Negara ketiga yang duduk dalam ktn yang ditunjuk indonesia maupun belanda adalah

Jakarta -

Komisi Tiga Negara (KTN) dibentuk Dewan Keamanan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) pada 14 Agustus 1947. Anggota KTN terdiri dari beberapa negara perwakilan. Apakah detikers tahu, Komisi Tiga Negara dalam perundingan Renville terdiri dari negara apa saja?

Latar Belakang Komisi Tiga Negara

Komisi Tiga Negara dibentuk saat sidang Dewan Keamanan PBB yang membahas masalah-masalah Indonesia-Belanda. Para diplomat Indonesia seperti Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Sudjatmoko, dan Charles Tumbun saat itu menyampaikan laporan mengenai situasi di Indonesia akibat agresi militer Belanda, seperti dikutip dari IPS Terpadu untuk Kelas IX SMP oleh Nana Supriatna, Mamat Ruhimat, dan Kosim.

Komisi Tiga Negara lalu dibentuk sebagai badan arbitrase atas kesepakatan Dewan Keamanan PBB. Arbitrase adalah cara penyelesaian sebuah sengketa di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Komisi Tiga Negara dalam Perundingan Renville Terdiri dari...


Anggota KTN terdiri atas Australia yang dipilih Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda, dan Amerika Serikat yang dipilih oleh Belanda dan Indonesia. Perwakilannya yakni sebagai berikut:

- Delegasi dari Belgia yang mewakili Belanda dalam Komisi Tiga Negara adalah Paul van Zeeland

- Anggota KTN dari Australia yang menjadi wakil dari Indonesia adalah Richard C. Kirby

- Delegasi dari Amerika Serikat perwakilan Belanda dan Indonesia dalam Komisi Tiga Negara adalah Dr. Frank B. Graham

Komisi Tiga Negara dalam perundingan Renville terdiri dari negara Australia, Belgia dan Amerika tersebut nantinya.

Tugas pokok Komisi Tiga Negara

Tugas pokok Komisi Tiga Negara adalah menyelesaikan konflik antara RI dan Belanda dan memberikan jasa-jasa baik. Anggota KTN mulai bekerja sejak 27 Oktober 1947.

Sejak dikeluarkannya resolusi Dewan Keamanan pada 1 November 1947, tugas KTN tidak hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang militer.

Komisi Tiga Negara berhasil mempertemukan Indonesia dan Belanda dalam perjanjian Renville. Atas jasa KTN Indonesia dan Belanda menerima tawaran pemerintah Amerika Serikat untuk berunding di atas kapal induk pasukan Amerika Serikat USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta pada 8 Desember 1947.


Latar Belakang Perjanjian Renville

Latar belakang Perjanjian Renville di antaranya yakni pelanggaran Perundingan Linggarjati oleh Belanda. Salah satu bentuk pelanggaran Perjanjian Linggarjati oleh Belanda yaitu pihak Belanda tidak serius mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara de facto.

Belanda merasa mereka secara de facto menguasai wilayah Indonesia. Karena itu, Belanda merasa berhak berbuat apa saja di wilayah kekuasaannya. Salah satunya yakni membentuk dan memprovokasi negara-negara bagian, negara federal, atau negara boneka untuk menentang pemerintahan RI yang berpusat di Jakarta.

Belanda lalu mengeluarkan ultimatum pada pemerintah Indonesia untuk memulihkan keamanan secepat mungkin dan tidak melakukan ancaman militer pada pihak Belanda. Penolakan dari Indonesia dijawab Belanda dengan mengadakan Agresi Militer I ke wilayah Indonesia, yaitu Jawa, Madura, dan Sumatra untuk melumpuhkan pihak Indonesia.

Agresi Militer Belanda I berlangsung sejak 21 Juli 1947. Dalam agresi tersebut, beberapa kota penting di Jawa dan Sumatra jatuh ke pihak Belanda.

Agresi Militer Belanda I mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Negara bekas jajahan seperti India dan Australia menunjukkan empati atas perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. India dan Australia lalu mengajukan resolusi atas tuntutan pada PBB untuk menciptakan perdamaian di Indonesia.


Pada 31 Juli 1947, Dewan Keamanan PBB meminta Belanda dan Indonesia menghentikan perang, melakukan gencatan senjata, dan melakukan perundingan untuk menyelesaikan pertikaian.

Perundingan Renville

Delegasi Indonesia dalam perjanjian Renville diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir Widjojoatmodjo, orang Indonesia yang memihak Belanda.

Delegasi Indonesia dalam perundingan Renville terdiri dari Ali Satroamidjojo, H. Agus Salim. Dr. J. Leimena, Dr. Latuharhary, dan T.B. Simatupang. Perundingan di atas kapal tersebut berakhir pada 17 Januari 1948.

Isi Perjanjian Renville adalah sebagai berikut:

a. Persetujuan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda

b. Enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian politik yang meliputi:


1) Belanda tetap memegang kedaulatan atas seluruh wilayah Indonesia sampai dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS)

2) Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya pada pemerintah federal sementara

3) RIS sederajat dengan Belanda dan menjadi bagian Uni-Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua uni tersebut

4) Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS

5) Akan diadakan penentuan pendapat rakyat (plebisit) di Jawa, Madura, dan Sumatra untuk menentukan apakah rakyat akan bergabung dengan RI atau RIS

6) Dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun, akan diadakan pemilu untuk membentuk Dewan Konstitusi RIS

Anggota KTN melihat langsung kegagalan Perundingan Renville saat Belanda melakukan serangan udara Belanda atas lapangan terbang Maguwo di Yogyakarta, seperti dikutip dari buku IPS Terpadu 3A untuk SMP dan MTs Kelas IX Semester 1 oleh Y. Sri Pujiastuti, T. D. Haryo Tamtomo, dan N. Suparno.

Serangan udara tersebut menjadi bagian dari Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pihak Belanda ke wilayah Indonesia.

Simak Video "Patung Kayu Tertua di Dunia! 2 Kali Lipat Lebih Tua dari Piramida Mesir"



(twu/pay)

Lihat Foto

Wikimedia Commons

Delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville. Dari kiri ke kanan: Johannes Latuharhary, Ali Sastroamidjojo, Agus Salim, Johannes Leimena, Setiadjit Soegondo, Amir Syarifuddin

KOMPAS.com - PBB sebagai organisasi perdamaian Internasional juga turut ambil peran dalam permasalahan konflik antara Indonesia dan Belanda.

Pada tanggal 31 Juli 1947, Dewan Keamanan PBB mengadakan agenda sidang untuk membahas permasalahan Indonesia dan Belanda.

Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, India, Australia, Amerika Sertikat, dan Uni Soviet sangat aktif dalam mendukung Republik Indonesia dalam sidang tersebut.

Sidang PBB pada tanggal 1 Agustus 1947 menghasilkan sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB yang berisi seruan kepada Indonesia dan Belanda untuk menghentikan tembak menembak dan menyelesaikan konflik mereka dengan cara damai.

Baca juga: Agresi Militer Belanda I

Dewan Keamanan PBB menggunakan cara arbitrase (perwasitan) untuk menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda.

PBB membentuk sebuah komite bernama Komite Jasa Baik untuk Indonesia yang lebih dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN) pada 25 Agustus 1947.

Tiga negara perwakilan 

KTN dibentuk untuk menengahi konflik Indonesia dan Belanda. KTN terdiri dari tiga negara pilihan dari Indonesia dan Belanda, yaitu: 

  • Richard C Kirby dari Australia (wakil Indonesia)
  • Frank B Graham dari Amerika Serikat (pihak netral)
  • Paul Van Zeeland Belgia (wakil Belanda)

Komisi Tiga Negara mulai bekerja secara efektif setelah anggotanya datang di Indonesia pada 27 Oktober 1947.

Tugas KTN tidak hanya dibidang politik, namun juga militer. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid VI (1993) karya M.J Poesponegoro dkk, Amerika Serikat sebagai pihak netral menyediakan kapal USS Renville sebagai alat keamanan PBB di Indonesia serta tempat perundingan antara Indonesia dan Belanda.

Baca juga: Dampak Perang Dunia II bagi Indonesia di Berbagai Bidang

Lihat Foto

kemdikbud.go.id

Komisi Tiga Negara (KTN) bentukan PBB

KOMPAS.com - Komisi Tiga Negara atau yang juga dikenal sebagai Komisi Kantor Baik dibentuk oleh PBB pada tanggal 26 Agustus 1947.

Dibentuknya KTN ini bertujuan untuk menengahi konflik yang terjadi antara Indonesia dan Belanda pada Agresi Militer Belanda.

Terdapat tiga negara yang menjadi anggota dalam Komisi Tiga Negara, yaitu:

  • Amerika Serikat
  • Australia
  • Belgia

Baca juga: Ki Hadjar Dewantara: Kehidupan, Kiprah, dan Semboyannya

Latar Belakang 

Pada masa Agresi Militer Belanda I, Indonesia dan Belanda masih terus berseteru, karena Belanda belum menyerah untuk menguasai tanah air. 

Karena masalah Agresi Militer Belanda antara Indonesia dan Belanda tidak kunjung usai, pemerintah Indonesia mengundang Menteri Luar Negeri Australia, Herbert Vere Evatt, untuk turut membantu menyelesaikannya.

Pada waktu itu, Australia menjadi salah satu negara yang sudah merdeka serta kuat pada bidang militer. 

Sebagai bentuk bantuan Australia kepada Indonesia, Evatt berencana membawa permasalahan ini ke Dewan Keamanan PBB.

Tindakan dari Evatt ini mendapat dukungan dari Perdana Menteri Australia, Joseph Benedict Chifley. 

Permasalahan Indonesia kemudian diterima oleh Dewan Keamanan PBB pada 30 Juli 1947. 

Bantuan lain yang juga diberikan Australia yaitu dengan mengusulkan rancangan resolusi.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA