Lafal yang mengandung arti lebih dicintai adalah

Sahihkah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِل اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah subhanahu wa ta’ala daripada mukmin yang lemah.”

Jika sahih, apa maknanya dan kekuatan itu ditinjau dari sisi apa?

Jawab:

“Hadits tersebut sahih, diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam Shahihnya.

Maknanya adalah mukmin yang kuat imannya, tubuhnya, dan amalnya lebih baik daripada mukmin yang lemah imannya atau lemah dalam hal amalan dan tubuhnya. Sebab, mukmin yang kuat dapat melakukan sesuatu untuk kaum muslimin. Dia dapat memberikan manfaat kepada kaum muslimin dengan kekuatan tubuh, iman, dan amalnya.

Mereka (yang memiliki kekuatan) memberikan manfaat besar dengan kekuatan tersebut dalam jihad fi sabilillah, merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin, membela Islam dan kaum muslimin, serta merendahkan musuh Islam dan berdiri menghadapi musuh tersebut. Semua ini tidak mampu dilakukan oleh mukmin lemah.

Dari sisi ini, mukmin yang kuat lebih baik daripada mukmin lemah. Hanya saja (sebagaimana lanjutan hadits tersebut),

وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ

“… Masing-masing ada kebaikannya.”[1]

sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebab, keimanan itu seluruhnya baik. Mukmin yang lemah padanya ada kebaikan. Akan tetapi, mukmin kuat lebih banyak kebaikannya daripada mukmin yang lemah; baik untuk diri sendiri, agama, maupun saudara kaum muslimin.

Dalam hadits ini, terdapat dorongan untuk memiliki kekuatan. Agama Islam sendiri adalah agama yang kuat, memiliki kemuliaan, dan tinggi; sehingga selalu dan selamanya dituntut adanya kekuatan dari kaum muslimin.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمۡ

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka (orang-orang kafir) kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuh kalian.” (al-Anfal: 60)

وَلِلَّهِ ٱلۡعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِۦ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ

“Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya dan orangorang yang beriman.” (al-Munafiqun: 8)

ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٣٩

“Padahal kalian-lah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kalian orang-orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 139)

Dengan demikian, kekuatan adalah sesuatu yang dituntut dan dicari dalam Islam. Kekuatan dalam keimanan dan akidah/keyakinan, kekuatan dalam beramal/berbuat, dan kekuatan tubuh. Sebab, hal tersebut menghasilkan kebaikan bagi kaum muslimin.”

(Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 1/198—199)

[1]  HR. Muslim.

Islam mengajarkan umatnya untuk menumbuhkan dan memupuk jiwa mukmin ksatriya. Tidak hanya untuk membela agama yang telah diperjuangkan Rasulullah SAW namun juga untuk menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan. Ustadz Risdiyono, S.T., M.Eng., Ph.D., dosen Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia memberikan kajiannya tentang karakter ksatria dalam diri seorang mukmin dan harapannya akan tertanam bagi setiap lulusan UII. Ksatria menjadi karakter yang luar biasa dan merupakan singkatan dari kuat, semangat, adaptif, trampil, responsif, inovatif, dan amanah. Kajian disampaikan secara daring pada Sabtu (9/5). Ia merangkum jiwa ksatria dalam tiga karakter yakni kuat, semangat, dan adaptif.

Karakter pertama adalah kuat. “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan,” (HR. Muslim). Artinya kecintaan Allah kepada makhluknya berbeda-beda, seperti kecintaan-Nya kepada mukmin yang kuat lebih besar daripada kecintaan-Nya kepada mukmin yang lemah. Karena orang yang kuat akan mampu berbuat lebih baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

“Jadi kita harus membuat alumni UII menjadi orang yang kuat: kuat dari jiwanya maupun raganya; kuat sisi batin maupun lahir; kuat dari rohani dan jasmani; kuat dari fisik maupun psikis; kuat dari iman maupun imunnya; kuat di fikir dan dzikirnya; kekuatan ilmu dan juga amalnya; kekuatan hati maupun hartanya,” ucap Risdiyono.

Sedangkan karakter kedua adalah semangat. “Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah,” (HR. Muslim). “Artinya kekuatan tidak ada gunanya jika seorang mukmin tidak memiliki semangat. Karena semangatlah yang membuat orang lemah menjadi kuat. Orang sakit menjadi lebih cepat sembuh. Semangatlah membuat orang terpuruk menjadi bangkit,” imbuhnya.

Fenomena seperti ini sudah terlihat jelas di kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang terlahir dari keluarga biasa tapi ia lebih berprestasi daripada ia yang terlahir dari keluarga kaya. Golongan kurang mampu lebih berhasil daripada orang yang dari keluarga berkecukupan. Tentu, semua itu terjadi karena semangat di dalam dirinya.

Adapun karakter ketiga adalah adaptif. “Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah engkau katakan: ‘ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi,’ karena perkataan seandainya dapat membuka pintu setan,” (HR Muslim).

Hadist tersebut membuat seorang mukmin tidak memikirkan masa lalu. Namun, mereka fokus ke masa kini maupun masa yang akan datang. Orang mukmin percaya bahwa masa lalu menjadi takdir Allah yang tidak dapat diganti maupun diulang. Maka sikap adaptif itu membuat seorang mukmin lebih mudah untuk bergerak, melakukan perencanaan, dan melakukan langkah-langkah ke depan. (SF/ESP)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu setan.”([1])

Hadits ini menjelaskan tentang sebuah akhlak mulia berusaha melakukan kebaikan yang didasari dengan keimanan, namun jika ternyata terjadi sesuatu yang buruk maka diserahkan kepada Allah ﷻ. jika tidak maka kita akan merasakan penyesalan yang dalam dan mulai menyalahkan orang-orang di sekitar kita yang kita anggap menjadi penyebab keburukan tersebut.

Hadits ini dibuka oleh Nabi dengan menjelaskan bahwa seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah ﷻ daripada seorang mukmin yang lemah. Kuat lemah apa yang dimaksud dalam hadits ini?. Yang benar adalah kuat dalam keimanan. Sebagian berpendapat mencakup  juga kekuatan fisik, tetapi pendapat ini dikritik oleh banyak ulama karena kekuatan fisik itu tidak terpuji atau tercela zatnya. Dia hanya akan dipuji jika kekuatannya dimanfaatkan untuk Islam dan kaum muslimin. Berbeda dengan kekuatan iman yang dipuji secara zatnya.

Namun antara dua orang beriman tersebut baik imannya kuat ataupun lemah keduanya dicintai oleh Allah ﷻ karena masing-masing memiliki pokok keimanan. Ini juga menunjukkan bahwa Allah ﷻ memiliki sifat mencintai, tidak sebagaimana paham kaum mu’attilah yang meniadakan sifat ini atau memalingkannya ke makna yang lain.

Kemudian Nabi bersabdaاحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ  (Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu). Nabi memotivasi agar bersemangat melakukan hal yang bermanfaat. Sebaliknya sesuatu yang tidak bermanfaat baik dari sisi akhirat maupun dunia hendaknya ditinggalkan. Seperti bermain game berjam-jam, menonton berita para artis, semua itu tidak mendatangkan manfaat dunia apalagi akhirat, hanya menghabiskan waktu.

Hendaklah setiap muslim menyadari bahwa umurnya terbatas, sepatutnya waktunya digunakan pada hal-hal yang bermanfaat saja. Inilah salah bentuk penerapan akhlak mulia, sebaliknya jika dia gunakan waktunya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat maka itu tanda akhlaknya tidak baik karena tidak menghargai umur yang diberikan Allah ﷻ kepadanya.

Kemudian Nabi bersabda وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ   (Jika engkau tertimpa suatu musibah) Apabila seseorang sudah melakukan sesuatu sesuai aturan syariat tetapi ternyata Allah ﷻ menakdirkan tidak sesuai rencananya maka hendaknya dia tetap menjaga akhlaknya dengan tidak menyalahkan takdir. Sehingga ia mulai menyesali apa yang terjadi, suuzan dengan Allah ﷻ, menyalahkan orang di sekitarnya. Namun hendaknya ia pasrah dan berkata قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ  (Qadarullah wa maa sya’a fa’ala, ‘Ini sudah jadi takdir Allah ﷻ. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi’). Dan tetap berusaha untuk berbaik sangka, bahwa apa yang Allah taqdirkan baginya adalah yang terbaik baginya.

Footnote:

_______

([1]) HR. Muslim no. 2664.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA