Mengapa Dinasti Abbasiyah mengalami KEHANCURAN

OLEH HASANUL RIZQA

Kekuasaan datang, lalu pergi. Itulah yang juga terjadi pada Dinasti Abbasiyah. Lebih dari 500 tahun kekhalifahan itu berdiri sebelum meredup pada abad ke-13.

Senja Kala Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah merupakan kekhalifahan Islam yang lahir sesudah runtuhnya Bani Umayyah pada 750 M. Selama lebih dari lima abad, wangsa yang namanya merujuk pada Abbas bin Abdul Muthalib—paman Nabi Muhammad SAW—itu berkuasa. Dalam rentang masa tersebut, sebanyak 37 orang khalifah menjadi pemimpin.

Sejarawan umumnya membagi masa Abbasiyah ke dalam lima jangka waktu, yakni era kuatnya pengaruh Persia, dominasi Turki, rezim Bani Buwaihi, Bani Seljuk, dan fase disintegrasi. Periode pertama dimulai begitu kekuasaan Dinasti Umayyah runtuh. Sang pendiri Daulah Abbasiyah, Abul Abbas bin Muhammad, memimpin pembersihan besar-besaran. Dalam tahun pertamanya sebagai penguasa, seluruh orang yang terkait dengan Bani Umayyah diburu dan lalu dibunuhnya.

Masa kekuasaan Abul Abbas cukup singkat, hanya sekitar empat tahun. Ia kemudian digantikan oleh saudaranya, Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad. Di bawah pemerintahannya, stabilitas politik tercapai melalui jalan pertumpahan darah. Tokoh-tokoh yang dahulu dirangkulnya untuk meruntuhkan Umayyah, kini diperanginya satu per satu. Misalnya, kedua pamannya sendiri, yakni Abdullah bin Ali dan Salih bin Ali.

Gubernur Suriah dan gubernur Mesir tersebut enggan membaiat Abu Ja’far. Sang penerus Abul Abbas itu kemudian menyuruh seorang jenderal, Abu Muslim al-Khurasani, untuk memerangi dan membunuh keduanya. Sesudah tugasnya berhasil dilakukan, Abu Muslim justru dikhianati. Tokoh non-Arab (mawali) dari Persia itu dituding berambisi merebut kekuasaan. Pada 755, gubernur Khurasan ini pun dieksekusi mati.

Stabilitas politik yang diidamkan Abu Ja’far pun tercapai. Sebagai khalifah, dirinya bergelar al-Manshur. Untuk lebih memantapkan kekuasaannya, ia mendirikan kota baru sebagai pusat pemerintahan, yakni Baghdad, pada 767. Di sana, raja yang wafat dalam usia 61 tahun itu merintis birokrasi yang efektif.

Sepeninggalan al-Manshur, kekuatan politik kaum Persia mulai bangkit. Representasi utamanya ialah Bani Baramikah atau Barmaki, yakni sebuah keluarga terpandang yang berasal dari Balkhi, Iran. Pada masa Khalifah Abul Abbas, seorang dari mereka menjadi jabatan perdana menteri pertama Abbasiyah, yakni Khalid bin Barmak.

Meskipun pengaruhnya sempat surut pada masa al-Manshur hingga khalifah keempat Abbasiyah al-Hadi, Keluarga Barmaki akhirnya kembali menempati posisi tinggi. Hal itu terjadi ketika Khalifah Harun al-Rasyid berkuasa. Putra Khalid bin Barmak, Yahya, diangkat menjadi perdana menteri sang sultan.

Yahya bin Khalid lantas mengangkat anaknya sendiri, Ja’far, untuk menjadi wazir muda. Atas persetujuan khalifah, anaknya yang lain, Fadhil, menempati posisi sebagai gubernur Persia Barat dan lalu Khurasan.

Inilah awal dari dominasi Persia di Abbasiyah. Selama 50 tahun, Bani Barmaki memiliki pengaruh sangat besar di lingkungan istana. Bahkan, sering kali persoalan-persoalan administrasi kenegaraan ditangani oleh keluarga non-Arab itu. Masuknya orang-orang Persia dalam mengontrol pemerintahan menjadi pembeda Abbasiyah dari Umayyah. Dahulu, dinasti yang berpusat di Damaskus itu cenderung Arab-sentris sehingga mengeksklusi kaum non-Arab, termasuk Persia.

Era keemasan Abbasiyah berlangsung hingga masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (813-833). Sesudah itu, berbagai prahara politik kian hebat melanda istana. Penyebabnya, kini bertambah satu golongan non-Arab lagi yang ambisius. Mereka adalah orang-orang Turki.

Mula kemerosotan

Dalam periode pertama, Abbasiyah dipimpin sembilan khalifah dari masa ke masa, yakni sejak Abul Abbas (750-754) hingga al-Watsiq Billah (842-847). Sepeninggalan khalifah kesembilan itu, kaum mawali Turki semakin berkuasa. Tidak hanya menyingkirkan mawali Persia, mereka pun mampu mengendalikan sosok-sosok yang bergelar “khalifah".

Itu bermula setidaknya sejak era sang pendahulu al-Watsiq, Khalifah al-Mu’tashim Billah. Ia membangun Samarra, yang kemudian menjadi ibu kota baru setelah Baghdad. Dibangunnya kota di sisi timur Sungai Tigris itu tidak hanya berarti perpindahan pusat pemerintahan. Sebab, ada persoalan sosial dan politik yang kompleks di balik kebijakan tersebut.

Al-Mu’tashim dikenal sebagai pemimpin yang sangat mengandalkan jasa para budak Turki, khususnya untuk menjaga keamanan pribadi. Bahkan, ibu kandungnya pun berasal dari golongan tersebut. Sebagai catatan, nama Turki di sini tidak identik dengan negara yang sekarang beribu kota di Ankara, melainkan sekelompok bangsa yang bernenek moyang suku-suku Turkic atau Turks penghuni stepa Asia Tengah.

Kedekatannya dengan orang-orang Turki menimbulkan kegusaran di tengah rakyat. Bukan sekali dua-kali masyarakat menyaksikan, berbagai kericuhan di Baghdad disebabkan aksi onar oknum-oknum dari suku bangsa tersebut.

Bukannya peka, al-Mu’tashim justru sengaja menunjukkan dukungannya kepada kaum mawali Turki.

Bukannya peka, al-Mu’tashim justru sengaja menunjukkan dukungannya kepada kaum mawali Turki. Dia, misalnya, memberikan sejumlah jabatan penting di pemerintahan kepada orang-orang Turki.

Baghdad kian “panas". Atas anjuran beberapa tokoh Turki, al-Mu’tashim pun membuka ibu kota baru di Samarra. Menurut Osman SA Ismail dalam artikelnya, “Mu’tasim and the Turks” (1966), perpindahan ibu kota ke Samarra merupakan awal dari Era Isolasi Abbasiyah.

Dalam arti, para khalifah semakin terkucil dari dukungan orang-orang Arab. Pada saat yang sama, pengaruh orang-orang Turki di pemerintahan kian meningkat. Mereka itu dahulunya berstatus atau keturunan budak, tetapi kini berkuasa. Bahkan, kekuasaannya secara de facto melampaui kontrol khalifah.

Benih-benih kemerosotan Bani Abbasiyah tampak dalam periode dominasi Turki ini. Apalagi, dalam kurun tahun 861-870. Kalangan sejarawan menyebutnya sebagai masa “Anarki di Samarra.” Disebut “anarki” karena selama sembilan tahun itu ada empat khalifah yang berkuasa. Namun, keempatnya hanyalah “boneka” dari faksi-faksi militer Abbasiyah yang seluruhnya berkebangsaan Turki.

Dengan demikian, kesatuan politik kian jauh panggang dari api. Mengutip Ensiklopedi Islam, lemahnya posisi khalifah menjadikan wibawa pemerintah pusat kian merosot. Akhirnya, Bani Abbasiyah mengalami kemunduran yang signifikan. Selain campur tangan kaum (militer) Turki, pelbagai faktor penyebab kekacauan itu ialah luasnya wilayah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara jalur komunikasi dan efektivitas birokrasi sangat lambat.

Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah. Last but not least, para petinggi militer cenderung sibuk oleh urusan politik kekuasaan. Alhasil, profesionalitas tentara di lapangan menjadi terganggu.

Keserakahan di level pusat menyebabkan negara jatuh dalam kesulitan keuangan. Pembiayaan tentara tidak tertanggulangi. Imbasnya, kekuatan militer merosot sehingga khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak dari daerah-daerah ke Ibu Kota.

Akhir Bani Abbas

Sejarawan al-Mas’udi—yang dijuluki sebagai “Herodotus-nya Arab”—mengkritik kepemimpinan Khalifah al-Muqtadir. Sebab, raja ke-18 daulah Abbasiyah itu dinilainya sangat lemah. Nyaris tidak ada wibawanya sebagai seorang pemimpin.

Menurut al-Mas’udi, “yang mengurus pemerintahan (pada masa al-Muqtadir) justru adalah kaum perempuan, pelayan, dan lain-lain (di istana).” Yang dimaksud “perempuan” di sini ialah terutama ibu kandung sang raja, Saghab al-Sayyidah. Sering kali, Saghab mengambil kebijakan-kebijakan penting, sementara anaknya itu sibuk bersenang-senang.

Gaya kepemimpinan al-Muqtadir membuat Abbasiyah tidak berdaya. Pusat tidak lagi bisa mengatur bawahannya, baik melalui pendekatan politik maupun militer. Alhasil, dirinya kian kehilangan wibawa.

Pada masa itu, wilayah-wilayah yang semula tergabung dalam Kekhalifahan Abbasiyah mulai berani memberontak. Sejumlah kawasan bahkan dengan lugas menyatakan berlepas diri dari kontrol Baghdad—yang kembali menjadi ibu kota sesudah Samarra ditinggalkan sejak 940 M. Mereka ini mendirikan dinasti-dinasti yang enggan mengirimkan pajak ke pusat.

Makin jauh letaknya dari Baghdad, makin nyaring pula pembangkangan disuarakan. Misalnya, di Iberia penguasa setempat yang masih keturunan Mu’awiyah bin Abi Sufyan memproklamasikan Kekhalifahan Umayyah. Di Mesir, para tokoh lokal mengumumkan berdirinya Dinasti Fathimiyah.

Di tengah situasi yang tak menguntungkan itulah, Bani Buwaihi menggeliat di Mesopotamia. Puncaknya, dinasti ini berhasil merebut kekuasaan dari al-Muqtadir. Sejak itu, Bani Abbas tidak lagi menguasai Abbasiyah. Posisinya digantikan oleh wangsa yang berhaluan Syiah tersebut.

Selama lebih dari satu abad, Buwaihi menduduki takhta tertinggi di kekhalifahan ini. Dalam sejarahnya, dinasti tersebut dibangun oleh tiga putra Abu Syuja' Buwaihi—seorang nelayan dari Dailam, Iran utara. Ketiganya adalah Ali, Hasan, dan Ahmad. Masing-masing berkuasa di Isfahan, Rayy dan Jabal, serta Khuzistan dan al-Ahwaz—sekitar Irak.

Mereka mulanya mendapatkan mandat dari Baghdad sebagai amir tiap daerah itu. Akan tetapi, popularitasnya kemudian menanjak seiring dengan kian banyaknya jumlah simpatisan mereka, baik dari kalangan militer maupun sipil. Puncaknya, keturunan Abu Syuja’ itu merebut kontrol kekuasaan dari khalifah. Sejak itu, Abbasiyah dipimpin Bani Buwaihi.

Baca Selengkapnya';