Kemukakan tujuan penataran P4 pada masa Orde Baru tersebut

Kemukakan tujuan penataran P4 pada masa Orde Baru tersebut
www.harianjogja.com

Salah satu warisan sejarah yang telah diletakkan oleh para Faunding Fathers kita yang tidak ternilai adalah dirumuskannya Pancasila sebagai dasar negara.  Para pendiri bangsa ini begitu memiliki kearifan yang luar biasa serta cara pandang yang jauh melampaui zamannya sehingga mampu merumuskan suatu dasar negara yang kemudian menjadi pengikat dan pemersatu bangsa ditengah keragaman yang luar biasa. Generasi pejuang kemerdekaan saat itu memiliki latar belakang suku, adat, bahasa, serta keyakinan yang berbeda, duduk bersama dalam suatu forum yang disebut dengan konstituante, guna merumuskan landasan yang akan menjadi acuan dalam berbangsa dan bernegara. Mereka datang dengan berbagai identitas lokal yang beragam, Jong Ambon, Jong Java, Jong Selebes, Jong Minahasa (dan lain-lain), tapi berbedaan itu mampu ditanggalkan demi untuk bangsanya, demi untuk negerinya, yaitu Indonesia. Maka dirumuskanlah dasar negara yang menjadi pemersatu bangsa yaitu Pancasila dengan semboyang Bhinek Tunggal Ika.

Kita tidak tahu apa jadinya negeri jika Pancasila tidak ada. Keragaman yang menjadi identitas bangsa Indonesia memang adalah sumber segala potensi, hal ini dapat dibuktikan bahwa dengan bersatunya segala potensi tersebut, maka kemerdekaan dapat direbut dari bangsa penjajah. Tetapi pada sisi yang lain, dapat menjadi potensi konflik jika kita salah mengurus. Dalam perspektif historis, jika kita menelusuri jejak sejarah, keragaman budaya bangsa Indonesia tidak hanya disadari oleh masyarakatnya saat ini, tetapi hal tersebut juga sudah disadari oleh para pendiri bangsa ini. Itulah sebabnya pada sidang awal konstituante dalam membahas dasar negara, aspek keragaman menjadi hal utama yang dipertimbangkan. Dikatakan oleh Wildan (2013 : 1) bahwa sebetulnya, keragaman budaya bangsa ini telah disadari oleh founding fathers Indonesia yang kemudian melahirkan sebuah konsep Bhinneka Tunggal Ika (keragaman dalam kesatuan). Kita juga dapat melihat keragaman Indonesia dalam perspektif geografis. Bahwa letak geografis Indonesia sangat luas, dan menjadi Negara kepulauan terluas di dunia. Sekitar kurang lebih 13.000 pulau kecil dan besar yang tersebar dari Sabang sampai Merauke serta dari Miangas sampai pulau Rote. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia sangat beragam dari aspek geografis. Didalamnya terdapat beragam etnis dan bahasa serta kebudayaan yang beragam pula. Penduduk Indonesia saat ini telah mencapai kurang lebih 250 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk tersebut menempatkan Indonesia sebagai Negara dengan penduduk terpadat ke 4, setelah RRC, India, dan Amerika. Jumlah penduduk yang tidak sedikit tersebut dengan ragam suku, bahasa, agama dan keyakinan, mata pencaharian, semakin menegaskan Indonesia sebagai negara yang sangat beragam. Untuk itu, diperlukan pengerahan kemauan dan kemampuan yang luar biasa menyatukan keluasan teritorial  dan kebinekaan sosio-kultural Indonesia  ke dalam kesatuan entitas negara-bangsa (Yudi Latif; 2015, 279). Untungnya, Indonesia memiliki Pancasila, dasar negara dengan kandungan nilai-nilai filosofis yang komprehensif dan universal dan menjadi pemersatu seluruh warga (citizen). Seluruh warga negara mempunyai keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa sehingga diberikan kebebasan untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya, mempunyai jiwa humanisme yang tinggi sehingga senantiasa berbuat adil dan beradab, mempunyai jiwa nasionalisme yang kuat sehingga senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan, menjunjung tinggi kebebasan tetapi dalam bingkai demokrasi, dan senantiasa membangun kerjasama dan gotong royong serta saling membantu untuk mewujudkan keadilan sosial.

Memasuki era reformasi pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis multi dimensional. Provinsi Timor Timur lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi, kerusuhan bernuansa SARA terjadi di bebeberapa daerah (Maluku, Tobelo Maluku Utara, Sambas, dan Poso), kerusuhan dan penjarahan sering terjadi, bahkan beberapa organisasi separatis (OPM, GAM, RMS) kembali bergerak untuk mendeklarasikan kemerdekaannya. Keampuhan Pancasila kembali teruji. Kerusuhan yang bernuansa SARA dibeberapa daerah menjadi bukti bahwa sila pertama Pancasila tidak lagi ampuh menumbuhkan kesadaran beragama bagi masyarakat; merebaknya aksi penjarahan menunjukan bahwa masyarakat kita sudah mulai jauh dari nilai-nilai humanisme; gerakan separatisme yang dilakukan oleh OPM, GAM, dan RMS menjadi bukti bahwa sila ketiga Pancasila tidak lagi berfungsi menjadi pemersatu nasional; diambilnya jalan kekerasan dan pemaksanaan menunjukan bahwa warga semakin mengabaikan ajaran musyawarah sebagaimana tertuang dalam sila keempat Pancasila; dan terjadinya ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan dan antara Indonesia barat dengan Indonesia timur, antara yang kaya dan miskin menjadi bukti bahwa Indonesia sudah mulai mengabaikan sila kelima Pancasila.

Pada tingkat satuan pendidikan, prilaku pelajar atau peserta didik semakin hari semakin menampakkan prilaku yang bertentangan nilai-nilai etika dan moral. Sekolah seolah sudah tidak menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk belajar. Sekolah yang pada awalnya dimaksudkan sebagai tempat untuk mendidik dan Pembina generasi agar memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai bekalnya untuk masa depan, justru menjadi tempat membangun kelompok, melakukan tawuran, melakukan kekerasan, diskriminasi dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila semakin terkikis dalam kehidupan peserta didik. Nilai-nilai Pancasila yang pernah tertanam secara kokoh dan kuat pada peserta didik melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) secara massif dan terstruktur melalui sekolah selama masa Orde Baru sudah mulai hilang. Nampaknya, penataran P4 dianggap oleh sebagian kalangan sebagai program yang di desain untuk ikut melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Sehingga ketika Orde Baru runtuh, maka penataran P4 di sekolah hilang dengan sendirinya. Dalam konteks ini, reformasi mengalami kebablasan. Euforia reformasi menganggap semua hal yang dianggap “berbau” Orde Baru sebagai sesuatu yang negatif dan karenanya harus ditiadakan atau disingkirkan. Penataran P4 dengan demikian, dianggap sebagai produk Orde Baru, sehingga penerapannya di sekolah ikut ditiadakan. Sekarang, kita dapat melakukan perbandingan bagaimana prilaku siswa pada zaman Orde Baru dan pada zaman Orde sesudah Orde Baru. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan kembali penataran P4 di sekolah. Melalui implementasi P4 di sekolah, diharapkan bahwa nilai-nilai Pancasila dapat tertanan secara kokoh dan kuat pada peserta didik. Sehingga kedepan, kita tidak akan lagi melihat ada siswa yang tawuran, melakukan intimidasi dan kekerasan kepada sesama kawan, tidak toleran, menjadi penggunan NAPZA, dan segala prilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Justru yang akan nampak adalah peserta didik yang taat pada aturan agama, mempunyai jiwa humanisme yang kuat sehingga dapat berbuat adil dan beradab, cinta kepada bangsa dan negara, mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan, serta berbuat kebajikan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Tentu, kemasan penataran P4 harus lebih aktual, tidak mengikuti pola lama sebagaimana diterapkan selama Orde Baru. Reimplementasi penataran P4 di sekolah harus dalam kemasan yang lebih kontekstual agar dipahami oleh peserta didik secara lebih dinamis, bukan dogmatis.

Urgensi Penanaman Nilai-Nilai Pancasila

Pada pelaksanaan sidang BPUPKI I pada tanggal 29 Mei 1945 dibuka oleh pidato Radjiman Wediodiningrat dengan pertanyaan “Negara yang akan kita bentuk itu apa ada dasar?” Awalnya, tanggapan di dalam sidang belum menafsirkan secara ideologis, karena kebanyakan takut menjurus ke pertanyaan filosofis yang berkepanjangan. Namun pada hari ketiga Sidang I BPUPKI, pada 31 Mei 1945 mulai muncul pertentangan yang tajam antara mereka yang menganjurkan negara Islam dengan mereka yang mempertahankan pemisahan campur tangan agama dan negara. Soekarno adalah orang pertama yang merumuskan definisi ideologi dasar negara dengan pidatonya yang “membelah” kebuntuan tentang dasar negara.  Pada hari keempat sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, Soekarno secara eksplisit berpidato langsung menjawab pertanyaan Radjiman:

“Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbai Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta…ialah dalam bahasa Belanda Philosofische grondslag daripada Indonesia yang merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan , kepada Tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan Merdeka” (disambut tepuk tangan hadirin).

Setelah itu Soekarno melanjutkan pidatonya tentang Philosofische grondslag itu;

“Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta Philosofische grondslag, atau jika kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk. Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta satu Weltanschauung, di atas nama kita mendirikan negara Indonesia itu.”

Kemudian, ia mengembangkan lima asas yang diusulkan menjadi dasar negara Indonesia merdeka, yaitu: 1. Nasionaisme Indonesia; 2. Internasionalisme dan Perikemanusiaan; 3. Mufakat dan Demokrasi, 4. Keadilan Sosial, 5. Ketuhanan. Soekarno secara eksplisit mengemukakannya dalam pidato sebagai berikut:

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja yang ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhanna sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhamad SAW, orang Budha menjalankannya menurut kitab-kitab yang ada padanya….Hendaknya Negara Indonesaia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’….Mari kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban….Hormat-menghormati satu sama lain.” (Disambut tepuk tangan hadirin).

Pidato Soekarno ini dikenal dengan “Lahirnya Pancasila” disambut cukup meriah dari para hadirin. Umumnya banyak orang yang menafsirkan ini sebagai tanda penerimaan terhadap pandangan yang dikemukakan Soekarno. Tetapi bisa jadi ini juga menunjukkan  bahwa hadirin merasa cukup lega karena melepaskan dan menjawab kebuntuan dan kontroversi persitegangan  ideologis penganjur Negara Islam dengan Negara Sekuler yang terjadi sehari sebelumnya dan hamper mengancam persatun bangsa. Sebenarnya, ada tiga poros ideologis yang mengajukan pandangan mereka digunakan untuk Dasar Negara Indonesia. Pertama, adalah Pancasila yang seperti susunan deskripsi dalam pidato Soekarno; Kedua, adalah Islam, yaitu ajaran mengenai hal-hal duniawi dan ukhrawi yang berasal dari Tuhan, yang secara resmi dianut oleh lebih dari 90 % rakyat Indonesia. Maka Islam diusulkan sebagai dasar negara Indonesia. Ketiga, paham yang dianut oleh lok Sosial-Ekonomi yaitu, struktur sosio-ekonomi yang berdasarkan asas kekeluargaan. Hal ini kemudian ditetapkan dalam UUD 1945 pasal 33 UUD 1945 yang pelaksanaannya harus dijamin dalam pasal 1 UUD tersebut.

Pada 18 Agustus 1945 PPKI pun akhirnya menetapkan Dasar negara Indonesia dengan naa Pancasila, dengan keikhlasan dan penerimaan semia golongan. Ditetapkanlah dasar negara Indonesia, pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, Kemanusiaan yang  Adil dan Beradab. Ketiga, Persatuan Indonesia. Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Permusyawaratan Perwakilan. Kelima, (Mewujudkan suatu) Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Pancasila ini juga yang melekatkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (Fery Edwin S, dkk. 2006; 13-14).

Gambaran mengenai proses lahirnya Pancasila sebagaimana diuraikan diatas, menunjukkan bahwa Pancasila tidak lahir begitu saja. Tetapi ada proses pelik yang dilewati oleh para pendahulu yaitu ketika terjadi perbedaan gagasan antara menjadikan dasar negara Indonesia senagai Negara Islam atau Negara Sekuler. Saat itu, Pancasila dianggap sebagai jalan moderat, jalan ideal untuk mengurangi (kalau tidak bisa menghilangkan) persitegangan antara kedua kubu pengusung ide. Tetapi bagi rakyak dan negara Indonesia, Pancasila adalah rahmat. Karena Pancasila, persitegangan kedua kubu pengusung ide Negara Islam dan Negara sekuler menjadi reda, dan lebih dari itu, karena Pancasila pula yang telah mengikat bangsa Indonesia untuk bersepakat hidup bersama secara rukun dan damai dalam keragaman. Maka tidak salah, Yudi Latif mengatakan bahwa “Pancasila adalah warisan dari jenius Nusantara. Sesuai dengan karakteristik lingkngan alamnya, sebagai negeri yang ditaburi pulau-pulau (archipelago), jenius nusantara juga merefleksikan sifat lautan. Sifat laut adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya, mampu menampung segala keragaman jenis dan ukuran” (2011; 2).

Notonegoro, menguraikan bahwa lima sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Rumus bagi isi daripada sila-sila Pancasila sebagai dasar falsafah Negara dalam rangkaian kesatua adalah sebagai berikut:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkesatuan Indonesia yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah kemanusiaan yang ber-Tetuhanan Yang Maha Esa, yangberpersatuan Indonesia yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berkeadilan sosial bagi selirih rakyat Indonesia.
  3. Persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab yang bererakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikamat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah kerakyatan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rkyat Indonesia.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah keadilan sosial yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang ber-kemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Dalam kelima rumusan tersebut nampak bahwa sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan pemimpin atau pimpinan terhadap keempat sila lainnya yaitu sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila sebagai falsafah Negara seperti yang telah dikatakan diatas di samping sifat kenegaraan juga mempunyai sifat adat kebudayaan dan sifat keagamaan (Ibrahim Lubis; 1982, 301-302). Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Kaelan (2014; 52) yang menjelaskan bahwa isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Dasar filsafat negara Indonesia terdiri dari lima sila yang masing-masing merupakan suatu asas peradaban, manun demikian sila-sila Pancasila itu merupakan suatu kesatuan dan keutuhan yaitu setiap sila merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari Pancasila. Maka Pancasila merupakan suatu kesatuan yang majemuk tunggal. Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri-sendiri terlepas dari sila-sila lainnya serta diantara sila satu dan lainnyatidak saling bertentangan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diuraikan nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan sila-sila Pancasila yang hendaknya menjadi pedoman hidup baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat maupun sebagai warga negara. Pertama, nilai spiritual. Nilai ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesi memiliki keyakinan dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kaum muslimin meyakini adanya Tuhan, Yang Kristen Protestan dan Katolik juga menyembah Tuhan, begitupula dengan Hindu, maupun Budha. Maka, konsekuensinya adalah, setiap warga negara harus dapat menunjukkan prilaku yang senantiasa sesuai dengan ajaran agama yang diyakini. Wujud nyata dari aplikasi nilai-nilai spiritualisme adalah senantiasa menaati ajaran agama yang diyakini. Andreas Doweng Bolo, dkk (2012; 97) mengatakan bahwa ada dua hal yang dapat disimpulkan prinsip ketuhanan, yaitu; bahwa ada sebuah anjuran yang di dasarkan pada kenyataan agar semua orang Indonesia ber-Tuhan, dan bahwa ber-Tuhan tidak saja menjadi ciri atau karakter dasar individu manusia Indonesia, tetapi lebih luas adalah ciri masyarakat Indonesia atau bangsa Indonesia. Kedua, nilai humanis. Jika nilai pertama menekankan pada aspek habluminallah (hubungan dengan Pencipta), maka nilai humanisme menekankan aspek habluminannats (hubungan dengan sesama yang dicipta). Tetapi kedua aspek ini mempunyai relevansi yang sangat kuat. Hubungan yang baik kepada pecipta akan berkonsekuensi pada hubungan yang baik kepada sesame, begitupula sebaliknya. Bentuk aplikasi dari nilai-nilai humanism Pancasila dalam kehidupan adalah, suka menolong, membantu sesama, memberi manfaat pada orang lain, toleransi, dan saling menghargai diantara sesama.

Ketiga, nilai nasionalis. Nilai ketiga dari Pancasila adalah menekankan pada aspek kecintaan kepada tanah air, dan ini menjadi kewajiban setiap warga negara. Sukarno mengatakan bahwa nasionalisme merupakan persatuan dari berbagai golongan. Nasionalisme bukan sebuah kopian atau tiruan dari nasionalisme barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari segala paham kekecilan dan kesempitan (Ibid, 163). Inti dari nilai nasionalisme adalah melepaskan identitas kelompok, identitas daerah, atau identitas golongan demi kecintaan kita kepada bangsa dan negara. Aplikasi dari nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah; cinta dengan produk negeri sendiri, berani membela kepentingan bangsa dan negara, berani, jujur, gigih, pantang menyerah, dan selalu berusaha untuk maju dan berkembang. Keempat, nilai demokratis. Dalam konsep Sukarno, demokrasi berarti bertumpuk pada kerakyatan. Oleh karena itu, pengambilan keputusan harus di dasarkan pada suara mayoritas rakyat melalui musyawarah. Menurut Bung Hatta nilai-nilai demokrasi adalah, 1) kemandirian dan tanggung jawab individu, 2) keterlibatan dan partisipasi dalam masyarakat, dan 3) hubungan kooperatif antarindividu yang mandiri dalam masyarakat (Ibid, 191). Kelima, nilai keadilan. Aspek kelima ini sangat penting dalam hubungannya dengan Indonesia yang sangat beragam. Dari segi waktu, Indonesia dipilah menjadi tiga bagian, yaitu bagian timur, bagian tengah, dan bagian barat. Dari segi sosial, budaya dan bahasa juga menunjukkan kemajemukan yang luar biasa, demikian halnya pada aspek demografis dan geografis. Situasi ini menggambarkan bahwa Indonesia membutuhkan kemauan yang kuat serta kemampuan yang luat biasa untuk mengelolanya dengan baik. Oleh karena itu, kata kunci yang dibutuhkan adalah keadilan. Adil dalam segala hal, bukan adil yang parsial. Wujud nyata keadilan dalam kehidupan berbangsa dan berbegara adalah; 1) berbuat adil,  2) tidak diskriminatif, 3) tidak memandang mereh dan rendah orang lain, 4) menghargai karya orang lain, 5) mengembangkan sikap egaliter, dan sebagainya.

Nilai-nilai Pancasila sebagaimana telah diuraikan nampaknya tidak cukup jika hanya dipahami secara tekstual, tetapi akan baik jika dipahami secara kontekstual. Juga tidak cukup jika hanya dipahami oleh orang dewasa, tetapi sebaiknya dipahamkan kepada anak-anak khususnya peserta didik sehingga dapat terbentuk sikap dan prilaku yang Pancasilais. Dalam konteks ini, maka institusi yang paling tepat menjadi tempat penanaman nilai-nilai Pancasila adalah Sekolah. Melalui sekolah, nilai-nilai Pancasila ditanamkan, lalu dipraktekan di lingkungan sekolah, selanjutnya ke lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Hal ini sejalan dengan undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penataran P4 pada Zaman Orde Baru

Setelah Orde Lama berakhir, pemerintahan baru terbentuk dengan nama Orde Baru. Tekad pemerintahan yang dibawah kendali Presiden Suharto adalah melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen (Rukiyati, dkk; 2008, 115). Ketika membawakan sambutan selaku kepala negara pada peringatan hari lahirnya Pancasila pada tangga 1 Juni 1967, Suharto mengatakan bahwa “Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan Dasar Falsafah Negara yang sekedar dikeramatkan dalam dokumen Pembukaan UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan. Tanpa diamalkan, apapun Dasar Falsafah Negara yang kita pakai, apa pun konsepsi yang kita buat, tidak akan berguna dan tidak ada artinya”. Selanjutnya dikatakan bahwa “kita wajib mempertahankan Pancasila, kita wajib melaksanakan Pancasila, kita wajib mengisi kemerdekaan dengan mengamalkan Pancasila, oleh karena Pancasila adalah Dasar dan Tujuan Kemenrdekaan ini” (Tim; 1995, 231).

Pada era Orde Baru, salah satu upaya konkrit Pemerintah dalam rangka penanaman nilai-nilai Pancasila, adalah melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tujuannya antara lain adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Kegiatan ini dilaksanakan secara terstruktur dan masif melalui jalur sekolah. Kita dapat melihat bahwa ketika anak sekolah memasuki jenjang Sekolah Dasar (SD), kegiatan awal yang akan diikuti adalah penataran P4, demikian halnya ketika menasuki jenjang sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), Perguruan Tinggi, dan bahkan masuk sampai pada wilayah kerja. Materi penataran P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi lain yang berkaitan dengan kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme. Bahkan pemerintah membentuk badan khusus yang disebut dengan BP7 (Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) guna melaksanakan dan mengontrol pelaksanaan P4. Visi utama Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Oleh karena itu penanaman nilai-nilai Pancasila harus dilakukan secara terstruktur agar rakyat Indonesia menyadari dan menghayati Pancasila sebagai dasar negaranya. Boleh jadi, visi ini didorong oleh trauma Orde Lama, dimana konsep Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM) menempatkan ideologi komunis menjadi dominan, sehingga nilai-nilai Pancasila justru menjadi kabur. Bagi Suharto, Manusia Pancasila adalah manusia dalam keadaan apapun secara konsisten dan konsekuen mengamalkan Pancasila. Konsisten artinya setia kepada apa yang diyakini benar dan adil. Sedangkan konsekuen adalah kemampuan menghadapi konsekuensi atau akibat dari sikap takut dengan tabah, sabar, dan tawakal serta bertanggung jawab. Sejak saat itu pemerintahan Orde Baru menyatakan Pancasila sebagai Asas Tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya untuk menanamkan Pancasila sebagai asas tunggal dilakukan dengan mengadakan penataran P4 disekolah-sekolah, kantor-kantor, organisasi politik, organisasi massa dan lain-lain.

Tetapi dalam prakteknya, Pancasila hanya dihafalkan, tidak diamalkan. Masyarakat pada masa itu memaknai Pancasila sebagai hal yang patut dan penting untuk ditanamkan”, ujar Hendro Muhaimin, peneliti di Pusat Studi Pancasila UGM. Selain itu menurutnya pada era Orde Baru semua orang menerima Pancasila dalam kehidupannya, karena Pancasila sendiri adalah produk dari kepribadian dalam negeri sendiri, dan yang menjadi keprihatinan khalayak pada masa itu adalah Pemerintahnya, bukan Pancasilanya. Hendro Muhaimin juga menambahkan bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan “menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. “Pada dasarnya, yang salah bukanlah Pancasila, karena Pancasila dibuat dari penggalian kepribadian bangsa ini, dari cerminan bangsa Indonesia, maka para pemegang kekuasaan pada rezim  itu, yang menggunakan Pancasila secara politis, adalah pihak yang seharusnya bertanggungjawab akan gejolak-gejolak yang terjadi”, ujarnya. Namun disamping hal-hal tersebut, penanaman nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga  sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong kala itu sangat dijunjung tinggi. Selain itu, contoh dari gencarnya penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas utamanya. Apabila ada asas-asas organisasi lain yang ingin ditambahkan sebagai asasnya, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Oleh karena itu, muncul juga anggapan bahwa Pancasila dianggap sebagai “pembius” bangsa, karena telah “melumpuhkan” kebebasan untuk berorganisasi (pusakaindonesia.org).

Pasa satu sisi, pelaksanaan penataran P4 selama masa pemerintahan Suharto telah menciptakan keteraturan dan keseragaman. Semua organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi kemahasiswaan berasaskan Pancasila. Demikian halnya pada semua jenjang pendidikan (pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi), serta birokrasi mendapatkan penataran P4. Pada dunia pendidikan, kita tidak pernah menemukan ada siswa yang tawuran, ada geng motor, ada kekerasan diantara sesama siswa, ada pengguna narkoba dan minuman keras di kalangan pelajar, dan sebagainya. Demikian halnya dalam masyarakat, tidak ada kerusuhan antar kelompok atau agama, tidak ada konflik antar kelompok preman. Yang nampak adalah keteraturan, ketenangan dan kedamaian. Tetapi pada sisi yang lain, keteraturan, ketenangan dan kedamaian oleh sebagian kalangan dianggap sebagai gejala yang nampak dipermukaan saja, sebagai bentuk ketakutan atas politik represif rezin Orde Baru. Pancasila dipahami secara tektual saja, tetapi tidak dipahami secara kontekstual. Redaksi Pancasila beserta butir-butirnya dihafal tetapi tidak dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Penataran P4 telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru untuk menanmkan nilai-nilai Pancasila secara dogmatis. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.

Dari uraian-uraian tersebut dapat diketengahkan kelebihan pelaksanaan penataran P4 pada zaman Orde Baru. 1) dilaksanakan secara terprogram sehingga muatan materi mudah dimengerti, 2) dilaksanakan secara terstruktur pada semua jenjang pendidikan dan level birokrasi pemerintahan, sehingga betul-betul dipahami oleh semua kalangan, 3) nilai-nilai Pancasila dapat dipahami dan terinternalisasi dalam diri peserta didik, mahasiswa dan masyarakat, 4) nilai-nilai Pancasila dapat termanifestasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun kekurangannya adalah; 1) pendekatan pembelajaran bersifat dogmatis sehingga pengetahuan diserap dengan paksaan, bukan dengan pemahaman. 2) nilai-nilai Pancasila hanya dipahami secara tekstual, tidak secara kontekstual sehingga sulit diterapkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara. 3) Penataran P4 menjadi bagian dari alat politik represif Orde Baru.

Memberhatikan kelebihan dan kekurangan pelaksanaan penataran P4 pada zaman Orde Baru, nampaknya memiliki nilai lebih yang banyak daripada nilai kurannya. Oleh karena itu, penting untuk diterapkan kembali di Sekolah. Tentu dengan format baru, hal-hal yang lama yang bagus dipertahankan, yang tidak bagus dihilangkan, dan dirumuskan format baru yang lebih bagus. Sehingga betul-betul, nilai-nilai Pancasila dapat dipahami, terinternalisasi, serta termanifestasikan dalam kehidupan peserta didik.

     
Menerapkan Kembali Penataran P4

Re-implementasi atau menerapkan kembali Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di sekolah menjadi hal yang sangat penting. Pergeseran prilaku peserta didik yang semakin hari semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila membuat orang tua murid, guru, masyarakat, dan bahkan pemerintah semakin khawatir. Kadar kepatuhan peserta didik terhadap ajaran agama semakin berkurang, rasa persaudaraan diantara siswa juga semakin hilang, semangat gotong royong dan kerja sama yang selalu ditekankan di sekolah juga mulai terabaikan, tradisi musyawarah telah tergantikan dengan egoisme dan nilai-nilai keadilan tergantikan dengan diskriminasi. Memang tidak semua siswa atau sekolah, tetapi berbagai peristiwa yang terjadi dalam dunia siswa, baik yang diketahui melalui media cetak maupun media sosial membuat berbagai kalangan menjadi prihatin. Padahal, pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Bab II Pasal 3).

Diterapkannya kembali Penataran P4 pernah diusulkan oleh Gamawan Fauzi, Mendagri era pemerintahan SBY. Menurut Gamawan Fauzi, hal ini disebabkan saat ini nilai-nilai Pancasila tidak lagi terlihat menjiwai prilaku masyarakat. Sekarang ini tidak terlihat lagi semangat gotong royong, kebersamaan dan tenggang rasa diantara unsur dan elemen masyarakat Indonesia. Seperti sering terjadi kerusuhan dan tindak pelanggaran hukum di masyarakat. Menurutnya, Penataran P4 berfungsi untuk memasukkan nilai-nilai Pancasila pada siswa sekolah di tingkat menengah pertama dan atas, serta beberapa pendidikan tinggi (pusakaindonesia.org). Pada konteks ini, yang menjadi perhatian adalah siswa pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, tidak termasuk siswa pendidikan dasar dan birokrasi sebagaimana zaman Orde Baru.

Menerapkan kembali Penataran P4 bukan berarti melestarikan kembali tradisi Orde Baru melalui institusi sekolah. Tetapi adalah upaya untuk membentuk watak dan kepribadian siswa yang Pancasilais. Sehingga sikap dan prilaku siswa senantiasa selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, seperti; taat terhadap ajaran agama yang diyakini, saling menyayangi antar sesama, tolong menolong, gotong royong, tenggang rasa, jujur, toleran, adil, dan sebagainya. Dengan demikian, reimplementasi penataran P4 di sekolah dapat dilakukan dengan tiga pilihan model. Pertama, model berjenjang. Dapat dikatakan sebagai model klasik sebagaimana yang pernah diterapkan pada zaman Orde Baru. Peserta didik setiap memasuki jenjang pendidikan (sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas) diwajibkan mengikuti penataran yang diselenggarakan oleh sekolah. Sekolah memiliki kewenangan menentukan waktu pelaksanaan, apakah awal masuk sekolah atau menjelang penamatan. Sehingga siswa wajib mengikuti satu kali penataran pada setiap jenjang pendidikan yang dimasuki. Materi penataran dapat disediakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau dikembangkan oleh Satuan Pendidikan. Kedua, model bertingkat. Pada model ini, kegiatan penataran P4 dilakukan pada setiap tingkat kelas. Artinya, setiap peserta didik akan menerima materi P4 pada setiap memasuki kelas baru. Misalnya, bagi siswa SMP akan memperoleh penataran P4 ketika memasuki kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX. Kegiatan ini juga berlaku pada jejang pendidikan dasar dan pendidikan menengah atas. Apakah siswa tidak jenuh atau bosan? Untuk menghindari hal tersebut, maka materi penataran harus disederhanakan dan kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan aktif. Ketika, model ekstra kurikuler. Pada model ini, kegiatan penataran tidak dilakukan dalam kelas, dan tidak dalam bentuk pembelajaran tatap muka. Penanaman nilai-nilai Pancasila dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstra kurikuler sebagaimana kegiatan Pramuka, palang merah remaja (PMR), unit kesehatan sekolah (UKS), pembinaan olah raga, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, guru sebagai Pembina (Penataran P4), dituntut untuk mengembangkan berbagai program dan kegiatan yang mengarah pada peningkatan penghayatan, pemahaman, dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan.

Jika penerapan kembali Penataran P4 menjadi kebijakan pemerintah, maka yang akan menentukan modelyang akan digunakan juga menjadi kewenangan pemerintah melalui kementerian terkait yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Atau, jika penerapan P4 diotonomikan atau di desentralisasikan, maka sekolah dapat memilih model yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sekolah. Namun demikian, apapun model yang akan digunakan, aspek-aspek berikut harus menjadi perhatian;

1.     Penataran P4 di sekolah harus mampu menumbuhkan rasa dan keyakinan yang kokoh dalam pribadi peserta didik akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi dari tumbuhnya rasa dan keyakinan itu adalah adanya sikap dan perbuatan yang senantiasa selaras dengan ajaran ketuhanan yang termanifestasi dalam ajaran Agama. Tetapi, pada saat yang sama, upaya menumbuhkan rasa dan keyakinan terhadap ajaran agama tersebut tidak boleh bersifat dogmatis dan eksklusif, tetapi harus bersifat demokratis dan inklusif. Artinya, penanaman nilai-nilai ajaran agama tidak boleh diajarkan dengan jalan paksa, tetapi harus dengan jalan dialog; begitu juga kebenaran ajaran agama tidak boleh hanya ada pada agama tertentu saja, tetapi ada pada semua agama. Dengan demikian, kedepan kita tidak akan lagi menyaksikan adanya kerusuhan yang bernuansa Agama.

2.     Penataran P4 di sekolah juga harus mampu menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan atau humanisme kepada peserta didik. Sehingga muncul sikap saling menghargai, saling asih dan asuh, serta rasa persaudaraan diantara sesama peserta didik. Jika upaya ini dapat terwujudkan, maka perkelahian antar siswa, tawuran antar sekolah, kekerasan, intimidasi, dan sebagainya secara perlahan dapat terkikir dari sekolah.

3.     Setelah menumbuhkan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan nilai-nilai kemanusiaan, maka tujuan pelaksanaan penataran P4 selanjutnya adalah menumbuhkan nilai-nilai patriotisme, mengembangkan jiwa yang cinta akan tanah airnya. Melalui penanaman nilai-nilai patriotisme, peserta didik diharapkan dapat menerapkan pola sikap berani, jujur, bertanggung jawab, pantang menyerah, kerja keras, dan selalu ingin maju.

4.     Penerapan P4 di sekolah harus mampu menumbuhkan pemahaman dan pola sikap yang lebih demokratis. Siswa harus dibiasakan dengan perbedaan pendapat melalui forum diskusi, dibiasakan dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat, bersikap toleran serta saling menghargai berbagai perbedaan, baik dalam hal agama, suku, bahasa, adai-istiadat, warna kulit, maupun bakat dan kemampuan.

5.     Penerapan P4 disekolah juga harus mampu mendorong terwujudnya keadilan sosial. Dalam konteks ini, peserta didik perlu diberikan pemahaman dan kesadaran tentang bahaya diskriminasi, mengambil hak milik negara untuk kepentingan pribadi (korupsi), membangun kesepakatan kelompok yang merugikan negara (kolusi), serta mengabaikan kompetensi, integritas, dan profesionalitas demi mendahulukan keluarga dalam urusan pemerintahan dan urusan publik (nepotisme).

Dengan kelima langkah tersebut diharapkan bahwa nilai-nilai Pancasila dapat dipahami, dihayati, dan dilaksanakan dalam praktek kehidupan peserta didik, baik dalam lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, maupun dalam lingkungan masyarakat.

Penataran P4 yang dilaksanakan di sekolah selama masa pemerintahan Orde Baru, pada awalnya mempunyai banyak bermanfat terutama dalam penanaman nilai-nilai Pancasila kepada peserta didik. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dunia sekolah sangat teratur, jarang sekali ada tawuran atau ugal-ugalan yang dilakukan oleh peserta didik. Tapi pada perkembangannya mengalami deorientasi karena dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk menamkan doktrin politik represif kepada kalangan sekolah. Akibatnya adalah Pancasila hanya dipahami secara tekstual dan dogmatis dan tidak tertanam dalam jiwa peserta didik secara kontekstual dan demokratis.

Oleh karena itu, reimplementasi atau penerapan kembali Penataran P4 di sekolah dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen. Hal ini berkenaan dengan sikap dan prilaku peserta didik di sekolah yang semakin hari semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. Reimplementasi penataran P4 di sekolah dapat dilakukan dengan tiga pilihan model, yaitu model berjenjang, model bertingkat, dan model ekstra kurikuler. Ketika model tersebut dapat dipilih melalui kebijakan pemerintah pusat atau menjadi kewenangan sekolah. Tetapi, model apapun yang akan diterapkan pada sekolah, aspek yang harus diperhatikan adalah penataran P4 tidak boleh dilaksanakan secara indoktrinasi, tetapi dengan jalan dialog. Jalan indoktrinasi hanya akan menghasilkan pemahaman yang kaku dan tekstual, sedangkan dengan jalan dialog akan menumbuhkan pemahaman yang lebih fleksibel dan kontestual. Wallahu a’lam bish-shawab

Edwin S, Fery dkk. (2006), Prof. Notonagoro & Pancasila: Analisis Tekstual & Kontekstual.

Yogyakarta; Universitas Gadjah Mada.

Tim Perumus (1995), Sejarah Lahirnya Pancasila. Jakarta; Yayasan Pembela Tanah Air

Doweng Bolo A, dkk (2012), Pancasila Kekuatan Pembebas. Yogyakarta; PT. Kanisius

Kaelan (2014), Pendidikan Pancasila. Yogyakarta; Paradigma Yogyakarta.

Latif Yudi (2011), Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.

            Jakarta; Pt. Gramedia Pustaka Utama.

Latif Yudi (2015), Bhineka Tunggal Ika: Suatu Konsepsi Dialog Keragaman Budaya, dalam

            Fikih Kebhinekaan. Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan

            Kepemimpinan Non-Muslim. Bandung; PT. Mizan Pustaka.

Lubis Ibrahim (1982), Kuliah Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Jakarta; Ghalia Indonesia.

Rukiyati, dkk (2008), Pendidikan Pancasila. Yogyakarta; UNY Press.

Wildan Muhammad. (2013). Multikulturalisme dan Islamisme di Indonesia.