Peran orang tua sangat menentukan baik-buruk serta utuh-tidaknya kepribadian anak. Untuk itu orang tua pasti akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah Azza wa Jalla kelak di akhirat tentang anak-anaknya. Show Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. [HR. al-Bukhâri dan Muslim][1] Hadits ini menunjukkan bahwa orang tua sangat menentukan shaleh-tidaknya anak. Sebab pada asalnya setiap anak berada pada fitrah Islam dan imannya; sampai kemudian datanglah pengaruh-pengaruh luar, termasuk benar-tidaknya orang tua mengelola mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا Setiap engkau adalah pemelihara, dan setiap engkau akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya: Seorang pemimpin adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki juga pemelihara dalam keluarganya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan adalah pemelihara dalam rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. [HR. al-Bukhâri][2] Maka orang tua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Karena itu hendaknya setiap orang tua memperhatikan sepenuhnya perkembangan serta masa depan anak-anaknya, masa depan yang bukan berorientasi pada sukses duniawi, tetapi yang terpenting adalah sukses hingga akhiratnya. Dengan demikian, orang tua tidak boleh mementingkan diri sendiri, misalnya dengan melakukan dorongan yang secara lahiriah terlihat seakan-akan demi kebaikan anak, padahal sesungguhnya untuk kepentingan kebaikan, prestise atau popularitas orang tua. Sehingga akhirnya salah langkah. Berikut adalah beberapa kiat membentuk pribadi anak yang benar serta kiat melaksanakan pendidikan anak. Tanggung Jawab Pendidikan Dalam hal ini keteladanan para nabi ‘alaihimush shalâtu was salâm harus di ikuti. Sebagai contoh, Allah Azza wa Jalla menceritakan perhatian Nabi Ya’kub Alaihissallam terhadap anak-anaknya. Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan beliau kepada anak-anaknya saat beliau menjelang wafat: اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ Adakah kamu hadir ketika Ya’kûb kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya:”Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab:”Kami akan menyembah Sesembahan-mu dan Sesembahan nenek moyangmu; Ibrâhîm, Isma’il, dan Ishâk, (yaitu) Sesembahan satu-satu-Nya yang Maha esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya”. [al-Baqarah/2:133] Meskipun ayat ini sebenarnya ditujukan untuk membantah anggapan orang-orang ahlul kitab bahwa Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ’îl dan Ya’kûb adalah orang-orang yang beragama Yahudi atau Nasrani, namun juga mengandung pengertian jelas bahwa nabi-nabi tersebut senantiasa memperhatian akidah anak keturunannya. Yaitu agar mereka selalu hanya beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja. Imam ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: “Tafsir ayat tersebut ialah: ‘Wahai orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang mendustakan kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Apakah kalian hadir dan menyaksikan keadaan Ya’kûb pada saat menjelang wafatnya?’ Maksudnya; kalian saat itu tidak hadir. Oleh karenanya kalian jangan mengaku-aku secara bathil bahwa nabi-nabi dan rasul-rasul-Ku beragama Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya Aku telah mengutus khalîl-Ku (kekasihku) Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ’îl dan anak keturunannya untuk membawa risalah Islam yang lurus. Dengan risalah inilah mereka memberikan wasiat dan memerintahkan kepada anak keturunannya agar mereka mengikutinya. Seandainya kalian hadir pada saat kematian mereka, tentu kalian mendengar dari mereka bahwa mereka tidak berada dalam agama yang kalian anggap”.[3] Begitu juga perhatian dan pendidikan yang dilakukan Lukman kepada anaknya. Allah Azza wa Jalla berfirman: وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ – وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ – وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ – يبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ – يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ – وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ – وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ
Baca Juga Kemana Menyekolahkan Anak? Demikianlah pelajaran penting dari Luqmân kepada anaknya yang termuat dalam Surah Luqman, ayat 13-19. Intisari dari pelajaran Luqmân tersebut adalah pendidikan penting bagi masa depan anaknya, terutama masa depan ukhrawi. Secara ringkas intisari pelajaran dalam Surah Luqmân tersebut adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya, upaya mengarahkan anak menjadi anak shaleh yang beribadah hanya kepada Allah k dan meninggalkan serta membenci kemusyrikan, akan dapat dilakukan melalui proses tarbiyah (pendidikan). “Tarbiyah merupakan salah satu segi kehidupan manusia yang terpenting”.[5] Murabbi atau pendidik sebenarnya hanyalah Allah Azza wa Jalla semata, tiada sekutu baginya dalam Rububiyah. Dia adalah Rabb (yang mentarbiyah) seluruh alam semesta. Selanjutnya yang paling berhak untuk diikuti tarbiyahnya sesudah Allah Azza wa Jalla adalah para Rasul; orang-orang yang telah dipilih oleh Allah Azza wa Jalla dan telah ditarbiyah langsung oleh-Nya dengan Kitab dan Hikmah, sebagaimana telah ditarbiyah langsung dengan segala ni’mat dan karunia-Nya. Kemudian, tarbiyah yang berhak diikuti sesudahnya lagi adalah tarbiyah para pewaris nabi; orang yang yang mendapatkan tarbiyah langsung dari tangan para nabi dan dibina dengan makanan ilmu serta akhlak para nabi. Sesudah itu berlangsunglah secara bersambung pola tarbiyah ini pada generasi berikut yang diambil dari generasi sebelumnya. Orang yang paling banyak dapat menyerap pola tarbiyah kenabian ajaran Allah Azza wa Jalla ini adalah orang yang paling banyak ittiba’ terhadapnya, baik keilmuannya, pengamalannya maupun da’wahnya.[6] Lebih jelasnya, tarbiyah atau pendidikan yang benar dilaksanakan agar dapat membentuk pribadi yang beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan tentunya harus bertumpu pada aturan tarbiyah Allah Azza wa Jalla . Sebab Dia-lah Murabbi sebenarnya. Berarti pula harus berwujud pengarahan terhadap umat secara umum, dan terhadap anak-anak secara khusus, untuk senantiasa mengikuti petunjuk (huda) Allah Azza wa Jalla . Sementara itu, Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) menjelaskan makna mengikuti petunjuk (huda) Allah Azza wa Jalla yang dapat menghasilkan kebahagiaan, hilangnya rasa takut di akhirat dan hilangnya kesedihan (karena tidak mengalami bencana di akhirat-pen.) ialah;
Pada dua hal inilah keimanan berporos, yaitu meyakini berita dan mentaati perintah. Dua hal ini diikuti oleh dua hal lain, yaitu: Mengenyahkan syubhat-syubhat batil yang menyusup serta menghambat utuhnya keyakinan, dan mengenyahkan syahwat-syahwat menyimpang yang menghambat utuhnya pengamalan terhadap perintah” [7] Bahaya Syubhat dan Syahwat.
Dalam pengelolaan pendidikan, anak pun akan menghadapi dua bahaya besar ini. Oleh karenanya, orang tua harus selalu waspada terhadap dua bahaya ini. Bahaya yang akan merusak pemikiran, pemahaman serta keyakinan anak, hingga menjerumuskannya dalam bid’ah, kemusyrikan atau kekufuran; itulah bahaya syubhat. Sedangkan bahaya yang akan merusak keutuhan pribadi anak serta ketaatannya hingga menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan, kefasikan dan ketidak teguhan dalam menjalankan hukum-hukum agama; itulah bahaya syahwat. Bahaya syubhat harus diatasi dengan pendidikan ilmu yang benar dan baik. Sehingga, orang tua harus melakukan langkah-langkah yang tepat. Di antaranya adalah menanamkan aqidah dan ilmu yang lurus, memilihkan lembaga pendidikan yang bersih dari syubhat-syubhat ilmiah, lembaga pendidikan yang tidak mengajarkan filsafat dan ajaran-ajaran menyimpang serta memilihkan lingkungan pergaulan yang bersih. Juga harus memberikan pengawasan ketat terhadap buku-buku yang dibacanya. Jangan sampai buku-buku yang dibacanya adalah buku-buku yang membawa penyimpangan pemikiran atau kesesatan. Sedangkan bahaya syahwat harus diatasi dengan bimbingan secara kontinyu menuju pelaksanaan perintah agama. Kemudian memilihkan lingkungan pergaulan yang baik; memilihkan lembaga pendidikan yang ketat pengawasannya terhadap kemaksiatan dan pelanggaran syari’at; serta ketat dalam memberikan keteladanan yang baik dan senantiasa meminimalisir potensi berkembangnya kemaksiatan, penyimpangan serta pelanggaran syar’i pada diri anak. Di samping itu orang tua juga harus memberikan pengawasan terhadap bahan-bahan bacaan anak. Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dua perkara ini, yaitu syubhat dan syahwat, merupakan pangkal rusaknya seorang manusia dan kesengsaraannya di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dua pokok yang pertama, yaitu meyakini segala berita dari Allah Azza wa Jalla dan mentaati perintah-Nya, merupakan pangkal kebahagiaan dan kebaikan manusia, di dunia maupun di akhirat.[8] Baca Juga Sebab Pembangkangan Anak Kepada Orang Tua Dan Penangangannya Tashfiyah dan Tarbiyah
Dalam hal ini Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menjelaskan: “Yang demikian itu karena manusia memiliki dua potensi;
Syubhat akan berpengaruh bagi rusak (menyimpang)nya potensi ilmiah dan pemahamannya, selama tidak ada upaya untuk mengobati dengan menyingkirkan syubhat itu. Sedangkan syahwat akan berpengaruh bagi potensi rusak (menyeleweng)nya kehendak beramal, selama tidak ada upaya untuk mengobati dengan mengenyahkan syubhat itu.[9] Ini pula tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendidik umat sesuai dengan perintah Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman: لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [Ali Imrân/3:164] Itu pula keharusan bagi setiap da’i dan pendidik termasuk ayah bunda. Tazkiyah (pembersihan jiwa) tidak akan dapat berjalan sempurna tanpa adanya tarbiyah. Sedangkan Ta’lîm (pengajaran ilmu) tidak akan bisa sempurna tanpa adanya tashfiyah. Karena keduanya saling berkaitan erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.[10] Seseorang menjadi bersih jiwanya jika mengamalkan semua ketentuan syari’at Allah Azza wa Jalla yang meliputi aqidah, ibadah hingga mu’âmalah. Tanpa itu, bagaimana mungkin seseorang akan bersih jiwanya. Tetapi semua itu tidak akan terwujud kecuali dengan tarbiyah dan keteladanan yang benar. Sementara, ilmu dan pemahaman seseorang akan lurus dan benar jika pengajaran ilmiah kepadanya dilakukan dengan benar berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah sesuai pemahaman para Salafush-Shalih, melalui tangan-tangan atau sumber-sumber pengajaran yang benar pula. Apabila seseorang mempelajari Islam melalui tangan ahli bid’ah, orang-orang menyimpang, orang-orang Barat kafir, atau sumber-sumber lain yang salah pemahamannya terhadap Islam, tentu hasilnyapun adalah ilmu serta pemahaman yang menyimpang dan sesat. Itulah pentingnya proses tashfiyah. Karena itu setiap orang tua mempunyai peranan penting dalam proses tashfiyah dan tarbiyah ini. Demikianlah beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan ayah bunda dalam mengasuh anak-anaknya. Selanjutnya, yang juga tidak kalah pentingnya untuk dilakukan orang tua adalah berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar upayanya mengasuh anak-anaknya sukses dan benar-benar menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah. Wallâhu al-Muwaffiq. Pada dalil Apakah disebutkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah?Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orangtuanya yang akan membuat dia yahudi, nasrani, dan majusi” (H.R. Muslim).
Orang tua menjadikan Yahudi Majusi dan Nasrani riwayat siapa?Dan sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah, Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Apa arti hadits Kullu Mauludin Yuladu alal fitrah?Hadist shahih oleh Muttafaqun Alaih disebutkan ”Kullu mauludin yuladu”alal fitrah”, Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci bersih (fitrah).
Apa yang menyebabkan manusia keluar dari fitrahnya?Faktor Penyebab Manusia Berpaling dari Fitrahnya
Dengan melihat perjalanan manusia yang begitu panjang dan dikaitkan dengan firman Allah SWT dalam surat al-A'raf ayat 172, maka faktor yang menyebabkan manusia berpaling dari fitrahnya adalah Tidak mengingat perjanjiannya dengan Allah SWT.
|