Kenapa Belanda meminta kepada pemimpin perang Padri untuk menghentikan perang Padri

Langgam.id – Selama 16 tahun sejak 1821, Padri tak bisa ditaklukkan tentara Belanda. Usaha intensif menyerang Benteng Bonjol sejak 1833 di bawah dua gubernur jenderal juga tidak membuahkan hasil.

Situasi tersebut tak berubah saat veteran Perang Diponegoro Mayor Jenderal Johannes Baptista Cleerens yang memimpin perang pada 1836. Ia tak pernah berhasil mendekati Benteng Bonjol.

“Ketika berita penting ini diterima di Batavia, pemerintah mengirim Komandan Tentara Hindia Belanda Jenderal Cochius. Pada 12 April 1837, ia sampai di Bonjol,” tulis PJ Veth dalam Buku “De Gids: Veertiende Jaargang” (1850).

Hari ketika Jenderal Frans David Cochius sampai di Bonjol tersebut, tepat 182 tahun yang lalu dari hari ini, Jumat (12/4/2019).

Sama halnya dengan Cleerens, Cochius juga adalah “alumni” Perang Diponegoro. Belanda yang telah berperang dengan Padri sejak 1821, sengaja berdamai agar bisa berkonsentrasi menghadapi Diponegoro pada 1825-1830.

Usai perang itu, pada 1831 mereka kembali menyerang Padri. Para perwiranya yang dinilai berhasil dalam perang tersebut, kemudian dikirim ke Sumatra mencoba menghadapi Padri.

“Setelah melakukan persiapan untuk mendekati tempat itu dengan lebih baik, menduduki beberapa poin dan sebagai hasilnya telah mencegat komunikasi pasukan Tuanku Imam Bonjol, ia memindahkan komando pasukan kepada Letnan Kolonel Michiels pada bulan Juli,” tulis Veth.

Jenderal Cochius kembali ke Pulau Jawa dan Letkol Michiels menjadi pelaksana lapangan untuk strategi yang ia rencanakan. “Sementara itu, kami (Belanda) sekali lagi menderita kerugian besar dalam berbagai pertempuran sehingga tidak mungkin lagi memikirkan serangan umum,” tulis Veth.

Namun, benteng Padri akhirnya bisa ditembus Belanda. “Dengan menggunakan teknik Eropa melemahkan lawan, pasukan Belanda bisa mendekati tembok Bonjol dan menjebolnya. Desa itu pun diserbu pada Malam tanggal 15-16 Agustus 1837,” tulis Christine Dobbin, dalam Buku ‘Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847’ (1983).

Imam Bonjol sudah meninggalkan benteng dan kemudian bergerilya saat Belanda menguasainya. Ia kemudian keluar dari hutan, lalu ditangkap dan dibuang Belanda hingga ke Manado, hingga wafat di sana.

Menurut Dobbin, pada 1837 tersebut Belanda mendirikan 25 pos kecil di berbagai jalur yang menuju Bonjol, benteng yang jatuh tersebut.

Pendirian pos-pos ini membuat akses desa-desa yang memasok logistik untuk Bonjol terputus. “Ini dipermudah karena Belanda menguasai lautan. Semua pelabuhan yang mungkin dipakai untuk mendaratkan persediaan makanan dan lain-lain untuk Bonjol diblokir sampai di Tapanuli jauh di utara,” tulis Dobbin.

Kekuatan laut tersebut juga dipakai untuk menghancurkan tempat pembuatan garam Bonjol di antara Katiangan dan Air Bangis. “Belanda juga banyak mempunyai cadangan tentara yang masih segar yang terdiri atas orang-orang Minangkabau dan Batak.”

Sekurang-kurangnya, menurut Dobbin, 13 ribu orang tetap ikut mengurung Benteng secara bergilir sampai akhirnya dikuasai Belanda. Kekuatan itu menambah sekitar 5.230 tentara Belanda.

Jalur komunikasi pasukan, menurutnya, juga diperbaiki dengan memakai tenaga kerja paksa. “Selain itu, dibangun pula jalur militer yang bagus dari Fort de Kock (Bukittinggi) melalui Matur sampai sebelum Bonjol. Hubungan antara Fort de Kock dan Padang pun juga ditingkatkan,” tulisnya.

Pukulan terakhirnya adalah dengan menghujani Bonjol dengan tembakan dari meriam besar, hingga Tuanku Imam Bonjol dan keluarganya mengungsi. Ketika Benteng Bonjol kosong, Belanda masuk menguasai.

Perang Padri terjadi dalam beberapa periode. Periode 1803-1821 adalah perang saudara, antara kaum adat dan kaum padri. Pada 1821-1825 Belanda membantu kaum adat melawan Padri. Selanjutnya terjadi gencatan senjata antara 1825-1830, karena Belanda menghadapi Perang Diponegoro. Pada 1831 Belanda kembali menyerang Padri. Pada 1833-1837 kaum adat bergabung dengan padri melawan Belanda.

Perang Padri yang panjang, menurut Sejarawan Jeffrey Hadler, dipengaruhi tradisi desentralisasi dan demokratik dalam politik Minangkabau. Tradisi di Minangkabau tidak punya hierarki administratif yang jelas.

“Desentralisasi wewenang memungkinkan timbulnya secara alami semacam perang gerilya yang tidak mengarah pada pertempuran berklimaks atau habis-habisan,” tulisnya dalam sengketa Tiada Putus, Matriarkat, Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau (2010).

Sejarawan Taufik Abdullah dalam pengantar buku Jeffrey menulis, secara resmi Perang Padri dianggap berakhir tahun 1837 ketika benteng Bonjol jatuh dan Tuanku Imam Bonjol bisa ditawan dan kemudian diasingkan ke Jawa dan akhirnya ke Sulawesi Utara.

Namun sebenarnya, menurut Taufik, Tuanku Tambusai masih melanjutkan perlawanan dan pada tahun 1842 Regen Batipuh, yang sempat menjalin aliansi dengan Belanda ketika perang masih berkecamuk, melancarkan pemberontakan. (HM)

Tags: Hari ini dalam SejarahHari ini di Masa LaluSejarahSejarah Sumbar

Perang padri dikenal sebagai perang saudara yang akirnya menjadi perang melawan pemerintahan Hindia belanda atau lebih dikenal sebagai kolonial belanda, perang ini berlansung pada tahun 1803 sampai 1838 di daerah Sumatera barat dan sekitarnya terutama di daerah kerajaan pagaruyuang, daerah kerajaan pagaruyuang ini terletak dalam wilayah kabupaten tanah datar.

            Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau, kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak

Perang ini karena adanya pertikaian antara pemuka agama yang lebih dikenal dengan kaum padri dengan masyarakat adat (masyarakat adat minang kabau), masyarakat adat masih belum meninggalkan kebiasaan lama mereka seperti sabung ayam, judi, minuman keras, dan hal lain yang di haramkan dalam agama islam, padahal masyarakat adat telah memeluk agama islam, karena enggannya masyarakat adat untuk meninnggalkan kebiasaan tersebut sehingga memicu kaum padri untuk menegakan amar ma’ruf nahi mungkar.

            Berbagai cara telah di tempuh kaum padri untuk mengajak masyarakat adat meninggalkan perbuatan maksiat dan mengikuti syariah islam, hingga akirnya berkecimuklah perang pada tahun 1803, Puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan, kaum padri berhasil menekan kaum adat, kaum padri yang di pimpin oleh  Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun, atau lebih di kenal dengan sebutan Harimau nan Salapan,

            Kepemimpinan Harimau nan Salapan hampir membawa kaum padri kepada kemengan dalam perang ini, dan ketika kaum adat yang mulai terdesak meminta bantuan pada pemerintah hindia belanda( kolonial belanda) pada tahun 1821, Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

            Mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

            Pada 15 November 1825, Pemerintah Hindia Belanda di saat bersamaan juga berperang di daerah eropa dan jawa (perang dipenogoro) merasa kesulitan menundukan kaum padri yang waktu itu di pimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, kewalahan terhadap perang lain dan habisnya dana pemerintah belanda berdamai dengan kaum padri yang di kenal dengan perjanjian Masang.

            Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus (kesepakatan) bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an. hal ini menjadi puncak revolusi islam dalam adat minang kabau.

            Kesepakatan bersama Adat basandi syarak, syarak basandi kitabbullah ini bisa di katakan sebuah kemengan bagi kaum padri, perang saudara yang berlangsung dari tahun 1803 hingga tahun 1821 tentu merugikan pihak kaum Padri maupun Kaum adat, kerguian dalam hal harta maupun korban jiwa tidak bisa di hindari oleh kedua belah pihak. Berdasarkan latar belakang ini membuat adat minang kabau berubah dan menjari berdasarkan syariat islam, sehingga perbuatan maksiat mulai tinggalkan oleh masyarakat.

            Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau, Untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.

            Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak oleh kaum padri dan masyarakat adat yang telah bersatu, menyadari kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.

            pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838 Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.

            Dalam sejarah perang padri ini kita dapat melihat untuk menjadikan masyarakat minang kabau sepenuhnya menjadi pemeluk agama islam yang baik harus di bayar mahal, bahkan setelah kejayaan islam dalam ranah minang belanda mencoba merobohkannya, tidak sepenuhnya ditaklukan akan tetapi setelah penaklukan membuat rakyat minangkabau tetap menjadikan syariat islam sebagai dasar meraka. Membuat adat minangkabau lebih baik dan lebih berkembang di banding dengan sebelum menjadikan islam dasar adat mereka, peraturan adat yang berlawanan dengan syariat agama islam di hapuskan, lahirnya kebiasaan baru seperti kasurau bagi pemuda minang, pakaian yang menutup aurat, dan meninggalkan kegiatan maksiat seperti sabung ayam, judi, minuman keras.

            Hendaknya sejarah perang padri ini membuat masyarakat Minangkabau saat ini menyadari betapa pentingnya penegakan agama islam, yang bisa kita lihat pada masa ini terjadi pemerosotan dan penyalahangunaan adat oleh oknum-oknum niniak mamak adat, tidak tegasnya peraturan adat pada saat ini. lebih miris lagi semenjak gempa bumi tahun 2009 banyak masyarakat minangkabau yang murtad atau berpindah agama. hal ini tidak hanya menjadi dosa bagi orang yang murtad, akan tetapi mereka juga tidak menghargai perjuangan pendahalu mereka dalam penegakan agama islam di daerah minangkabau.

            Semoga dengan tulisan ini membuat masyarakat minang bisa “mambangkik batang tarandam” atau kembali bangkit ke kejayaan islam dan kejayaaan sumatera barat, karna di masa lalu banyak tokoh yang mengharumkan sumatera barat dan minangkabau seperti Buya Hamka, Tan Malaka, M. Yamin, Rasuna Said, Adinegoro, M. Natsir dan masih banyak tokoh yang lain yang berpengaruh yang lahir di minangkabau ini.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA