Mengapa orang mukmin harus menjadi orang yang kuat?

rs-alirsyadsurabaya.co.id-Memang tak salah bahwa Islam mengajarkan segala hal. Mulai dari hal kecil hingga hal besar. Beribadah didukung dengan fisik yang kuat akan membuat ibadah semakin optimal.

Ada satu alasan mengapa tubuh yang kuat dapat menjadikan diri dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini tercantum dalam Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan, “Orang beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang beriman yang lemah dan pada keduanya ada kebaikan.”

Dalam hadits tersebut sangat jelas menyebutkan bahwa seorang mukmin yang kuat lebih dicintai Allah. Secara logika, tentu saja orang yang kuat fisiknya akan mampu memperbanyak intensitas dan kualitas ibadahnya ketimbang orang yang lemah. Orang yang kuat secara ekonomi mampu berinfak dan bersedekah lebih banyak ketimbang orang yang perekonomiannya lemah, orang yang kuat secara fisik dapat membantu dalam proses pembangunan masjid dan lain sebagainya.

Sementara itu, Imam Nawawi rahimahullah mendefinisikan kuat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah kuat tekadnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah. Kuatnya tekad ini sudah menjadi karakter dan tabiat bagi orang-orang yang beriman untuk berlomba-lomba memburu kebaikan.

Tak hanya Imam Nawawi yang mendefinisikan itu, bahkan Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal pun juga berpendapat dalam tulisannya di situs rumaysho.com, “Mukmin yang kuat disini bukanlah yang dimaksudkan seorang mukmin yang kekar badannya, perkasa, dan sehat.” Ia berpendapat bahwa kuat yang dimaksud adalah seorang mukmin yang kuat imannya.

Namun nyatanya, untuk mendukung tekad keimanan dalam melaksanakan ibadah tersebut juga diperlukan fisik yang sehat dan bugar. Memperoleh fisik yang sehat dan bugar ini salah satunya bisa dengan berolahraga. Dalam Islam sendiri bahkan ada beberapa olahraga yang dianjurkan untuk dilakukan. Karena, dulunya Rasulullah juga melakukan olahraga tersebut. Berikut adalah olahraga-olahraga yang dianjurkan untuk dilakukan oleh seorang muslim :

Dalam berolahraga panahan, satu hal yang dibutuhkan adalah kefokusan. Olahraga ini dapat meningkatkan fokus seseorang terhadap suatu target. Tak hanya fokus seseorang, koordinasi antar anggota tubuh serta ketenangan diri pun meningkat. Dengan manfaat yang di dapat tersebut, beribadah pun akan semakin optimal.

Olahraga panahan ini juga diperkuat dari sabda Rasulullah dalam Hadits Riwayat Bazzar dan Thabrani yang berbunyi, “Kamu harus belajar memanah, karena memanah adalah sebaik-baik permainanmu.”

Menurut Penulis studi, Profesor Mitsuaki Ohta mengatakan bahwa gerakan panggul saat berkuda dapat memberikan rangsangan motorik dan sensorik ke seluruh tubuh. Hal ini dapat mengaktifkan sistem saraf simpatik di otak yang berkaitan dengan memori dan pembelajaran.

Dapat diketahui bahwa berkuda dapat meningkatkan kemampuan memori dalam seseorang. Tentu, hal ini sangatlah berguna apalagi untuk orang-orang yang sedang melakukan hafalan Al Quran. Memori mereka akan benar-benar kuat, dan ibadah tersebut dapat dilakukan dengan optimal.

Seorang mukmin yang kuat imannya didukung kuat fisiknya akan membuat ibadah yang dilakukan semakin optimal. Dua olahraga tersebut sangat dianjurkan berdasarkan Hadits Riwayat Muslim. Rasulullah bersabda, “Lemparkanlah panah dan tunggangilah kuda.” Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa kita dapat melakukan olahraga lain selama tujuannya baik. (ipw)

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Derajat keimanan dan ketakwaan seseorang ternyata tidak sama di hadapan Allah SWT. Sebagaimana berlaku di berbagai golongan dan kelompok, levelisasi keimanan pada orang beriman juga terjadi.

Contohnya, pada institusi kepolisian. Kendati sama-sama anggota polisi dan memakai seragam yang sama, pangkat masing-masing mereka tidaklah sama. Ada yang jenderal, komandan, dan ada pula yang prajurit.

Demikian pulalah yang terjadi pada keimanan setiap orang beriman. Kendati sama-sama orang beriman, di hadapan Allah ada level-level keimanan yang diraih seseorang. Orang beriman yang paling tinggi derjatnya adalah mereka yang paling dicintai oleh Allah SWT. Semakin dekat ia dengan Allah, semakin tinggilah derajat keimanannya.

Lalu, siapakah mereka yang paling dicintai Allah itu? Hadis dari Abu Hurairah RA menyebutkan, "Orang beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah SWT daripada orang beriman yang lemah dan pada keduanya ada kebaikan." (HR Muslim).

Tentu saja orang yang kuat lebih baik kualitas ibadahnya daripada mereka yang lemah. Secara logika saja, orang yang kuat secara fisik akan lebih mampu untuk memperbanyak intensitas dan kualitas ibadah ketimbang orang yang lemah.

Orang yang kuat secara ekonomi akan mampu berinfak dan bersedekah lebih banyak ketimbang orang yang perekonomiannya lemah. Jadi, salah satu upaya untuk meraih kecintaan Allah dan menggapai derajat keimanan yang lebih tinggi adalah dengan menjadi mukmin yang kuat.

Lantas, kuat seperti apakah yang dimaksudkan dalam hadis tersebut? Imam Nawawi mendefinisikan kuat dalam Hadis Riwayat Muslim tersebut adalah kuatnya tekad untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah SWT. Sudah menjadi karakter dan tabiat bagi orang beriman untuk berlomba-lomba memburu kebaikan dan ketaatan kepada Allah.

Para sahabat Nabi SAW selalu mencari tahu, apa sunah Nabi mereka yang belum sempat mereka kerjakan. Jika ada momentum melakukan kebaikan, mereka tak ingin ketinggalan, apalagi mengabaikannya.

Inilah yang didefinisikan para ulama bahwa levelisasi keimanan dikelompokkan pada tiga kelompok besar. Pertama, mereka yang termasuk pada kategori as-Sabiquna bil khairat (golongan yang senantiasa bergegas melakukan kebaikan). Mereka yang termasuk pada golongan ini adalah mereka yang senantiasa menyibukkan diri melakukan hal yang wajib dan yang sunah.

Tidak hanya itu, mereka berupaya meninggalkan seluruh yang haram, bahkan yang makruh. Mereka senantiasa bertekad untuk menyempurnakan amalan-amalan yang dianjurkan.

Kedua, golongan al-Muqtashidun (golongan pertengahan), yakni mereka yang merasa cukup dengan mengerjakan yang wajib-wajib saja serta meninggalkan perkara-perkara yang haram. Sedangkan, yang ketiga, az-Zhalimuna li anfusihim (golongan yang menzalimi diri sendiri), yakni mereka yang mencampuradukkan perbuatan yang baik dengan perbuatan yang keji.

Mereka yang termasuk dalam as-Sabiquna bil khairat tak ingin melewatkan sekecil apa pun kesempatan untuk menunaikan kebaikan. Misalnya, ketika menjelang Perang Tabuk, sekelompok orang miskin di Madinah datang menemui Rasulullah SAW. Mereka memohon untuk disertakan jua pergi berperang. Namun, karena keterbatasan ekonomi, mereka tak berkesanggupan membeli baju perang.

Untuk ikut berperang, memang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Mulai dari peralatan perang, baju pelindung, sampai bekal untuk keluarga yang ditinggalkan. Semua harus tercukupi dengan baik.

Orang-orang miskin tersebut akhirnya tak diizinkan Rasulullah untuk ikut ke Perang Tabuk. Alasannya, Rasulullah SAW tak bisa menyediakan peralatan perang untuk mereka. Hal yang tidak mungkin untuk mengizinkan mereka ikut terjun ke kancah perperangan tanpa dilengkapi persenjataan dan baju pelindung. Kendati menjadi syahid adalah cita-cita para mujahid, tidak serta-merta pula seorang mujahid harus ‘konyol’ memasuki medan pertempuran.

Setelah upaya mereka tak jua mendapat izin Rasulullah SAW untuk ikut berperang, kelompok orang miskin tersebut menangis. Mereka kecewa alang-kepalang karena mereka tak mendapat kesempatan untuk beramal saleh. Begitulah kelompok as-Sabiquna bil khairat yang senantiasa memburu amal saleh.

Bagaimana halnya orang-orang yang mengaku beriman pada zaman sekarang. Justru mereka merasa bersyukur ketika mendapat peluang tidak berkontribusi dalam kerja-kerja positif. Mereka bersyukur kalau mereka luput dari kesempatan beramal saleh. Kalau bisa, mereka tak ditagih untuk mengeluarkan zakat. Bersyukur tidak kebagian jatah untuk ronda di kompleks. Bahagia bisa mendapatkan kesempatan tidak ikut shalat Tarawih atau Tahajud dan larut dalam tontonan Piala Dunia. Lantas, apakah kita akan bangga juga tidak digolongkan sebagai orang-orang beriman?

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu setan.”([1])

Hadits ini menjelaskan tentang sebuah akhlak mulia berusaha melakukan kebaikan yang didasari dengan keimanan, namun jika ternyata terjadi sesuatu yang buruk maka diserahkan kepada Allah ﷻ. jika tidak maka kita akan merasakan penyesalan yang dalam dan mulai menyalahkan orang-orang di sekitar kita yang kita anggap menjadi penyebab keburukan tersebut.

Hadits ini dibuka oleh Nabi dengan menjelaskan bahwa seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah ﷻ daripada seorang mukmin yang lemah. Kuat lemah apa yang dimaksud dalam hadits ini?. Yang benar adalah kuat dalam keimanan. Sebagian berpendapat mencakup  juga kekuatan fisik, tetapi pendapat ini dikritik oleh banyak ulama karena kekuatan fisik itu tidak terpuji atau tercela zatnya. Dia hanya akan dipuji jika kekuatannya dimanfaatkan untuk Islam dan kaum muslimin. Berbeda dengan kekuatan iman yang dipuji secara zatnya.

Namun antara dua orang beriman tersebut baik imannya kuat ataupun lemah keduanya dicintai oleh Allah ﷻ karena masing-masing memiliki pokok keimanan. Ini juga menunjukkan bahwa Allah ﷻ memiliki sifat mencintai, tidak sebagaimana paham kaum mu’attilah yang meniadakan sifat ini atau memalingkannya ke makna yang lain.

Kemudian Nabi bersabdaاحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ  (Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu). Nabi memotivasi agar bersemangat melakukan hal yang bermanfaat. Sebaliknya sesuatu yang tidak bermanfaat baik dari sisi akhirat maupun dunia hendaknya ditinggalkan. Seperti bermain game berjam-jam, menonton berita para artis, semua itu tidak mendatangkan manfaat dunia apalagi akhirat, hanya menghabiskan waktu.

Hendaklah setiap muslim menyadari bahwa umurnya terbatas, sepatutnya waktunya digunakan pada hal-hal yang bermanfaat saja. Inilah salah bentuk penerapan akhlak mulia, sebaliknya jika dia gunakan waktunya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat maka itu tanda akhlaknya tidak baik karena tidak menghargai umur yang diberikan Allah ﷻ kepadanya.

Kemudian Nabi bersabda وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ   (Jika engkau tertimpa suatu musibah) Apabila seseorang sudah melakukan sesuatu sesuai aturan syariat tetapi ternyata Allah ﷻ menakdirkan tidak sesuai rencananya maka hendaknya dia tetap menjaga akhlaknya dengan tidak menyalahkan takdir. Sehingga ia mulai menyesali apa yang terjadi, suuzan dengan Allah ﷻ, menyalahkan orang di sekitarnya. Namun hendaknya ia pasrah dan berkata قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ  (Qadarullah wa maa sya’a fa’ala, ‘Ini sudah jadi takdir Allah ﷻ. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi’). Dan tetap berusaha untuk berbaik sangka, bahwa apa yang Allah taqdirkan baginya adalah yang terbaik baginya.

Footnote:

_______

([1]) HR. Muslim no. 2664.