Pernyataan berikut yang tidak terkait dengan gerakan DI/TII di Jawa Barat adalah

Lihat Foto

Wikipedia

Kartosuwiryo atau SM Kartosuwiryo

KOMPAS.com - Negara Islam Indonesia (NII) atau yang juga disebut Darul Islam (DI) dipimpin oleh Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949. 

Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (TII) terjadi di beberapa daerah salah satunya Jawa Barat. 

Tokoh pemimpin pemberontakan DI/TII Jawa Barat adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. 

Baca juga: Zaman Logam: Pembagian dan Peninggalan

Latar Belakang

Terjadinya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat ini dilandasi ketidakpuasan dari Kartosoewirjo terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. 

Waktu itu, kemerdekaan RI dibayang-bayangi kehadiran Belanda yang masih ingin berkuasa atas Indonesia. 

Di awal tahun 1948, terjadi pertemuan antara SM Kartosoewirjo dengan Panglima Laskar Sabilillah dan Raden Oni Syahroni. 

Pertemuan ini terjadi lantaran ketiga tokoh tersebut menentang adanya Perjanjian Renville. Mereka menganggap perjanjian tersebut tidak melindungi warga Jawa Barat. 

Kartosoewirjo lantas mengubah penolakannya dengan membentuk negara Islam yaitu Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh dirinya sendiri

Dicetusnya NII ini menjadi bentuk protes dari Kartosoewirjo kepada Belanda sekaligus untuk Indonesia yang mereka anggap terlalu lemah

Pengaruh dari Kartosoewirjo pun semakin membesar setelah ia mendirikan angkatan bersenjata untuk NII yang bernama Tentara Islam Indonesia (TII). 

Tujuan dari dibentuknya TII sendiri adalah untuk memerangi pasukan TNI agar bisa memisahkan diri dari negara Indonesia. 

Pergerakan NII pun semakin berkembang berkat dukungan dari daerah-daerah lain yang juga merasa kecewa terhadap Indonesia. 

Hal ini menjadi awal terjadinya pemberontakan DI/TII tidak hanya di Jawa Barat, tetapi juga merambat sampai ke daerah lainnya. 

Baca juga: Penjelajahan Samudra oleh Portugis: Latar Belakang dan Kronologi

Kartosoewirjo memproklamasikan hadirnya NII sebagai negara melalui maklumat pemerintah No II/7. Dalam maklumat disebutkan bahwa 17 Agustus 1945 adalah akhir masa kehidupan Indonesia. 

Kartosoewirjo memantapkan keputusannya untuk mengklaim seluruh wilayah Indonesia sebagai kekuasaan dari NII. 

NII kemudian menyempurnakan angkatan perangnya untuk dapat menguasai beberapa wilayah agar bergabung dengan NII. 

Pasukan ini kemudian diberi nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). 

Baca juga: Penelitian Geografi: Pengertian, Sifat, Jenis dan Contoh Judulnya

Penangkapan

Guna menanggulangi pemberontakan dari DI/TII di Jawa Barat, pemerintah mengeluarkan peraturan No. 59 Tahun 1958 yang berisikan tentang penumpasan DI/TII.

Salah satu caranya adalah dengan menurunkan pasukan Kodam Siliwangi dan menerapkan taktik Pagar Betis. 

Taktik Pagar Betis ini dilakukan dengan menggunakan tenaga rakyat dengan jumlah ratusan ribu untuk mengepung tempat persembunyian DI/TII.

Tujuan lain dibentuknya Pagar Betis yaitu untuk mempersempit ruang gerak DI/TII.

Selain Pagar Betis, operasi lain yang juga dilakukan oleh Kodam Siliwangi yaitu Operasi Brata Yudha.

Operasi ini dibentuk untuk menemukan tempat persembunyian sang imam NII, Kartosoewirjo. 

Setelah melalui perjalanan panjang untuk mencari Kartosoewirjo, dirinya berhasil dibekuk hidup-hidup oleh Letda Suhanda, pemimpin Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi. 

Tertangkapnya Kartosoewirjo ini menjadi awal mula teratasinya pemberontakan DI/TII. Banyak dari mereka yang memutuskan untuk menyerah. 

Referensi:

  • Soraya dan Abdurakhman. (2019). Jalan Panjang Penumpasan Pemberontakan DI/TII Jawa Barat 1949-1962. Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Jakarta -

Gerakan Darul Islam (DI) merupakan gerakan politik yang terjadi pada awal tahun 1948. Gerakan ini mempunyai pasukan yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII), sehingga pemberontakan ini sering disebut dengan DI/TII.

Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, gerakan DI/TII memiliki tujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Pemberontakan DI/TII merupakan salah satu pemberontakan tersulit yang pernah dihadapi Indonesia.

Sebab, pemberontakan ini menyebar di berbagai wilayah Indonesia dari Jawa, Sumatra, Sulawesi maupun Kalimantan.

Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (S.M. Kartosuwiryo). Pada masa pergerakan nasional, Kartosuwiryo merupakan tokoh pergerakan Islam Indonesia yang cukup disegani.

Selama pendudukan Jepang, Kartosuwiryo menjadi anggota Masyumi. Bahkan, ia terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I. Dalam kehidupannya, Kartosuwiryo mempunyai cita-cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.

Untuk mewujudkan cita-citanya, Kartosuwiryo mendirikan sebuah pesantren di Malangbong, Garut, yaitu Pesantren Sufah. Pesantren Sufah selain menjadi tempat menimba ilmu keagamaan juga dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabilillah.

Dengan pengaruhnya, Kartosuwiryo berhasil mengumpulkan banyak pengikut yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Dengan demikian, kedudukan Kartosuwiryo semakin kuat.

Sejalan dengan hal itu, pada 1948 Pemerintah RI menandatangani Perjanjian Renville yang mengharuskan pengikut RI mengosongkan wilayah Jawa Barat dan pindah ke Jawa Tengah.

Hal ini kemudian dianggap Kartosuwiryo sebagai bentuk pengkhianatan Pemerintah RI terhadap perjuangan rakyat Jawa Barat. Bersama kurang lebih 2000 pengikutnya yang terdiri atas laskar Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwiryo menolak hijrah dan mulai merintis gerakan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).

Atas gerakan itu, pemerintah RI berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai dengan cara membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Natsir (Ketua Masyumi).

Namun, komite ini tidak berhasil merangkul kembali Kartosuwiryo ke pangkuan RI. Oleh karena itu, pada 27 Agustus 1949, pemerintah secara resmi melakukan operasi penumpasan gerombolan DI/ TII yang disebut dengan Operasi Baratayudha.


Pemberontakan DI/TII menyebar ke Jawa Tengah

Di Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfu'dz Abdurachman (Kyai Somalangu). Amir Fatah ialah seorang komandan laskar Hizbullah di Tulangan, Sidoarjo, dan Mojokerto.

Pada 23 Agustus 1949, setelah mendapatkan pengikut, Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri untuk bergabung dengan DI/TII di Desa Pengarasan, Tegal. Amir Fatah kemudian diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia.

Selain itu, di Kebumen muncul pemberontakan DI/TII yang dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Somalangu.

Kedua gerakan ini bergabung dengan DI/TII Jawa Barat pimpinan Kartosoewirjo. Pemberontakan di Jawa Tengah ini menjadi semakin kuat setelah Batalion 624 pada Desember 1951 membelot dan menggabungkan diri dengan DI/TII di daerah Kudus dan Magelang.

Untuk mengatasi pemberontakan-pemberontakan tersebut, Pemerintah RI membentuk pasukan khusus yang disebut dengan Banteng Raiders.

Pasukan Raiders ini melakukan serangkaian operasi kilat penumpasan DI/TII, yaitu Operasi Gerakan Banteng Negara (OGBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, kemudian diganti oleh Letnan Kolonel M. Bachrun, dan selanjutnya dipegang oleh Letnan Kolonel A. Yani.

Berkat operasi tersebut, pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dapat ditumpas pada 1954. Adapun untuk mengatasi pembelotan Batalyon 624, pemerintah melancarkan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.

Simak Video "Heboh! Pria Ngaku Panglima Jenderal Kibarkan Bendera NII & Ajak Warga Masuk"

(faz/pay)

tirto.id - Sejarah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat mencapai puncak aksinya tanggal 7 Agustus 1949. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian ditangkap dan dihukum mati.

Latar belakang peristiwa ini adalah ketidakpuasan Kartosoewirjo terhadap kemerdekaan Republik Indonesia yang masih dibayang-bayangi oleh kehadiran Belanda yang ingin berkuasa lagi.

Perundingan Renville pada 7 Januari 1948 antara pihak Indonesia dan Belanda menimbulkan masalah baru. Kubu Kartosoewirjo menganggap pemberian wilayah Jawa Barat sebagai bagian Belanda bukan arti kemerdekaan sebenarnya.

Bahkan, kebijakan tersebut membawa Kartosoewirjo mengklaim Jawa Barat bukan bagian Indonesia lagi.

Dalam Darul Islam: Suatu Pemberontakan (1955), C. van Dijk menerangkan, saat itu, Kartosoewirjo bertemu dengan Raden Oni dari Laskar Sabilillah Tasikmalaya. Mereka berniat mempertahankan Jawa Barat bersama Sabilillah dan Hizbullah.

Baca juga:

  • Sejarah Perundingan Renville: Latar Belakang, Isi, Tokoh, & Dampak
  • Sejarah Agresi Militer Belanda I: Latar Belakang, Kronologi, Dampak
  • Sejarah Peristiwa PKI Madiun 1948: Latar Belakang & Tujuan Musso

Bulan Februari 1948, dibentuk Tentara Islam Indonesia (TII) serta pengangkatan Raden Oni menjadi panglimanya di Priangan.

Penetapan ini terjadi dalam pertemuan di Desa Pangwedusan, Cisayong, Tasikmalaya. Laskar Hizbullah, Sabilillah, dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) hadir di forum tersebut.

Upaya pendirian NII di Jawa Barat tercium oleh pemerintah Indonesia. Kartosoewirjo dan kawan-kawan rupanya tidak mendapatkan informasi terbaru terkait perkembangan kedaulatan Indonesia setelah Perundingan Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar (KMB).

Tokoh Islam Indonesia, Mohammad Natsir, yang nantinya menjabat sebagai perdana menteri, mengungkapkan, ia ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk mengirim surat kepada Kartosoewirjo perihal perkembangan kondisi terbaru.

Namun, sebutnya dalam buku Mohammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan (1978), surat yang ditulis tanggal 4 Agustus 1959 itu tidak sampai seperti yang diperkirakan.

Baca juga:

  • Sejarah Agresi Militer Belanda II: Latar Belakang, Tokoh, Dampaknya
  • Sejarah Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, Tokoh Delegasi
  • Sejarah Konferensi Meja Bundar (KMB): Latar Belakang, Tokoh, Hasil

Proklamasi Negara Islam Indonesia

Lantaran tidak tahu perkembangan yang terjadi, ketidakpuasan Kartosoewirjo akhirnya mencapai puncak. Proklamasi hadirnya NII sebagai negara dikumandangkan di Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, tanggal 7 Agustus 1949.

Isi proklamasi NII ala Kartosoewirjo itu antara lain:

“Bismillahirrahmanirrahim Asyhadu alla illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Kami Umat Islam Bangsa Indonesia menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia. Maka hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu ialah: Hukum Islam," demikian bunyinya ditutup takbir dan tanda tangan Kartosoewirjo.

NII dalam maklumat pemerintah No II/7, menuliskan bahwa 17 Agustus 1945 atau hari kemerdekaan Indonesia adalah akhir masa kehidupan bangsa Indonesia.

Kartosoewirjo telah memantapkan langkahnya untuk mengklaim seluruh wilayah Indonesia sebagai kekuasaan NII. Sahabat masa remaja Sukarno ini merangkai konsep bentuk dan sistem pemerintahan baru dengan dirinya sebagai imam negara.

Baca juga:

  • Sejarah Perjanjian Kalijati: Latar Belakang, Isi, & Tokoh Delegasi
  • Peristiwa Rengasdengklok: Sejarah, Latar Belakang, & Kronologi
  • Apa itu Romusha di Masa Penjajahan Jepang, Tujuan, dan Dampaknya?

Selain itu, dalam susunan pemerintahan NII ada wakil imam yang diisi oleh Karman. Terdapat juga menteri dalam negeri dan penerangan yang posisinya dijabat Sanusi Partawidjaja dan Thaha Arsyad.

Terakhir, ada beberapa posisi menteri lagi, seperti Menteri Keuangan (Udin Kartasasmita), Menteri Pertahanan (Raden Oni), dan Menteri Kehakiman (Ghazali Thusi).

NII bertahan belasan tahun dengan cara gerilya di hutan-hutan di tanah Sunda untuk mempertahankan diri dari kejaran militer Republik Indonesia.

Namun, gerakan NII ternyata juga meresahkan masyarakat. Dikutip dari tulisan Irfan Teguh berjudul “Digorok Gerombolan: Kesaksian Kekejaman DI/TII di Bandung", diungkapkan kesaksian warga bernama Emeh.

Emeh ingat betul bagaimana ia dan warga lainnya hampir setiap hari harus menyediakan nasi untuk orang-orang DI/TII dan sering diperlakukan kasar oleh anak-anak buah Kartosoewirjo itu.

Baca juga:

  • Serangan Umum 1 Maret 1949: Kronologi, Tokoh, & Kontroversi
  • Hari Pahlawan 10 November & Sejarah Pertempuran Surabaya 1945
  • Kronologi Sejarah Perang Diponegoro: Sebab, Tokoh, Akhir, & Dampak

Akhir NII & Kartosoewirjo

NII ternyata bukan hanya berperang melawan TNI, namun juga bertindak semena-mena hingga mulai timbul perasaan curiga antara ulama, pemerintah, dan masyarakat akhirnya menimbulkan peristiwa fitnah.

Menanggapi masalah ini, maka dibentuklah Badan Musyawarah Alim Ulama yang bertugas memantau pergerakan DI/TII sebagai upaya membantu pemerintah Indonesia.

Tanggal 4 Juni 1962, operasi Pagar Betis yang dilancarkan oleh militer Indonesia berhasil menangkap para anggota DI/TII beserta jajaran petingginya. Mereka ditangkap, termasuk sang imam, Kartosoewirjo.

Berdasarkan keputusan Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) tanggal 16 Agustus 1962, Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati karena telah memberontak terhadap pemerintahan Indonesia.

Pada 5 September 1962, Kartosoewirjo dibawa ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu, dekat Teluk Jakarta. Ia dieksekusi setelah sehari sebelumnya dikabulkan permintaan terakhirnya untuk bertemu keluarga.

Tepat pukul 05.50 WIB, Kartosoewirjo dihukum mati dan itulah akhir perlawanan DI/TII di Jawa Barat.

Baca juga:

  • Kontroversi Sejarah Pemberontakan Ra Semi di Kerajaan Majapahit
  • Sejarah Runtuhnya Kesultanan Mataram Islam & Daftar Raja-raja
  • Sejarah Runtuhnya Kerajaan Singasari dan Pemberontakan Jayakatwang

Baca juga artikel terkait KARTOSOEWIRJO atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/isw)

Penulis: Yuda Prinada Editor: Iswara N Raditya Kontributor: Yuda Prinada

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA