Kelompok masyarakat yang memiliki status sosial paling tinggi pada masa kolonial adalah golongan

Pada masa kolonial Belanda pembagian status sosial masyarakat diatur menurut hukum ketatanegaraan tahun 1927. Berdasarkan hukum tersebut, kelompok masyarakat dikategorikan sebagai berikut : 1) GoIongan atas yang terdiri atas orang-orang Eropa. 2) Golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan India).

3) Golongan pribumi yang terdiri atas bangsa Inoonesia asli.

  • Lapisan atas yang terdiri atas para bangsawan dan kerabat istana.
  • Lapisan menengah, yaitu para petani kaya,pedagang kecil dan menengah, serta pegawai.
  • Lapisan bawah, yaitu rakyat jelata yang hidup di perdesaan dan merupakan penduduk mayoritas.

Maka, jawaban yang tepat atas pertanyaan di atas adalah Tionghoa, Arab, dan India.

       Pendidikan zaman Penjajahan Belanda bisa dikatakan adalah salah satu pondasi berbagai sistem yang berlaku di Indonesia.  Dari sekian banyak sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah satu adalah pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan pendidikan bisa dikatakan salah satu poin penting dalam pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sistem pendidikan yang baik sedikit banyak akan dapat meningkatkan, apalagi jika dijalankan dengan semestinya.                                                                                            Perkembangan pendidikan di Indonesia menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.                                                                                                              Mereka yang hanya sekolah sampai di Volkschool atau Sekolah Rakyat juga cukup beruntung. Ketika Indonesia Merdeka di tahun 1945, seperti tercatat dalam buku Haji Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme (2004), angka buta huruf masih 90 persen. Sekolah hanya bisa dinikmati 10 persen penduduk saja. Sedangkan lulusan HIS biasanya melanjutkan sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setara SMP, lalu dari MULO yang masa belajar tiga tahun akan berlanjut ke Algemeene Middelbare School (AMS) atau setara SMA selama tiga tahun. Lulusan sekolah ELS boleh lanjut ke HBS, di mana masarakat menjalani sekolah menengah selama lima tahun, hanya butuh waktu 12 tahun sekolah dan Jika melalui HIS, MULO lalu AMS, butuh waktu 13 tahun.                                                    Setelah lulus SMA baik AMS maupun HBS, mereka boleh masuk universitas di Belanda atau melanjutkan ke sekolah tinggi kedokteran bernama School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang dikenal juga sebagai Sekolah Dokter Jawa di Kwitang yang kemudian berubah jadi Geeneskundig Hoge School di Salemba. Selain sekolah kedokteran, di Betawi ada sekolah hukum bernama Recht Hoge School. Kampus hukum dan kedokteran kolonial itu belakangan menjadi fakultas-fakultas dari Universitas Indonesia. Ada juga sekolah pertanian atau Landbouw School di Bogor yang belakangan jadi Institut Pertanian Bogor (IPB). Di bidang teknik ada Technik Hoge School di Bandung yang sekarang adalah Institut Teknologi Bandung (ITB).  Sedangkan dalam hal karier orang pribumi dihambat ketika masuk dunia kerja, baik di swasta maupun pemerintahan. Karena banyak pribumi yang masuk HIS atau ELS di usia lebih dari 7 tahun alias telat sekolah, maka kesempatan kerja lulusan SMA pribumi berkurang.

Daftar Pustaka

  • Wawan Darmawan  “Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) Sebagai Wadah Organisasi Guru Bumi Putera Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1911-1933” artikel departemen pendidikan sejarah UPI.
  • Darsiti Soeratman.”Politik Pendidikan Belanda dan Masyarakat Djawa Pada Akhir Abad 19,” makalah disampaikan pada Seminar Sejarah Nasional II. Yogyakarta, 1970.
  • Sartono Kartodirdjo. “Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial”, Lembaran Sejarah, Universitas Gadjah Mada, 1969


GOLONGAN-GOLONGAN SOSIAL DI HINDIA BELANDA MASA KOLONIAL

Masyarakat Kolonial adalah masyarakat yang berdasarkan sistem kasta sebagaimana yang dikemukakan oleh Raymond Kennedy dan Wertheim. Penduduk Hindia Belanda dibagi dlaam golongan-golongan dan kasta-kasta berdasarkan ras, suku bangsa atau warna kulit. Masyarakat semacam ini disahkan melalui undang-undang artikel 163 Indische Staatsregeling. 

Pembagian penduduk atas dasar ras ini bukan saja untuk keperluan hukum dan bukan juga untuk memberlakukan hukum adat kepada orang Indonesia “asli” dan hukum Eropa untuk orang Eropa serta hukum Timur Asing untuk orang Timur Asing. Tetapi pembagian ini juga terlihat dalam bidang ekonomi, pekerjaan, kedudukan sosial dan lain-lain. Akibatnya, seseorang yang berasal dari satu golongan tidak bisa pindah ke golongan lain.

STRATIFIKASI SOSIAL KOLONIAL

Pada abad 17 dan 18, satu sistem status telah tumbuh di kantung-kantung yang dikontrol oleh Kompeni di Hindia Belanda. Di Batavia, pegawai Kompeni Belanda membentuk lapisan sosial yang paling tinggi ; di bawah mereka adalah warga negara bebas, yang diantaranya adalah para penganut agama Kristen seperti orang Belanda,Mestizo dan budak-budak Kristen yang diberikan hak suara.

Setelah itu adalah lapisan yang terdiri dari orang Cina, Arab dan Timur Asing lainnya. Sedangkan panduduk pribumi Indonesia/Inlanders dan kemudian para budak menempati lapisan sosial paling bawah. Sistem status di Batavia ini membentuk titik awal bagi masyarakat kolonial di Jawa pada abad 19. Ketika kekuasaan kolonial meluas sampai ke seluruh pulau bahkan sampai ke daerah pedesaan, sistem stratifikasi sosial ini kemudian mengalami sejumlah perubahan.

Sebagaimana di imperium Inggris, di Hindia Belanda agama tidak lagi menjadi kriteria prestise sosial bagi penduduk, tetapi ras. Pada saat itu, struktur sosial didasarkan atas dasar perbedaan ras. Pada abad ke -19, Jawapun terbelah berdasarkan garis warna. 

Sekitar tahun 1850, stratifikasi sosial yang didasarkan atas ras di Jawa menunjukkan bentuk yang baku, yang terefleksikan dalam undang-undang. Semakin gelap warna kulit, semakin Hindia cara bicara, cara berpakaian dan perilaku semakin rendah pula posisi sosial mereka. Seluruh kehidupan sosial diilhami oleh kesadaran warna.

Orang Eropa membentuk strata kekuasaan yang menyerupai kasta. Jurang pemisah antara tiap golongan atau lapisan yang ada tidak dapat dijembatani. Perpindahan dari satu status ke status lainnya tidak dimungkinkan terjadi.Sehingga sebagai konsekuensinya, diskriminasi atas dasar ras ini hampir terjadi di segala aspek kehidupan sosial. Hanya inlanders yang menjadi sasaran kerja paksa untuk berbagai pekerjaan umum dan sebagai tenaga kerja paksaan di perkebunan-perkebunan pemerintah.

Sedangkan orang-orang Cina dan Arab, mereka menempati posisi antara orang Eropa dan orang pribumi Indonesia. Di Jawa, mereka membentuk suatu kelas menengah besar yang terdiri atas para pedagang dan pekerja ahli yang otonom. Dalam fungsi mereka sebagai pedagang profesional, orang Cina dipandang kurang hormat , baik oleh kalangan bangsawan Indonesia maupun kelas petani pribumi.

LUNTURNYA IDENTITAS ETNIS

Walaupun pemerintah kolonial sejak zaman VOC berusaha memisahkan dan membatasi interaksi antargolongan etnik dan ras di Hindia Belanda, namun dalam kenyataannya proses interaksi tersebut tetap terjadi, bahkan seringkali antar kelompok etnis/ras yang ada saling kawin mengawin satu sama lain sehingga hal tersebut mengakibatkan mencairnya identitas etnis yang ada. 

Proses makin mencairnya identitas etnis penduduk Batavia terutama terlihat di daerah Ommelanden. Meskipun pemerintah Batavia  berusaha menerapkan kebijakan segregasi dengan mendirikan kampung-kampung yang berdasarkan pada asal-usul etnis, namun kecenderungan yang terjadi menunjukkan bahwa identitas etnis tidak banyak mempengaruhi pola hubungan masyarakat.

Di Ommelanden, masyarakat berinteraksi tidak hanya berdasarkan pada hubungan etnis, namun lebih didasarkan kepada kepentingan sosial-ekonomi dan kedekatan geografis.Identitas etnis dalam masyarakat Ommelanden tidak pernah terartikulasi dengan jelas.

Mencairnya identitas etnis juga dipengaruhi oleh pengalaman yang dialami bersama di dalam dinas kemiliteran VOC. Solidaritas sebagai sesama pasukan pribumi yang bertempur bersama dalam menghadapi musuh telah melunturkan identitas etnis dari para anggota pasukan tersebut. Hal yang sama kemungkinan besar juga terjadi pada pasukan-pasukan pribumi lainnya yang dikirim dalam berbagai etnis dari pemimpinnya, namun banyak diantara anggota pasukan yang memiliki latar belakang etnis yang berbeda.

Identifikasi terhadap suatu agama juga merupakan salah satu unsur yang menyebabkan melunturnya identitas etnis.Sebagai contoh adalah para Mardijker yang menganut agama Kristen dan orang keturunan Tionghoa yang menganut agama Islam. Orang Tionghoa yang memeluk agama Islam akan memotong kucirnya dan mengganti namanya dengan nama-nama Melayu atau nama Arab.

Institusi perbudakan juga menjadi faktor yang mendorong integrasi antaretnis. Berdasarkan catatan statistik, hampir semua etnis Indonesia yang ada di Batavia terwakili dalam institusi perbudakan. Setelah para budak tersebut mendapatkan kemerdekaannya, proses interaksi antarbekas dari pelbagai latar belakang etnis yang berbeda tersebut semakin intensif dan hal itulah yang mengakibatkan memudarnya identitas etnis yang ada.

Golongan Eropa/Eurasia atau “Belanda totok” ini memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam struktur sosial masyarakat Hindia Belanda. Mereka mendapatkan sejumlah privilise dan gengsi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan golongan sosial lainnya. Dalam bidang transportasi, mereka diperbolehkan duduk di kelas satu, sedangkan golongan pribumi hanya diperbolehkan menduduki kelas tiga.Golongan ini menempati kedudukan yang tinggi dan secara ekonomi mereka juga memainkan peranan yang penting.

Semua jabatan yang ada di lembaga-lembaga pemerintahan kota berada di tangan orang Eropa, sehingga wajar saja jika kepentingan-kepentingan orang Eropa di Batavia dan Ommelanden selalu didahulukan, sehingga tidak mengherankan kalau terdapat anggapan bahwa pada dasarnya Batavia adalah kota orang Eropa di Asia.

Kalangan Belanda totok ini memiliki kesadaran budaya dan ras yang tinggi. Mereka awalnya tidak berniat untuk menyebarkan agama dan budaya mereka kepada golongan bumiputera. Para pejabat tinggi kolonial bahkan merasa terhina apabila ada orang pribumi yang berbicara dengan mereka menggunakan Bahasa Belanda, walaupun orang pribumi tersebut juga mempelajari Bahasa Belanda di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial.

De Haan dalam bukunya Oud Batavia menyebut orang “Belanda asli” (terutama pendatang /imigran awal) ini sebagai ‘Homo Bataviensis”. Mereka digambarkan sebagai  pribadi yang rajin bekerja,keras kepala, dan mudah marah. Mereka adalah golongan yang minoritas di Hindia Belanda. Jumlah mereka pada abad 16-17 tidak pernah lebih dari lima sampai sepuluh ribu orang saja, walaupun jumlah ini terus meningkat pada abad 19-20 M.

GOLONGAN INDO / GOLONGAN MESTIZO

Golongan ini adalah orang-orang Kristen yang ayahnya berasal dari Eropa dan beribu Asia.Secara kuantitatif, sebagaimana orang Eropa, mereka merupakan penduduk minoritas di Batavia maupun di Ommelanden.

Faktor yang mendorong munculnya golongan Indo/Indisch adalah gagalnya kebijakan Belanda yang berusaha mendatangkan pemukim baru dari Eropa. Pada mulanya VOC berupaya mendatangkan wanita-wanita Eropa ke Hindia Belanda, khususnya Batavia agar dapat melaksanakan perkawinan dengan pria Belanda yang sudah ada di Hindia Belanda sebelumnya. 

Tetapi hal ini dinilai tidak efektif. Berbagai persoalan ketika dilakukan upaya mendatangkan wanita-wanita Eropa tersebut ditambah dengan jarak yang terlalu jauh antara Negeri Belanda dan Hindia Belanda mengakibatkan program ini akhirnya ditinggalkan. 

Pada saat itu dikalangan pimpinan VOC juga berkembang stereotif posisif terhadap wanita pribumi. wanita-wanita pribumi dianggap mendatangkan keturunan yang kuat dan tegap serta memiliki umur yang panjang, sedangkan wanita-wanita Eropa, banyak diantara mereka yang mandul dan sulit mendatangkan keturunan, selain itu mendatangkan wanita-wanita Eropa dinilai sebagai investasi yang mahal.(Blusse, 2004)

Akan tetapi, proses amalgamasi antara orang Belanda dan masyarakat pribumi yang sebelumnya membentuk golongan Indo ini terhenti dengan semakin banyaknya wanita Eropa yang datang ke Hindia Belanda. Mereka banyak berdatangan ke Hindia Belanda sejak digunakannya kapal uap dalam pelayaran antara Eropa/Belanda dan Hindia Belanda. 

Selain itu, faktor dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869 juga menjadi faktor yang mempercepat perjalanan dari Eropa/Belanda dan Hindia Belanda.

Munculnya wanita Eropa dalam jumlah besar dalam kehidupan sehari-hari di Hindia Belanda itu mengakhiri osmose antarbudaya yang sebelumnya dimudahkan dengan adanya perkawinan campuran.

 Kedatangan wanita-wanita Eropa tersebut juga menghidupkan kembali ‘kesadaran budaya” Barat dan kesadaran rasial sebagai orang kulit putih. Oleh karena itu, sebagai akibatnya jarak sosial antara orang pribumi dan orang Belanda kembali terbentuk seiring dengan semakin berkembangnya diskriminasi sosial terhadap kalangan pribumi dan juga Indo.

Kalangan Indo ini lama-kalamaan memiliki kesadaran politik yang makin kuat. Hal itu disebabkan adanya peraturan kolonial yang tidak menganggap mereka sebagai bagian dari kalangan Belanda totok. Mereka dianggap sebagai bagian dari kelompok sosial khusus yang setara dengan golongan Timur Asing lainnya. Pemberontakan seorang Indo yang bernama Pieter Erberveld yang mencoba menggulingkan kekuasaan VOC pada tahun 1721-1722 membuat VOC menganggap golongan Indo ini sebagai golongan yang harus mendapatkan perhatian khusus.

Orientasi golongan Indo umumnya tidak seragam. Diantara mereka banyak yang cenderung mengidentikkan diri mereka kepada kebudayaan Eropa sedangkan sebagian lainnya berupaya melebur dengan masyarakat pribumi atau membentuk kelompok tersendiri. 

Pasca Perang Dunia, ketika golongan Indo ditawarkan kewarganegaraan Indonesia, hanya 30.000 orang Indo saja yang menerima, sedangkan sebagian besar, berjumlah 120.000 lainnya memilih tetap menjadi Belanda dan berangkat ke Negeri Belanda.

Golongan Tionghoa totok ; Kalangan Cina Totok ada yang berasal dari sub etnis Hokkien maupun Hakka.Kalangan Tionghoa totok ini awal mulanya datang ke Hindia Belanda dari negeri leluhur diabad 17-18 tanpa disertai dengan kaum wanitanya. Mereka kemudian mengawini wanita pribumi atau mengambil wanita pribumi sebagai gundik (Nyai). Dari hasil perkawinan ini lahirlah orang-orang Tionghoa yang kemudian disebut sebagai Peranakan Tionghoa.

Saat itu orang-orang Tionghoa masih menggunakan atribut yang menunjukkan ketionghoaan mereka.Mereka masih menggunakan rambut dengan kucir yang panjang dibelakang, sedangkan bagian depan kepala mereka dicukur habis, yang disebut Tocang, sebagai bagian dari tradisi Manchu yang ketika itu menjajah Cina.

Setelah Belanda benar-benar menguasai pantai utara Jawa, Belanda kemudian mendatangkan orang-orang Cina, yang mereka datangkan dari daratan Cina sebagai tenaga kerja. Selain itu orang Cina juga dijadikan Belanda sebagai perantara hubungan dagang mereka dengan masyarakat Jawa.

Golongan Tionghoa Peranakan 

Kalangan Peranakan Tionghoa adalah mereka yang sudah tinggal di Indonesia sejak empat generasi atau sejak nenek moyang mereka yang merupakan orang Tionghoa totok pertama kali datang ke Indonesia. Sebagian kalangan Tionghoa sudah relatif terasimilasikan dikarenakan mereka sudah menetap lama dan berbaur dengan kalangan pribumi, sedangkan sebagian lagi sisanya masih belum terasimilasikan. Hal ini disebabkan karena seringnya terjadi perubahan besar di Indonesia dan di Asia sejak pertengahan abad ke -19. Persebaran kalangan Peranakan Cina sebagian besar terdapat di Batavia dan sejumlah kecil lainnya berada di Semarang dan Surabaya.

Golongan Tionghoa dalam struktur birokrasi kolonial dijadikan sebagai perantara antara kepentingan Belanda dan pribumi. Pada abad 19, Belanda menjual berbagai macam pacht (hak pengelolaan) bagi jalan tol, candu, rumah gadai, kepada pengusaha Tionghoa. Seringkali dengan dukungan penguasa, para pachter tersebut memeras rakyat dan menjadi sangat kaya karena kedudukannya, sehingga kalangan Tionghoa  seringkali menjadi sasaran kebencian rakyat.(Carey,2008)

Perbedaan status hukum kalangan Tionghoa dengan kalangan pribumi lainnya dan posisi ekonomi mereka sebagai perantara kepentingan Belanda terhadap pribumi, serta kebencian kalangan pribumi terhadap mereka semenjak abad 18, telah mengakibatkan pilihan untuk melakukan asimilasi ke dalam dunia norang-ornag Jawa menjadi semakin tidak menarik bagi mereka. Orang-orang Cina Peranakan kemudian lebih cenderung untuk memperkuat identifikasi sosial mereka sebagai bagian dari komunitas Cina di Jawa.

Golongan Tionghoa Islam

Golongan ini menurut de Haan dalam bukunya Oud Batavia sudah lenyap dan melebur ke dalam masyarakat Indonesia pada permulaan abad ke-19. Golongan Tionghoa Islam sudah menjalani hidup sebagai orang bumiputera dan lupa dengan “ketionghoaan” mereka. Mereka sudah melebur dengan masyarakat pribumi dalam hal agama, kebiasaan dan cara hidup. 

Golongan ini juga sudah melakukan amalgamasi atau perkawinan campuran dengan penduduk pribumi terutama di kawasan pantai utara Jawa sejak abad ke 16.

Pemerintah Kolonial Belanda memperlakukan orang Tionghoa  yang memeluk agama Islam ini sama dengan warga pribumi. Mereka tidak dikenakan pajak kepala. Mereka juga tidak lagi memelihara kucir yang oleh Belanda disebut sebagai geschoren Chineezen, artinya orang Cina yang mencukur kucirnya.

Kalangan Tionghoa muslim juga memiliki pemimpinnya sendiri yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial.Jabatan bagi pemimpin orang-orang Tionghoa muslim ini disebut Kommandant der Parnakkans Chineezen.

Keberadaan orang Jepang di Indonesia sudah ada sejak tahun 1612, bermula dari didirikannya VOC. VOC yang didirikan pada tahun 1906 merekrut orang-orang Jepang untuk dijadikan sebagai serdadu atau tugas-tugas di kapal. Komunitas Jepang di Hindia Belanda sudah terbentuk sejak tahun 1620-an.VOC bahkan menunjuk seorang Kapitan Jepang (Kapitein der Japanner) untuk memimpin komunitas Jepang di Hindia Belanda. 

Pada tahun 1623 tercatat ada sekitar 130 orang Jepang yang  bermukim di Batavia, tetapi jumlah ini lalu berkurang perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Banyak diantara mereka yang memeluk agama Kristen dan lalu menggunakan nama-nama Barat, seperti halnya orang-orang Mardijkers, yaitu para budak dari Malabar dan Koromandel di India yang dibebaskan dan memeluk agama Kristen lalu menggunakan nama-nama Eropa/Barat. (Lohanda, 2007)

Pemukim warga Jepang umumnya berniaga dan bergerak dalam hal sewa menyewa rumah yang mendatangkan keuntungan. Sebagai bekas pegawai VOC dan memeluk agama Kristen, mereka bebas tinggal di pemukiman orang Eropa. Gaya hidup merekapun mirip dengan orang Eropa. Seringkali terjadi perkawinan antara pemukim Jepang dengan orang Eropa terutama Belanda. 

Jumlah mereka kemudian mengalami penurunan semenjak Shogun Tokogawa mengeluarkan peraturan pada tahun 1635 yang menutup Jepang dari hubungan luar. Kebijakan ini dikenal dengan nama Politik Isolasi. Setahun kemudian dikeluarkan larangan untuk orang Jepang yang bermukim di luar negeri untuk boleh pulang kembali ke tanah airnya di Jepang.

Namun di akhir abad 19 baru ada lagi warga Jepang yang datang dan bermukim di Jawa.Hal ini terjadi karena adanya perjanjian dagang antara Jepang dan Belanda pada tahun 1835. Orang-orang Jepang ini kemudian banyak tersebar dan menetap di wilayah Jawa Timur. (Lohanda, 2007)

Pada akhir abad 19 status orang-orang Jepang di Hindia Belanda mengalami peningkatan. Hal itu disebabkan pada tahun 1899 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang menyamakan status orang-orang Jepang dengan orang Eropa. Hal ini menurut pemerintah Belanda disebabkan Jepang pada saat itu sudah memiliki posisi yang kuat dan telah melakukan modernisasi sejak Restorasi Meiji tahun 1868

Orang-orang India disebut Belanda dengan sebutan orang Moor. Mereka pada umumnya berasal dari Kalinga, yang terletak di pantai Koromandel sebelah selatan.Mereka datang ke Batavia terbawa oleh arus perdagangan yang sudah lama mereka jalani. Di kepulauan Nusantara, mereka menjalin hubungan dagang dengan Banten, Aceh dan Makasar.Umumnya mereka tinggal di kawasan Pekojan.

Kapitan Moor yang pertama kali diangkat pada tahun 1753 yang dapat meningkatkan pamor warga Moor di mata penduduk Batavia. Sampai tahun 1910-an masih tercatat adanya  jabatan kepala warga Moor dan Bengali di Residen Batavia.

Pada tahun 1917 nama kepala orang Moor dan Bengali sudah tidak lagi tercantum dalam daftar birokrasi pemerintahan kota Batavia, sehingga disimpulkan bahwa orang-orang Moor ini sudah terintegrasi ke dalam kelompok warga Arab.

Selain orang Moor, Belanda menyebut ada lagi orang yang dikategorikan sebagai orang India, yaitu orang Orang Bombay,orang Keling dan orang Sikh.Orang Bombay (Brit-Indiers)  banyak tinggal di Pasar Baru dan berprofesi sebagai pedgaang tekstil dan sebagai penjahit pakaian.

Pada akhir abad ke-19 tercatat jumlah penduduk Arab di Batavia meningkat mencapai angka ribuan, yaitu 1.448 orang pada 1885 dan 2.245 orang di tahun 1900.Mereka umumnya datang dari wilayah Hadramaut, Yaman Selatan, baik untuk tujuan perdagangan maupun untuk kegiatan keagamaan dan penyebaran Islam. 

Pada sensus tahun 1930 tercatat ada sekitar 5.231 orang Arab di seluruh Batavia. Ini artinya sekitar 7 % dari seluruh warga Arab yang berdiam di koloni Hindia Belanda. Sebagaimana warga non Eropa lainnya, orang Arab lebih banyak bergelut di bidang usaha perdagangan, seperti pedagang atau pemberi hutang. Komoditi yang mereka perdagangkan umumnya adalah tekstil, batu permata,wangi-wangi dan pelalatan rumah tangga. Orang Arab juga menguasai sejumlah tanah partikelir di sekitar Ommelanden dengan luas keseluruhannya 50 kilometer persegi.

Kalangan keturunan Arab sudah lama berasimilasi dengan penduduk pribumi, bahkan mereka juga sudah dianggap sebagai bagian dari masyarakat pribumi itu sendiri. Di sejumlah tempat di Hindia Belanda misalkan, kalangan keturunan Arab bahkan menjadi raja di wilayah tersebut seperti di Pontianak dan kesultanan Siak di Riau. 

Di Pontianak, keluarga kesultanan Pontianak memakai nama keluarga Al Qadri, sedangkan di Kesultanan Riau memakai nama keluarga bin Shahab, dua nama yang tidak disanksikan kearabannya. Adanya kesultanan yang dipimpin oleh kalangan keturunan Arab tersebut menunjukkan bahwa kalangan pribumi sudah dapat menerima kalangan keturunan Arab sebagai penguasa mereka.

Contoh lain mengenai asimilasi tersebut  juga terdapat di Sumatera, Kalimantan dan wilayah lainnya. Di Pariaman, di kawasan Pantai Barat Sumatera, terdapat satu cabang keluarga Djamal-al-Lail yang dikenal sebagai keturunan Arab karena orang pribumi masih menyebut mereka denagn gelar Sidi. Di Kerajaan Jambi, keturunan keluarga Baraqkbah dan keluarga al-Djufri hidup seperti orang pribumi dengan gelar Melayu. Demikian pula di daerah Aceh keadaan keturunan keluarga Bafadl dan Djamalullail.

Politik kolonial terhadap keturunan Arab di Hindia Belanda dilakukan sebagaimana politik kolonial terhadap kalangan Tionghoa. Mereka dikategorikan sebagai kalangan Timur Asing  (Vreemde Oosterlingen) yang berbeda secara hukum dan perdata dengan kalanagan pribumi lainnya. 

Politik kolonial ini dilakukan dalam rangka mencegah adanya asimilasi antara kalangan keturunan Arab dengan pribumi Indonesia. Pemerintah kolonial mengharuskan orang-orang Arab untuk tinggal di kampung Arab seperti Pekojan dan Krukut. Belanda juga mengenakan kewajiban Passenstelsel bagi mereka.Bila mereka hendak pergi ke daerah lain seperti Jatinegara, mereka diharuskan memiliki surat jalan/Pas. 

Pada waktu belakangan, warga Arab yang kaya biasanya tidak lagi tinggal di Pekojan yang sumpek dan padat penduduknya.Mereka memilih untuk tinggal di Tanah Abang, Petamburan, Krukut, Sawah Besar, Jatinegara,Cawang, dan Tanah Tinggi. Di kawasan itu mereka menjual berbagai komoditas seperti minyak wangi, madu, korma dan Ma`jun.

Walaupun pemerintah sudah mengadakan sekolah-sekolah sesuai dengan prinsip Politik Etis, namun kalangan keturunan Arab di Hindia Belanda cenderung menolak menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah Belanda tersebut, baik di sekolah khusus untuk anak Belanda, maupun yang disediakan untuk anak pribumi. Hal ini disebabkan  sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Belanda dianggap sebagai sekolah Kristen dan diajarkan pendidikan Barat yang dinilai dapat merusak agama anak-anak mereka.Kalangan keturunan Arab lebih suka menyekolahkan anak-anak mereka ke pesantren karena dapat menjauhkan anak-anak mereka dari pengaruh Barat.

Menurut Alwi Shahab, sejak abad 19 dan awal abad ke-20 sudah terdapat banyak orang Yahudi di Hindia Belanda.Kalangan Yahudi umumnya berprofesi di bidang perdagangan. Kalangan Yahudi umumnya merupakan pengusaha yang tangguh  dan banyak meraih sukses dalam usahanya di Hindia Belanda.Kegiatan usaha mereka antara lain bergerak di bidang usaha jual-beli permata,emas, intan,perak,arloji,kaca mata dan berbagai komoditas lainnya.Mereka memiliki sejumlah totok di Risjwijk dan Noordwijk dan sejumlah pertokoan lainnya.

Jumlah orang Yahudi saat itu, yaitu antara tahun 1930-1940-an diperkirakan lebih dari ratusan orang. Mereka banyak berdatangan terutama untuk menghindari terror Nazi-Hitler di Eropa.

Orang-orang Yahudi umumnya pandai berbahasa Arab. Karena berbicara dalam Bahasa Arab, mereka seringkali dianggap sebagai keturunan Arab. Diantara orang-orang Yahudi pada masa kolonial cukup banyak yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan, misalnya sebagai Residen dan asisten residen Belanda.Posisi ini banyak terdapat pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal yang terakhir, yaitu Tjarda.

Kalangan Yahudi memiliki persatuan yang kuat. Mereka selalu mengadakan kegiatan ritual di hari sabtu/Sabat yang dianggap sebagai hari beribadah untuk orang-orang Yahudi.Kegiatan ritual orang-orang Yahudi kala itu dilakukan di sekitar wilayah Mangga Besar, Jakarta Barat, di mana ketika ritual itu dilaksanakan, mereka mengundang imam Yahudi (Rabbi) untuk berceramah dan membacakan “Jabur” (Zabur), terutama pada hari raya Yaum Zikur (Yom Kippur), yang dianggap hari raya utama bagi orang-orang Yahudi.(Alwi Shahab, 2002)

Hindia Belanda sejak dahulu diwarnai dengan adanya keberagaman etnis atau suku bangsa. Ketika VOC menguasai Batavia, di situ dibangun sejumlah pemukinan yang didasarkan atas perbedaan etnis seperti kampung Ambon, kampung Bugis,kampung Bandan untuk orang-orang Banda, kampung Makasar, kampung Melayu, kampung Jawa,kampung Cina (pecinan) dna kampung Arab (pekojan/krukut).

Pada abad 17-18 M, VOC tidak dapat membedakan antara orang Jawa, Banten atau daerah lain yang datang ke Batavia. Oleh karena itu VOC kemudian menyamaratakan mereka dengan menyebutnya dengan istilah “Javanen”.Pada 6 Agustus 1640 VOC melarang Javanen tinggal di Batavia. Mereka bahkan dilarang masuk ke areal kastil, kecuali didampingi seorang pejabat yang mengurus izin masuk. Larangan tersebut dikeluarkan demi alasan keamanan kota. Selain itu mereka juga ditempatkan di luar tembok kota /Ommlanden.

Interaksi antara orang Belanda dan orang Jawa menghasilkan stereotip diantara keduanya. Orang-orang Belanda sendiri menganggap orang Jawa sebagai anggota “penduduk terhalus di bumi”, yang memiliki sifat tenang, halus,dan lembut, sehingga orang Belanda juga menjadikan orang Jawa sebagai objek yang ideal bagi penguasa kolonial.

Keberadaan orang-orang Bali di Batavia awalnya adalah sebagai budak. Para budak ini didatangkan ke Batavia seiring dengan penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh VOC. Jumlah budak yang berasal dari Bali ini paling besar dan paling dominan dibandingkan dengan dari daerah lainnya.Dalam tahun 1683 saja jumlah masyarakat Bali yang tinggal di Batavia berjumlah 14.250 orang, sedangkan penduduk Batavia saat itu berjumlah 47.217 orang.

Diantara etnik Bali itu, hanya 981 orang  saja yang memiliki kedudukan sebagai orang merdeka,selebihnya, 13.378 orang adalah para budak belian.Walaupun demikian, ada juga orang Bali yang datang ke Batavia sebagai anggota keluarga,pembantu atau serdadu.

Salah satu orang Bali yang terkenal adalah Untung Suropati.Untung Suropati adalah bekas budak yang kemudian menjadi serdadu VOC. Untung Suropati terkenal karena pernah memimpin pemberontakan yang sempat mengguncang kekuasaan VOC di jawa dan berhasil menewaskan seorang komandan pasukan Kompeni, Kapten Francois Tack pada 7 Februari 1686.

Masyarakat Bali awal mulanya ditempatkan oleh VOC di daerah Angke, setelah dipindahkan dari Kasteel (benteng) di Sunda Kelapa.Setelah itu, orang-orang Bali kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Batavia, bahkan sampai pinggiran kota.

Pengaruh budaya Bali cukup banyak mewarnai kebudayaaan Batavia sampai sekarang, misalnya kosa kata Bali banyak digunakan dalam pergaulan sehari-hari, seperti istilah jidat untuk dahi,bianglala untuk pelangi, lantas untuk kemudian/lalu, menyungkur untuk tersungkur,Ngebet untuk menyatakan keinginan  yang sangat,iseng untuk tidak bersungguh-sungguh dan ribuan kata lainnya, termasuk kata-kata yang berakhiran in seperti tolongin,besarin,ngapain dan pulangin.(Alwi Shahab, 2002)

Ambon dan Maluku pada umumnya merupakan daerah yang paling lama bersentuhan dengan kolonialisme Barat sehingga memiliki kontak yang lebih lama dengan bangsa Eropa khususnya Belanda dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Selama masa perkembangan VOC, kongsi dagang tersebut banyak merekrut orang-orang Ambon untuk dijadikan serdadu, seperti Kapitan Jonker, yang terkenal pernah berdinas dalam ketentaraan VOC dan pada akhirnya berbalik dengan melakukan pemberontakan melawan VOC.

Rombongan pertama para prajurit  Ambon  yang tiba di Batavia terjadi pada tahun 1656.Pasukan kecil yang berjumlah sekitar 30 orang itu dipimpin oleh Kapitan Tahalele dari Pulau Luhu. Kapitan Jonker sendiri, yang berasal dari Manipa, pada tahun 1658 menggantikan posisi Tahalele sebagai pimpinan pasukan Ambon. Pasukan Ambon diberikan sebidang tanah oleh VOC di daerah Marunda.

Di kalangan orang-orang Ambon, percampuran dan asimilasi dengan orang-orang Eropa telah berjalan sedemikian jauh sehingga banyak di kalangan orang Ambon yang tidak mengidentikkan diri mereka sebagai inlanders atau golongan pribumi.(Wertheim,1999)

Terdapat banyak analisa terkait dengan keberadaan orang-orang Betawi di Batavia dan sekitarnya. Lance Castels misalnya, berpendapat bahwa orang-orang Betawi pada mulanya berasal dari kalangan budak yang didatangkan ke Batavia sejak zaman kekuasaan VOC, terutama yang berasal dari Bali. Castles berargumentasi dengan data bahwa sampai dengan abad 18, jumlah budak yang ada di kota Batavia lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk bebas. Hal ini dibuktikan dengan adanya dialek berakhiran in, akhiran yang sering diucapkan orang-orang Bali yang kini menjadi Bahasa gaul di Betawi. 

Selain budaya Cina, orang Betawi banyak menikah dengan etnis Arab, karena dipandang lebih terhormat karena faktor agama.

Sedangkan teori lain berpendapat bahwa etnis Betawi terbentuk dari hasil percampuran berbagai macam etnis yang menghuni kota Batavia pada abad ke-17 dan 18. Pandangan Castles bahwa perbudakan menjadi salah satu unsur pembentuk etnis Batavia ditolak olah sejumlah kalangan. Mereka yang menolak beranggapan bahwa etnis Betawi sudah ada jauh sebelum VOC berkuasa di Batavia.

Terkait dengan latar belakang munculnya orang Betawi ini Bernard H.M.Vlekke mencatat bahwa mereka berasal dari orang-orang Jawa yang dikirim oleh Sultan Agung selaku penguasa Mataram. Sebelum invasi Matarm ke Batavia tahun 1628-1629, dapat dikatakan tidak ada orang Jawa di Batavia. 

Ketika itu di Batavia terdapat orang Bali, Bugis, Makasar, Melayu dan lain-lain, tetapi hampir tidak ada orang Jawa di dalamnya. Orang Jawa yang datang ke Batavia saat itu kemudian berbaur dengan imigran lainnya yang sudah ada sebelumnya kemudian membentuk sebuah kelompok atau golongan sosial yang baru. 

Golongan sosial baru tersebut berbeda dengan orang Sunda di Barat Pulau Jawa dan juga berbeda dengan orang Jawa di timur dan mereka menggunakan Bahasa Melayu pasar sebagai Bahasa ibu mereka. Jumlah mereka kemudian berkembang pesat, dari sekitar beberapa ribu di akhir abad ke017 hingga berjumlah satu juta pada tahun 1940. (Vlekke,2008)

Orang Betawi dalam hal keagamaan menurut Lance Castles  tidak terlalu menjalankan agama Islam seutuhnya, tetapi mereka secara kuat  mengasosiasikan diri sebagai Orang Selam (Muslim). Islam di mata orang Betawi, dan kalangan etnis pribumi lainnya memberikan kenyamanan kepada penduduk mayoritas yang telah menerima kenyataan sebagai kelas sosial terbawah dalam jenjang sosial kolonial. 

Langgar bagi orang Betawi berperan sebagai lingkungan persaudaraan untuk meningkatkan ketidaksukaan mereka terhadap upaya-upaya untuk mencapai status Eropa dan kebencian terhadap orang Cina, yang pada tahun 1935 telah menguasai 40 % tanah partikelir.

Dalam bidang pendidikan, orang Betawi pada umumnya tidak mengenyam pendidikan yang memadai. Orang Betawi takut akan pendidikan Barat karena mereka menganggapnya sebagai tahap pertama dalam Kristenisasi, dan karena itu mereka tidak mau mengikutinya.

Keterbelakangan orang-orang Betawi mungkin juga berhubungan dengan asal usul mereka dan karakter pemerintahan Belanda di wilayah Batavia yang berlangsung lama dan secara langsung. Dalam waktu yang lama, ornag Belanda memegang jabatan hingga ke tingkat Scout atau sheriff, dan tidak ada bupati pribumi. 

Ketika jabatan bupati diangkat pada abad ke-20, jabatan ini diisi oleh orang-orang yang berasal dari kalangan non-Betawi. Sehingga dengan demikian tidak ada unsur-unsur elit Betawi di atas level demang atau wijkmeester (lurah). Suku bangsa Betawi mulai muncul dalam suatu lingkungan dimana ketika semua peran elite yang lebih tinggi sudah disediakan untuk ras lainnya.

Ridwan Saidi dalam bukunya Babad Tanah Betawi memiliki

 punya pendapat lain tentang asal-usul masyarakat Betawi ini. 

Menurutnya, orang-orang Betawi sudah ada sejak zaman prasejarah. Ketika itu mereka disebut sebagai proto Betawi, atau cikal-bakal orang Betawi. Ridwan Saidi juga membantah Lance Castles yang menyebutkan orang Betawi sebagai keturunan budak. Menurutnya, orang Betawi merupakan keturunan dari hasil percampuran etnis yang sudah berlangsung selama berabad sebelumnya.Ridawan Saidi juga  membantah bahwa orang Betawi memeluk Islam sesudah dibebaskan dari perbudakan.

 pada budak ini  pertama kali didatangkan oleh Jan Pieter Zoen Coen dari Malaka, Malabar di India. Budak-budak yang datang dari anak benua India sebelum datang ke Batavia sudah memiliki identitas campuran dan menggunakan Bahasa Portugis sebagai lingua franca.

Mereka kadang kala disebut Toepassen. Seiring dengan ekspansi yang dilakukan oleh VOC ke berbagai daerah maka pengiriman budak mengalir ke Batavia seperti dari wilayah Timor, Flores, Sumbawa dan Kalimantan Selatan. Tetapi pengiriman budak yang paling banyak berasal dari Bali dan Sulawesi Selatan yang banyak diminta oleh orang-orang Eropa dan Tionghoa. Yang menarik adalah dari sekian banyak budak yang ada, tidak ada satupun budak yang berasal dari suku Jawa. Para budak yang berasal dari Bali sebagian besar adalah perempuan.

Saking banyaknya para budak yang dikirim dari berbagai daerah di luar Batavia, jumlah para budak tersebut melebihi jumlah penduduk bebas di Batavia.  Para budak ini umumnya dipekerjakan untuk urusan rumah tangga hingga urusan proyek pembangunan pemerintah kolonial. Para budak ini banyak diperdagangkan di kawasan Manggarai, sumba, Nusa Tenggara Timur, yang juga merupakan salah satu tempat asal para budak tersebut.(Alwi Shahab, 2002)

golongan budak yang sudah dimerdekakan

Golongan ini disebut dengan sebutan Mardijkers, yaitu bekas budak yang dimerdekaan. Istilah Mardijker berasal dari kata sansekerta, mahardika, yang secara harfiah berarti “bebas dari perbudakan”. Istilah tersebut di Batavia dan Maluku digunakan untuk menunjuk sekelompok masyarakat yang secara etnis sangat beragam, yang dibentuk sekaligus oleh keturunan bekas budak yang berasal dari Angola atau India, dan keturunan dari perkawinan campuran Portugis dan orang Eropa lainnya sepanjang abad ke-16. (Lombard,2008)

Para ,Mardijker ini kebanyakan dari mereka berasal dari Pantai Koromandel dan Bengal, India. Mardijker menggunakan Bahasa Kreol Portugis untuk berkomunikasi. Sebagian dari mereka bermukim di dalam kota dan sebagian lainnya memilih untuk bertempat tinggal di Ommenlanden di daerah sekitar benteng Rijswijk, di daerah Angke dan di Tugu, selatan Tanjung Priok.

Orang-orang Mardijker pada akhir abad ke 18 dikenal sebagai “Kristen pribumi” atau “orang Portugis”, walaupun mereka adalah orang India dan bukan penduduk asli Indonesia, dan meskipun mereka menggunakan nama dan Bahasa Portugis, sedikit diantara mereka yang merupakan keturunan orang Portugis.Beberapa diantara mereka kemungkinan terserap ke dalam golongan Indo-Eropa, sednagkan sebagian lainnya menjadi muslim dan masuk ke dalam komunitas Betawi.(Castles, 2007)

Contoh lain dari kalangan budak yang sudah dimerdekaan ini adalah apa yang disebut sebagai Belanda Depok. Mereka sebelumnya adalah budak milik tuan tanah Eropa yang bernama Cornelis Chastelein, yaitu warga Prancis dan seorang Hugenot (Protestan fanatik).

Chastelein kemudian membebaskan para budaknya dengan syarat mereka harus masuk ke dlaam agama Kristen Protestan. Ia akhirnya membebaskan budak-budaknya pada 13 Maret 1714 dengan memberikan kepada setiap keluarganya 16 ringgit dan mewariskan 300 ekor kerbau, seperangkat gamelan,dan persenjataan kepada para budaknya untuk dapat mempertahankan diri jikalau ada ancaman yang datang.

-Alwi Shahab, Betawi, Queen Of The East, Jakarta : Republika,2002

-Bernard.H.M.Vlekke, Nusantara ; Sejarah Indonesia,Jakarta ; Gramedia,2008

-Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya I, Jakarta : Gramedia, 2008

-Hamid Algadri, C.Snouck Hurgronje, Politik Belanda Terhadap Islam Dan Keturunan Arab, Jakarta : Sinar Harapan, 1984

-Lance Castlles, Profil Etnik Jakarta, Depok : Masup Jakarta, 2007

-Leonard Blusse, Persekutuan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC, Yogyakarta : LKiS, 2004

-Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia,Depok : Masup Jakarta, 2007

-Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan Di Jawa,Depok : Komunitas Bambu, 2009

-Peter Carey, Orang Cina,Bandar Tol,Candu Dan Perang Jawa,Perubahan Persepsi Tentang Cina, 1755-1825, Depok : Komunitas Bambu, 2008

-Ridwan Saidi, Babad Tanah Betawi, Jakarta : Gria Media,2002

-W.F.Wertheim,Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial,Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA