Februari 17, 2015 by MUHAMMAD ANSYARI - dibaca 8984 kali Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia berfikir. Berfikir menjadikan manusia mampu melakukan perubahan dalam dirinya. Dalam konteks ini, perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas berfikir, oleh karena itu sangat wajar apabila berfikir merupakan kunci dalam setiap kehidupan manusia. Berfikir memberikan kesempatan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi landasan penting bagi kegiatan berfikir secara komperhensif. Kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan berfikir. Berfikir mensyaratkan adanya pengetahuan (Knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar (metode ilmiah), yang kemudian melahirkan pengetahuan ilmiah dan kebenaran ilmiah. Ilmu sebagai pengetahuan ilmiah memiliki posisi dan kedudukan yang sangat penting dalam menopang kesejahteraan umat manusia karena dengan ilmu pengetahuan maka manusia selain dapat mensejahterakan hidupnya dan mencari nilai-nilai hakiki serta memaknai arti sebuah kehidupan dalam hidupnya. Hanya saja tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu yang melahirkan kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah hanya bisa didapat melalui metode ilmiah yang dilaksanakan oleh seorang ilmuwan, tanpa metode ilmiah, hanyalah kebenaran yang masih bersifat “semu”. Tulisan ini berupaya memetakan tiga aktivitas manusia dalam menemukan pengetahuan ilmiah melalui metode yang digunakan untuk mencapai kebenaran ilmiah dan memiliki manfaat bagi kehidupan manusia.
Mendefinisikan ilmu pengetahuan ternyata tidak semudah dengan yang diperkirakan. Adanya berbagai definisi tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat memberikan gambaran tentang hakikat ilmu pengetahuan. Bahkan penggabungan kata ilmu dengan pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan berkonotasi ganda, sehingga dalam penulisannya cukup dipakai salah satu kata sesuai dengan maknanya.[1] Sebelum memahami ilmu sebagai pengetahuan ilmiah, terlebih dahulu akandijelaskan ilmu dan pengetahuan. Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.[2] Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang membedakan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya, karena jawaban keilmuan didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga pernyataan pokok, yaitu ontologi, epistmologi dan aksiologi. Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui (obyek), sedangkan epistemologi membahas tentang bagaimana membahasnya secara mendalam (metode), kemudian aksiologi mengacu pada nilai atau manfaat.[3] The Liang Gie menjelaskan ilmu sebagai proses, metode ilmiah dan pengetahuan yang sistmatis.[4] Ilmu secara nyata dan khas adalah suatu aktivitas manusiawi, yakni perbuatan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Ilmu tidak hanya satu aktivitas tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat rasional, kognitif, dan memiliki tujuan. Ilmu dapat dipahami dari 3 sudut, yakni ilmu dapat dihampiri dari arah aktivitas para ilmuwan atau dibahas mulai dari segi metode atau dimengerti sebagai pengetahuan yang merupakan hasil yang sudah sistematis.Pemahaman yang tertib tentang ilmu akan menghasilkan tiga ciri pokok yaitu sebagai rangkaian kegiatan manusia atau proses, sebagai tata tertib tindakan pikiran atau prosedur, dan sebagai keseluruhan hasil yang dicapai atau produk. Berdasarkan ketiga kategori proses, prosedur, dan produk yang semuanya bersifat dinamis (tidak ada yang statis), ilmu dapat dipahami sebagai aktivitas penelitian, metode kerja, dan hasil pengetahuan. John G. Kemeny mengartikan ilmu sebagai semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah.[5]Dalam konteks ini, ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, konsisten dan telah teruji kebenarannya secara ilmiah. Sedangkan pengetahuan adalah fakta-fakta yang belum teruji kebenarannya. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka.[6] Pengertian mengenai pengetahuan menunjuk pada fakta-fakta sebagai intinya, namun perlu dipahami bahwa ilmu bukanlah fakta-fakta. Pernyataan yang lebih tepat ialah ilmu selalu berdasarkan fakta-fakta. Fakta-fakta itu diamati dalam aktivitas ilmiah. Dari pengamatan itu selanjutnya fakta-fakta itu dihimpun dan dicatat sebagai data. Yang dimaksud dengan diatas adalah berbagai keterangan (seringkali yang bisa menunjukkan pengukuran) yang dipandang relevan bagi suatu penyelidikan dan yang dihimpun berdasarkan persyaratan yang ditentukan secara rinci.[7] Paparan-paparan di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan prinsip antara ilmu dengan pengetahuan. Ilmu merupakan kumpulan dari berbagai pengetahuan, dan kumpulan pengetahuan dapat dikatakan ilmu setelah memenuhi syarat-syarat. Ilmu sebagai produk bermakna pengetahuan ilmiah yang kebenarannya dapat diuji secara ilmiah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan kumpulan-kumpulan yang disusun secara sistematis dari pengetahuan yang dihimpun melalui melalui teknik-teknik pengamatan yang obyektif. Sehingga isi ilmu terdiri dari kumpulan-kumpulan teratur dari data yang akan memberikan dampak yang positif bagi kehidupan manusia. Selanjutnya, jika dilihat dari jenisnya, George Klubertanz membagi pengetahuan menjadi tiga, yaitu:
Endang Komara menyebutkan tiga jenis pengetahuan, yaitu:
Dari paparan di atas, walaupun terkadang ada perbedaan pendapat dari para ahli mengenai jenis pengetahuan, namun terdapat kesamaan dari para ahli dalam menjelaskan pengetahuan ilmiah.Dalam konteks ini, pengetahuan ilmiah memiliki ciri tertentu yang bersifat sistematis, objektif dan diperoleh dengan metode tertentu seperti observasi, eksperimen, dan klasifikasi.Analisisnya bersifat objektif dengan mengedapankan etika keilmuan. Selanjutnya, jika dilihat pada sumber pengetahuan, maka pengetahuan yang kita miliki tentunya berasal dari berbagai sumber. Dalam konteks ini, sumber pengetahuan antara lain:
Dengan demikian, nampak ada struktur pengetahuan manusia yang menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran.Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda.Pengetahuan inderawi dianggap sebagai struktur terendah dalam struktur pengetahuan manusia.Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif.Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri.Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas dan memiliki fungsi bagi kehidupan manusia.Di sinilah fungsi pengatahuan ilmiah dalam menyelesaikan pelbagai persoalan-persoalan dalam kehidupan manusia. Pengetahuan ilmiah pada hakikatnya mempunyai tiga fungsi, yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bias melakukan kontrol agar ramalan tersebut terjadi atau tidak.[11]Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni:
Dari penjelasan di atas, nampak bahwa pengetahuan ilmiah memiliki posisi yang strategis dalam kehidupan manusia. Dalam konteks ini, pengetahuan ilmiah memberikan penjelasan yang komperhensif terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. Contohnya, dengan kemampuan manusia untuk menyelidiki gejala-gejala alam seperti musim hujan, banjir, kemarau akan memberikan “petunjuk” terhadap manusia dalam mengambil langkah-langkah strategis dalam menghadapi dampak dari gejala alam seperti yang disebutkan diatas. Sehingga manusia terhindar dari dampak yang dapat merugikan manusia, seperti halnya banjir. Dengan adanya penjelasan tentang banjir dengan berbagai faktor yang mengirinya, maka manusia dapat meramalkan kapan banjir akan datang, dengan ramalan tersebut maka manusia akan mampu mengontrol agar dapat terhindar dari persoalan banjir. Sedangkan system pengetahuan ilmiah mencakup lima kelompok unsur yang berikut:[13]
Dengan demikian, ilmu sebagai pengetahuan merupakan rangkaian system yang saling terkait satu sama lain. Artinya, sekumpulan pengetahuan yang disebut ilmu memiliki komponen-komponen merupakan landasan teoritis maupun praktis dalam sebuah system yang utuh, sehingga menghasilkan pengetahuan yang ilmiah yang berujung pada kebenaran ilmiah.
The Liang Gie membagi pengetahuan ilmiah dibedakan menjadi dua ragam, yaitu ilmu teoritis (theoretical science) dan ilmu praktis(practical science).[15]Menurut The Liang Gie ada enam jenis objek material pengetahuan ilmiah, yaitu ide abstrak, benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, peristiwa sosial, dan proses tanda. Berdasarkan enam jenis pokok soal di atas, The Liang Gie membagi menjadi tujuh jenis pengetahuan ilmiah, yaitu seperti yang digambarkan pada tabel berikut:
Al-Ghazali membagi ilmu ke dalam ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyahsebagai berikut:
Metode menurut Senn merupakan suatu poses atau cara mengetahui sesuatu yang memiliki langkah-langkah sistematis.[17] Ilmu sebagai metode ilmiah sebagai suatu rangkaian aktivitas mengandung prosedur tertentu, yakni serangkaian cara dan langkah tertib yang mewujudkan pola tetap. Rangkaian cara dan langkah ini dalam dunia keilmuan disebut metode. Untuk menegaskan bidang keilmuan itu seringkali dipakai istilah metode ilmiah (scientific method). Prosedur yang merupakan metode ilmiah meliputi pengamatan, percobaan, analisis, deskripsi, penggolongan, pengukuran, perbandingan, dan survai.[18] Dengan demikian, metode ilmiah merupakan teknis untuk mendapatkan pengetahuan baru, atau mengembangkan pengetahuan yang ada, teknis pelaksanaannya yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, untuk menghasilkan dan memperkembangkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Mengingat ilmu merupakan suatu aktivitas kognitif yang harus mematuhi berbagai kaidah pemikiran yang logis, maka metode ilmiah juga berkaitan sangat erat dengan logika dengan mengedepankan etika keilmuan. Dengan demikian, prosedur-prosedur yang tergolong metode logis termasuk pula dalam ruang lingkup metode ilmiah. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypo-thetico-verivikasi ini pada dasarnya terdiridari langkah-langkah sebagai berikut:[19]
Selanjutnya Sheldon J. Lachman mengurai metode ilmiah menjadi 6 langkah yang berikut:
George Abell merumuskan metode ilmiah sebagai suatu prosedur khusus dalam ilmu yang mencakup 3 langkah berikut:
Metode ilmiah lain dikemukakan oleh J. Eigelberner yang mencakup 5 langkah sebagai berikut:
Perbedaan pendapat para ahli mengenai metode ilmiah dirumuskan secara berbeda-beda, ada 4 – 5 langkah yang merupakan pola umum yang senantiasa dilaksanakan dalam penelitian. Langkah-langkah baku itu ialah penentuan masalah, perumusan hipotesis atau pangkal duga bila dianggap perlu, pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian atau verifikasi hasil. Tata langkah tersebut melibatkan berbagai konsep dalam metode ilmiah.Konsep adalah ide umum yang mewakili sesuatu himpunan hal yang biasanya dibedakan dari pencerapan atau persepsi mengenai suatu hal khusus satu per satu.Konsep merupakan alat yang penting untuk pemikiran utama dalam penelitian ilmiah. Sebagai ikhtisarrangkuman, segenap unsur metode ilmiah tersebut di atas dapat diperjelas sebagai berikut:[23] Pola Prosuderal Pengamatan Percobaan Pengukuran Survai Deduksi Induksi analisis Tata langkah Penentuan masalah Perumusan Hipotesis Pengumpulan data Penurunan ksimpulan Pengujian hasil Berbagai teknik Data pertanyaan Wawancara Perhitungan Aneka alat Timbangan Meteran Papian Komputer Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode ilmiah pada umumnya menyangkut empat hal yakni: pola prosedural, tata langkah, teknik-teknik, dan alat-alat. ilmu sebagai prosedur berarti ilmu merupakan kegiatan penelitian yang menggunakan metode ilmiah. Pola dan tata langkah prosedural itu dilaksanakan dengan cara-cara operasional dan tehnis yang lebih terinci.Cara-cara itulah yang mewujudkan tehnik. Jadi, tehnik adalah sesuatu cara operasional teknis untuk memperoleh dan menangani data dalam penelitian.
dikenal Kebenaran ilmiah bersifat terbuka, objektif dan universal, bisa ditambah dan dikurangi, atau dirobah secara total bila terdapat dalil baru yang telah dibuktikan juga secara ilmiah, jadi tidak ada fanatisme dalam kebenaran ilmiah, dan kebenaran ilmiah itu tidak perlu diimani. Hal ini disebabkan karena kebenaran dan ketercocokan sebuah kajian ilmiah akan terbatas pada ruang, waktu, tempat dan kondisi tertentu, tentu ini tidak lepas dari rasio manusia yang terbatas.[26] Dengan demikian, kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan.Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya.Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah.Hanya saja yang perlu digaris bawahi bahwa Menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar kepada 3 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis. (Pembahasan mengenai teori kebenaran ini hanya sedikit dan sebagai sebuah pengantar, mengingat sudah dibahas pada makalah sebelumnya) Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realis.Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[29] Teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[30] Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme.Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan.[31] Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia.[32] Persoalannya kemudian, bagaimana manusia menemukan kebenaran ilmiah? Persoalan yang kiranya sulit untuk “dijawab”, namun demikian ada beberapa cara yang bisa dilakukan manusia dalam usahanya untuk menemukan kebenaran ilmiah melalui pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah akan menghasilkan kesimpulan serupa bagi hampir setiap orang. Karena pendekatan tersebut tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi maupun perasaan, dan cara penyimpulannya objektif bukan subjektif. Untuk menemukan kebenaran ilmiah seseorang harus bisa berpikir secara ilmiah, setidaknya ada 3 tahapan berpikir yang harus dilalui, yaitu:
Pada akhirnya, mendefinisikan kebenaran merupakan hal yang sulit, sebab mendefinisikan berarti memberikan batasan.Padahal kebenaran itu sendiri merupakan kata yang dalam perakteknya “mempunyai”sifat relatifjika dalam bidang ilmu atau pengetahuan lainnya, tergantung pada sudut pandang yang ingin dilihat.Kerelativan kebenaran itu karena perbedaan asumsi dan pola pandangan setiap orang terhadap kebenaran dan pada ilmu atau teori dikaji. Ilmu itu merupakan suatu rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang ilmiah mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran ilmu (ilmiah), memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan terhadap pelabagai persoalan yang dihadapi oleh manusia. Akhirnya, kebenaran ilmiah merupakan hasil dari proses kegiatan ilmiah melalui metode ilmiah. Kebenaran ilmiah ini tidak serta menjadikan fanatisme berlebihan, mengingat ada ruang dan waktu yang menjadikan kebenaran ilmiah bisa berubah dan berkembang seiring dengan perubahan zaman. DAFTAR PUSTAKA Aceng Rahmat (et. al) Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007. Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000. Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu; Dari Hakikat Menuju Nilai, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006. Djohan Sjah Marzuki, Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu, Jakarta: Gramedia, 2000. Endang Komara, FilsafatIlmu dan Metodologi Penlitian, Bandung: Refika Aditama, 2011. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010. Harold H Titus, dkk.Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 1980 Jujun Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif; Sebuah Kumpulan Hakikat Ilmu, Jakata: Yayasan Obor Indonesia, 2001. Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakata: Pustaka Sina Harapan, 2009 Muhammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2011. M. Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001 Sulistyo-Basuki, Metode Penelitian, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2006 Supriyanto, S. Filsafat Ilmu; Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat Surabaya: Universitas Airlangga, 2003. The Liang Gie, Pengantar filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007.
[1]Istilah “Ilmu Pengetahuan” merupakan suatu ploenasme, yakni pemakaian lebih dari satu perkataan yang atinya sama. Untuk Pengertian yang dicakup kata inggis “science” cukuplah disebut ilmu saja tanpa penambahan perkataan “pengetahuan”. The Liang Gie, Pengantar filsaat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), h. 85. Lihat Juga Jujun Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif; Sebuah Kumpulan Hakikat Ilmu, (Jakata: Yayasan Obor Indonesia, 2001), h. 9
[2]Disisi lain, ilmu membatasi diri hanya kepada kajian yang bersifat empiris. Obyek penalaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia.Dimana ilmu pengetahuan yang diperoleh itu berdasarkan pengamatan atau percobaan.Selain itu ciri ilmu ada 3, yaitu obyektif, analitis dan verifikatif. Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakata: Pustaka Sina Harapan, 2009), h. 33
[3]Jujun Suriasumanti (penyunting), Op. Cit., h. 5
[4]The Liang Gie, Op. Cit., h. 90
[5]Muhammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2011), h. 49
[6]Supriyanto, S. Filsafat Ilmu; Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat (Surabaya: Universitas Airlangga, 2003), h. 8. Untuk memperjelas pemahaman kita, perlu juga dibedakan antara pengatahuan yang sifatnya pra ilmiah dengan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan yang bersifat prailmiah ialah pengetahuan yang belum memenuhi syarata-syarat ilmiah pada umumnya.Sebaliknya, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang yang harus memenuhi syarat-syarat ilmiah, yaitu obyek yang jelas dan sistematis. Lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 90
[7]The Liang Gie, Op. Cit., h. 123
[8]Ibid, h.123. Bandingkan dengan pendapat Burhanuddin Salam yang mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu: 1) Pengetahuan biasa (common sense), common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari, seperti air dipakai untuk menyiram Bunga, makanan dapat memuaskan rasa lapar, dll. 2) Pengetahuan ilmu, Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. 3) Pengetahuan Filsafat, dan 4) Pengetahuan agama. Lihat Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat , (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 6-7
[9]Endang Komara, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penlitian, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 89-98.
[10]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007) , h. 98-110
[11]Jujun Suriasumantri, Op. Cit., h. 142
[13] The Liang Gie, Op. Cit., h.151
[14]Ilmu mempunyai dua macam obyek, material dan formal.Obyek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti manusia adalah penyelidikan dari ilmu pendidikan, social dan psikologi.Tubuh manusia menjadi sasaran ilmu kedokteran, ilmu farmasi.Sedangkan obyek formal ilmu berkaitan dengan pendekatan dan metode yang digunakan dalam melakukan pemahaman dan penyelidikan terhadap obyek material ilmu. Lihat Aceng Rahmat (et. al ) Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 103
[15]Ibid, h. 16.Bandingkan dengan penggolongan pengetahuan ilmiah yang dipaparkan oleh Endang Komara, bahwa ada yang tergolong pengetahuan fisis (ilmu pengetahuan alam), ilmu pengetahuan non-fisis (social, humaniora dan ketuhanan).Pengetahuan fisis bersifat kuantitatif, sementara non fisis bersifat kualitatif.Endang Komara,Op. Cit.,h. 31
[16]Amsal Bakhtiar, Op. Cit., h. 123.
[17]Jujun Suriasumantri, Op. Cit., h. 199.
[18]The Liang Gie,Op. Cit., h. 111
[19] Jujun Suriasumantri, Op. Cit.,h. 128
[20]The Liang Gie, Op. Cit., h. 113
[24]Jujun S. Suriasumantri,Op. Cit.,h. 55
[25]Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu; Dari Hakikat Menuju Nilai (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006), 143.
[26]Djohan Sjah Marzuki, Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 15
[27]Sulistyo-Basuki, Metode Penelitian, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2006), h. 6
[28]Dalam konteks Islam, menurut M. Natsir, “agama adalah semua kaidah-kaidah, hudud dalam muamalah dalam masyarakat menurut garis-garis yang ditetapkan oleh Islam itu”.Dengan kata lain, garis-garis yang ditetapkan Islam adalah ketentuan yang diinginkan oleh Tuhan.Memang agama sering dikaitkan dengan sesuatu yang adikodrati.Kekuatan adikodrati inilah yang dianggap menentukan jalan dan arah kehidupan manusia. Untuk mengarahkan manusia tersebut sang adikodrati lazimnya mengutus seorang utusan untuk menyampaikan “pesan-pesan”-Nya, dalam konteks agama disebut dengan wahyu. Manusia dalam upayanya memahami wahyu tersebut menciptakan berbagai wilayah keilmuan, di dalam Islam muncullah ilmu seperti tafsir, fikih, akidah, akhlak, tasawuf, dan lain sebagainya.Dan inilah rumpun dari ilmu-ilmu agama, khususnya dalam agama Islam.Oleh karena ilmu-ilmu ini dibuat untuk memahami realitas absolut maka tujuannya tentu saja adalah untuk mendapatkan “anugerah” dari sang absolut tersebut, untuk keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun untuk mencapai anugerah ini tidak bisa hanya dilandasi dengan pemahaman rasional saja namun lebih penting lagi adalah dilandasi keimanan (keyakinan) terhadap sang absolut tersebut.M. Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Media Dakwah, 2001), h. 75.
[29]Harold H Titus, dkk.Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 237.
[30]Jujun S. Surisumantri, Op. Cit., h. 57
[31]Harold H Titus, dkk.,, Op. Cit., h. 241
[32]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 130.
[33]A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), h. 139-140 |