan Jakarta, menunjukan bahwa yang dibicarakan adalah teater masa lampau.  Pada saat itu, di Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda menyebutnya: Batavia)  terdapat empat jenis teater tradisional yang disebut topeng Betawi,  lenong,  topeng blantek,  dan   jipeng atau jinong. Pada kenyataannya keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada cerita yang dihidangkan dan musik pengiringnya. Longser  Ada pendapat yang mengatakan bahwa longser berasal dari kata melong (melihat) dan seredet (tergugah). Artinya barang siapa melihat (menonton) pertunjukan, hatinya akan tergugah. Pertunjukan longser sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang lain, yang bersifat hiburan sederhana, sesuai dengan sifat kerakyatan, gembira dan jenaka. Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian yang sejenis dengan Longser, yaitu lengger. Ada lagi yang serupa, dengan penekanan pada tari, disebut ogel atau doger.

Longser merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di Jawa Barat, termasuk kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di daerah etnik Sunda serupa dengan longser, yaitu banjet. Ada lagi di daerah (terutama, di Banten), yang dinamakan ubrug.

Ubrug

Ubrug merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Banten. Ubrug menggunakan bahasa daerah Sunda, campur Jawa dan Melayu, serupa dengan topeng banjet yang terdapat di daerah Karawang. Ubrug dapat dipentaskan di mana saja, seperti halnya teater rakyat lainnya. Dipentaskan bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau meramaikan suatu “perayaan”. Untuk apa saja, yang dilakukan masyarakat, ubrug dapat diundang tampil. Cerita-cerita yang dipentaskan terutama cerita rakyat, sesekali dongeng atau cerita sejarah  Beberapa cerita yang sering dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau Si Jampang  (pahlawan rakyat setempat, seperti juga di Betawi). Gaya penyajian cerita umumnya dilakukan seperti pada teater rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat karikatural  sehingga selalu mencuri perhatian para penonton.   Ketoprak Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.

Ketoprak

Teater tradisional di Indonesia telah berkembang sebelum abad ke
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak. Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut  gejogan. Dalam perkembangannya menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu: Bahasa Jawa biasa (sehari-hari), Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi), Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi).

Ludruk

Ludruk merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur, berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran. Dalam perkembangannya ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat. Peralatan musik daerah yang digunakan, ialah kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering ditambah tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut. Dan lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu Parianyar, Beskalan, Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian. Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena pada zaman itu wanita tidak diperkenankan muncul di depan umum.Gambuh Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji yang diadopsi ke dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri. Peran-peran utama menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali. Sering pula para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali biasa. Suling dalam gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat tempat yang khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung kesamaan dengan “opera” pada teater Barat karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu para penari harus dapat menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah gamelan dan berfungsi sebagai penghubung antara penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam gamelan adalah pemain kendang lanang atau disebut juga kendang pemimpin. Dia memberi aba-aba pada penari dan penabuh.

Gambuh

Gambuh merupakan teater tradisional yang paling tua di Bali dan diperkirakan berasal dari abad ke-16. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit dan kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana raja-raja.

Arja

Arja merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater yang penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah Jawa Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang disederhanakan unsur-unsur tarinya, karena ditekankan pada tembangnya. Tembang (nyanyian) yang digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang macapat.

Sumber : Seni Teater Jilid 1