Perbedaan uu no. 32 tahun 2009 dengan uu no. 11 tahun 2022

JAKARTA, KOMPAS.com - Omnibus law Undang-undang Cipta Kerja resmi diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020.

Undang-undang sapu jagat ini mengubah sejumlah ketentuan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) salah satunya yang berkaitan dengan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Dengan adanya perubahan dalam UU Cipta Kerja, maka kini Amdal kehilangan banyak "kesaktiannya".

Sejumlah pihak menilai Amdal mulai diperlemah, terutama dalam hal pengawasan lingkungan.

Baca juga: Jokowi Sebut Amdal Tak Dihapus dalam UU Cipta Kerja, Ini Faktanya

Berikut paparannya:

1. Definisi amdal

Pasal 1 angka 11 UU PPLH menyebutkan bahwa Amdal merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Definisi tersebut sedikit berubah dalam UU Cipta Kerja, sehingga Pasal 1 angka 11 menjadi: "kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah".

Definisi ini juga sedikit berbeda dari draf RUU Cipta Kerja yang beredar sebelum DPR bersama pemerintah mengesahkannya pada rapat paripurna 5 Oktober 2020.

Dalam draf RUU, frasa "persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah" tertulis sebatas "persetujuan pemerintah".

Baca juga: Catatan Walhi, UU Cipta Kerja Mengancam Keberlangsungan Hutan karena 2 Hal Ini

2. Peran pemerhati lingkungan

Ketentuan lain yang diubah yakni mengenai peran pemerhati lingkungan hidup dalam penyusunan dokumen Amdal.

Dalam Pasal 26 Ayat (3) UU PPLH diatur, "dokumen Amdal disusun oleh masyarakat yang terdampak langsung, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal".

Sementara, pada UU Cipta Kerja tertulis perubahan dalam Pasal 26 Ayat (2) PPLH menjadi: "penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan".

Baca juga: Walhi Curiga Jokowi Belum Baca Draf UU Cipta Kerja

Perbedaan uu no. 32 tahun 2009 dengan uu no. 11 tahun 2022

Perbedaan uu no. 32 tahun 2009 dengan uu no. 11 tahun 2022
Lihat Foto

Kompas.com/Sonya Teresa

Massa BEM SI dalam demonstrasi tolak UU Cipta Kerja Membawa Piagam Kegagalan yang diberikan Bagi Pemerintah. Aksi diselenggarakan Selasa (20/10/2020), di sekitar Patung Kuda Arjuna Wijaya


3. Keberatan dan pelibatan masyarakat dihapus

UU Cipta Kerja menghapus ketentuan Pasal 26 Ayat (2) UU PPLH yang menyebutkan bahwa pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.

Pasal 26 Ayat (4) yang semula mengatur bahwa masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal juga dihapuskan.

Baca juga: Walau Jadi Sumber Korupsi, Amdal Disarankan Tidak Dihapus

4. Komisi penilai Amdal

Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghapus keberadaan Komisi Penilai Amdal. Semula, komisi ini diatur dalam Pasal 29, 30 dan 31 UU Lingkungan Hidup.

Dalam Pasal 29 UU Lingkungan Hidup disebutkan, Komisi Penilai Amdal dibentuk oleh menteri, gubernur, atau bupati/wali kota dan bertugas melalukan penilaian dokumen amdal.

Keanggotaan Komisi Penilai Amdal terdiri dari unsur instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji, pakar yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji, wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak, dan organisasi lingkungan hidup.

Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, menteri, gubernur, atau bupati/wali kota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.

Baca juga: UU Cipta Kerja Disahkan, Walhi: Penyelamatan Lingkungan Semakin Berat

5. Tim uji kelayakan

UU Cipta Kerja selanjutnya mengatur ketentuan baru mengenai tim uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup pemerintah pusat.

Perubahan terhadap Pasal 24 Ayat (3) dalam UU Cipta Kerja menyebutkan: tim uji kelayakan lingkungan hidup terdiri atas unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah dan ahli bersertifikat.

Selanjutnya, Ayat (4) pasal yang sama mengatur, pemerintah pusat atau pemerintah daerah menetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil uji kelayakan lingkungan hidup.

Baca juga: UU Cipta Kerja Disahkan, Walhi Nyatakan Mosi Tidak Percaya

Keputusan mengenai kelayakan lingkungan hidup ini digunakan sebagai persyaratan penerbitan perizinan berusaha, atau persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana uji kelayakan lingkungan hidup diatur dalam peraturan pemerintah.

Perbedaan uu no. 32 tahun 2009 dengan uu no. 11 tahun 2022

Perbedaan uu no. 32 tahun 2009 dengan uu no. 11 tahun 2022
Lihat Foto

ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kanan) menyerahkan berkas pendapat akhir pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kiri) saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang.


6. Pembatalan berdasar putusan pengadilan dihapus

Tak hanya itu, UU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan mengenai pembatalan izin lingkungan oleh pengadilan.

Semula, ketentuan itu diatur melalui Pasal 38 UU Lingkungan Hidup yang menyebut, selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.

Diberitakan, Undang-Undang Cipta Kerja resmi diundangkan setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Senin (2/11/2020).

Baca juga: Kritik soal Rencana Pemerintah Hapus Amdal dan IMB: Dianggap Konyol, Rusak Lingkungan, hingga Tak Mendesak

Draf resmi UU Cipta Kerja ini juga telah diunggah pemerintah di situs Kementerian Sekretariat Negara, yang beralamat di https://jdih.setneg.go.id.

Secara resmi, aturan ini bernama Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kali ini, draf resmi UU Cipta Kerja memiliki 1.187 halaman.

Sebelum draf resmi ini beredar, masyarakat sempat dibuat bingung karena sejak pengesahan di rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2020, tidak ada versi resmi draf final sejak berbentuk RUU Cipta Kerja.

Pada 5 Oktober 2020 sebelum rapat paripurna berlangsung, Kompas.com mendapatkan draf versi 905 halaman dari dua pimpinan Badan Legislatif DPR.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Perbedaan uu no. 32 tahun 2009 dengan uu no. 11 tahun 2022

Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja telah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR. RUU Cipta Kerja yang ditujukan untuk menarik investasi dan memperkuat perekonomian nasional ini mendapat banyak kritik dari berbagai pihak, dimana terdapat beberapa perbedaan dengan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Apa saja perbedaan aturan yang ada di Undang-Undang Ketenagakerjaan dan RUU Cipta Kerja?

No Topik Undang-Undang Ketenagakerjaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja
1 Waktu Istirahat dan Cuti
Istirahat  Mingguan Pasal 79 ayat 2 huruf b UU No.13/2003 (UUK) menyebutkan:
Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
Draft RUU Cipta Kerja, aturan 5 hari kerja itu dihapus. Sehingga berbunyi:
Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Istirahat Panjang Pasal 79 Ayat 2.d  UUK menyatakan:
Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Draft RUU Cipta Kerja ini menyerahkan regulasi terkait hak cuti panjang kepada perusahaan.

RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus dan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau perjanjian kerja sama yang disepakati

Cuti Haid Pasal 81 UUK mengatur pekerja/buruh perempuan bisa memperoleh libur pada  saat haid hari pertama dan kedua pada saat haid Draft RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan hak cuti haid bagi perempuan. RUU Cipta Kerja tidak menuliskan hak cuti haid di hari pertama dan kedua masa menstruasi yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan
Cuti hamil-melahirkan  Pasal 82 UUK mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan. Di dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran Draft RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut
Hak untuk Menyusui  Pasal 83 UUK mengatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Draft RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut
Cuti Menjalankan Ibadah Keagamaan Pasal 80 UUK menyatakan:
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Draft RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut
2 Upah
Upah satuan hasil dan waktu Tidak diatur dalam UUK sebelumnya Adanya upah satuan hasil dan waktu.
Upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan. Sementara upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.
Upah Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Upah minimum ditetapkan di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Sektoral. Berdasarkan Pasal 89 UUK, setiap wilayah  diberikan hak untuk menetapkan kebijakan Upah minimum mereka sendiri baik  di tingkat provinsi dan tingkat Kabupaten/Kotamadya. Meniadakan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), sehingga penentuan upah hanya berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP)
Bonus Tidak diatur dalam UUK sebelumnya Memberikan bonus, atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai dengan masa kerjanya. Bonus tertinggi senilai lima kali upah bagi pekerja yang telah bekerja selama 12 tahun atau lebih.
Perbedaan Rumus menghitung upah minimum Rumus yang dipakai adalah UMt+{UMt, x (INFLASIt + % ∆ PDBt )}

Keterangan : UMn : Upah minimum yang ditetapkan UMt : Upah minimum tahun berjalan Inflasit : Inflasi yang dihitung dari periode September tahun yang lalu sampai dengan periode September tahun berjalan

∆ PDBt : Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihitung dari pertumbuhan PDB yang mencakup periode kwartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kwartal I dan II tahun berjalan

Rumus yang dipakai adalah UMt+1 = UMt + (UMt x %PEt)

Keterangan : UMt : Upah minimum tahun berjalan PEt : Pertumbuhan ekonomi tahunan

Tidak ada ada inflasi, tapi menjadi pertumbuhan ekonomi daerah

3 Pesangon
Uang Penggantian Hak Diatur dalam pasal 156 (4) UUK Tidak adanya uang penggantian hak
Uang Penghargaan Masa Kerja Diatur dalam pasal 156 (3) UUK Uang penghargaan masa kerja 24 tahun dihapus. RUU Cipta Kerja menghapus poin H dalam pasal 156 ayat 3 terkait uang penghargaan bagi pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 24 tahun atau lebih dimana seharusnya pekerja/buruh menerima uang penghargaan sebanyak 10 bulan upah.
Uang pesangon  Pasal 161 UUK menyebutkan : (1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.Pasal 163  (1) UUK menyebutkan :

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).Pasal 164 dan 165 UUK mengatur mengenai pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi dan pailit berhak mendapat pesangon.Pasal 166 UUK mengatur hak keluarga buruh atau pekerja. Bila buruh atau pekerja meninggal dunia, pengusaha harus memberikan uang kepada ahli waris.

Pasal 167 UUK mengatur mengenai pesangon untuk pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun.

• Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan pasal 161 menyebutkan pekerja/buruh yang di PHK karena mendapat surat peringatan memiliki hak mendapatkan pesangon.

• Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan. Pekerja/buruh yang di PHK karena pergantian status kepemilikan perusahaan tidak akan diberi pesangon lagi oleh perusahaan awal,  sebab hal ini sudah dihapus dalam RUU Cipta Kerja.

• Menghapuskan  uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit. Pemerintah telah menghapus UU Ketenagakerjaan pasal 164 dan 165 di dalam RUU Cipta Kerja. Jadi nantinya pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan mengalami kerugian dan pailit tidak mendapatkan pesangon.

• Menghapuskan uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga apabila pekerja/buruh meninggal. Draft RUU Cipta Kerja juga telah menghapus pemberian uang santunan berupa pesangon, hak uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak bagi ahli waris yang ditinggalkan.

• Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun. Pemerintah telah menghapus pasal 167 UUK yang isinya mengatur pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun.

4 Jaminan Sosial
Jaminan Pensiun Pasal 167 ayat (5) UUK menyatakan:
Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun.

Dengan menghapus pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah)”

Jaminan Kehilangan Pekerjaan Tidak diatur dalam UUK sebelumnya Menambahkan program jaminan sosial baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan prinsip asuransi sosial
5 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Alasan perusahaan boleh melakukan PHK Melihat pada UU Ketenagakerjaan, ada  9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK seperti: • Perusahaan bangkrut • Perusahaan tutup karena merugi • Perubahan status perusahaan • pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja • pekerja/buruh melakukan kesalahan berat • pekerja/buruh memasuki usia pensiun • pekerja/buruh mengundurkan diri • pekerja/buruh meninggal dunia

• pekerja/buruh mangkir

RUU Cipta Kerja menambah 5 poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK, diantaranya meliputi: • Perusahaan melakukan efisiensi • Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan • Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang • Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh

• Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan

6 Status Kerja Pasal 59 UUK mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja itu maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun. Menghapus pasal 59 UUK yang mengatur tentang syarat pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Dengan penghapusan pasal ini, maka tidak ada batasan aturan seseorang pekerja bisa dikontrak, akibatnya bisa saja pekerja tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup.
7 Jam Kerja Waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu. Draft RUU Cipta Kerja berencana memperpanjang waktu kerja lembur menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.
8 Outsourcing Aturan UU penggunaan outsourcing dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok. RUU Cipta Kerja akan membuka kemungkinan bagi lembaga outsourcing untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu. Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas.
9 Tenaga Kerja Asing Pasal 42 ayat 1 UUK menyatakan:
Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Dalam RUU Cipta Kerja, izin tertulis TKA diganti dengan pengesahan rencana penggunaan TKA
Pasal 43 ayat 1 Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 43 mengenai rencana penggunaan TKA dari pemberi kerja sebagai syarat mendapat izin kerja dimana dalam RUU Cipta kerja, informasi terkait periode penugasan ekspatriat, penunjukan tenaga kerja menjadi warga negara Indonesia sebagai mitra kerja ekspatriat dalam rencana penugasan ekspatriat dihapuskan
Ppasal 44 ayat 1;    Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. Pasal 44 mengenai kewajiban menaati ketentuan mengenai jabatan dan kompetensi TKA dihapus.

Semoga Bermanfaat …