Kejujuran harus di tanamkan kepada seseorang semenjak ....

Anak tumbuh menjadi pribadi yang menerapkan nilai-nilai kejujuran, adalah salah satu tantangan terbesar orangtua. Sikap jujur sebaiknya ditanamkan dalam diri anak dengan sungguh-sungguh sejak awal. Manfaat sifat jujur akan dirasakan oleh si Kecil saat ia tumbuh besar. Dengan kejujuran, si Kecil akan terbiasa menyampaikan informasi sesuai kenyataan.

Meskipun begitu, mengajarkan anak untuk berkata jujur, kenyataannya tidak semudah mengajarkan cara berhitung dan membaca pada anak. Hal ini dikarenakan, sifat jujur merupakan kecerdasan emosional yang sulit ditunjukkan wujud konkretnya. Orangtua hanya bisa memberikan deskripsi tentang manfaat bersikap jujur, yang diharapkan bisa dimaknai dengan baik oleh si Kecil. Lalu, kapan sebaiknya orangtua mulai mengajarkan pada anak untuk bersikap jujur? Yuk, telusuri penjelasan berikut ini!

Para ahli beranggapan, usia yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran  adalah sejak si Kecil berusia 3-4 tahun. Pada usia ini, si Kecil sudah bisa membedakan hal-hal yang menyiratkan kebenaran dan kebohongan. Penulis buku Positive Discipline, Jane Nelsen mengungkapkan, “Pada usia tersebut, anak sudah rentan sekali melakukan kebohongan. Hal ini dikarenakan karena ia sering merasa takut akan dihukum jika ia ketahuan  melakukan sebuah kesalahan. Ia juga takut mengecewakan orangtuanya jika hal-hal yang diharapkan terjadi pada si Kecil tidak tercapai atau tidak terpenuhi.”

Meskipun, di sisi lain, anak berusia 3-4 tahun belum memiliki pemahaman yang cukup bahwa berbohong adalah perilaku yang tidak baik. Karenanya , Mums sudah harus mulai waspada dan lebih mencermati kecenderungan perilaku si Kecil pada usia ini. Sedapat mungkin bentuklah komunikasi yang memberi ruang pada si Kecil untuk mengutarakan isi hatinya. Jangan sampai, si Kecil pelan-pelan terbiasa berbohong dari Mums, agar ia tidak dimarahi dan terhindar dari hukuman.

Jadi bila Mums ingin menanamkan pola komunikasi yang jujur pada anak, mulailah dari menciptakan lingkungan yang membuat si Kecil nyaman dan aman untuk mengatakan informasi yang sebenarnya, sekalipun hal tersebut sebuah kesalahan. Kalaupun si Kecil melakukan kesalahan, berikan si Kecil tindakan konsekuensi yang efektif. Namun, bijaklah dalam menunjukkan caranya. Jangan sampai cara yang Mums tunjukkan justru mengikis prinsip kejujuran dari dalam diri si Kecil.

Perhatikan tips berikut ini, bila Mums ingin si Kecil tumbuh menjadi pribadi yang jujur dalam setiap kondisi.

1. Jadilah teladan terbaik.

Cara terbaik untuk menanamkan nilai kejujuran pada diri buah hati tentu saja dimulai dari diri orangtuanya sendiri. Bagaimanapun, orangtua merupakan contoh yang paling dekat dan nyata untuk si Kecil jadikan inspirasi. Komitmen Mums untuk mempraktikkan kejujuran dalam keseharian, sangat si Kecil butuhkan untuk ia tiru sebagai pedoman.

2. Tanamkan dalam diri si Kecil bahwa berbohong tidak pernah layak menjadi solusi.

Saat si Kecil melakukan kesalahan yang ia lakukan secara tidak sengaja, momen ini bisa Mums jadikan trik untuk menanamkan makna kejujuran dalam diri si Kecil. Misalnya, si Kecil tidak sengaja memecahkan barang berharga milik Mums. Sikapi situasi ini dengan menanyakan siapa yang memecahkan serta bagaimana kejadiannya sehingga benda tersebut bisa pecah. Bila si Kecil tampak ragu dan mengarang alasan yang tidak logis, katakan padanya bahwa Mums bisa tahu saat ia menutupi sesuatu.

Trik menciptakan alasan untuk menutupi inti permasalahan sebenarnya, bukanlah kebiasaan yang ingin Mums tanamkan padanya. Bila si Kecil masih terlihat takut mengakui fakta sebenarnya, ungkapkan bahwa barang yang pecah bukanlah masalah paling penting, melainkan kejujuran yang Mums ingin dengar dari si Kecil. Bujukan persuasif ini, pada akhirnya akan membuat si Kecil yakin untuk berkata jujur. Apalagi, jika Mums bersedia mempertimbangkan konsekuensinya. Dengan demikian, si Kecil akan sadar bahwa dirinya selalu lebih dihargai, berkat terbiasa jujur.

3. Hindari melabeli anak dengan julukan pembohong.

Hindari menggunakan julukan pembohong yang hanya akan membuat si Kecil merasa semakin tersudut, apalagi jika kata tersebut diucapkan saat Mums berada di depan orang lain. Panggilan tersebut dapat tertanam dalam benak si Kecil dan menciptakan konotasi buruk sehingga memicunya untuk jadi sosok yang semakin tertutup. Pilihan kata yang keliru, dapat menimbulkan reaksi tak terduga pula dalam diri si Kecil. Inilah sebabnya, akan lebih bijak bila Mums menggunakan kata-kata halus yang tidak menghakimi untuk memperbaiki sikap berbohong dalam diri si Kecil. Bagaimanapun Mums tidak menyukainya, tetap  gunakanlah kata-kata yang tepat agar si Kecil mau bersikap terbuka. Dengan demikian, si Kecil berkesempatan lebih besar untuk berkata jujur pada Mums.

4. Temukan alasan di balik aksi berbohong yang dilakukan oleh si Kecil.

Selidiki penyebab si Kecil berbohong. Jika Mums sudah mendapatkan alasannya, maka peringatkan si Kecil bahwa bersikap bohong bukanlah perbuatan baik. Perilaku ini bukanlah hasil yang Mums harapkan dari pola pengasuhan si Kecil. Biarkan si Kecil memahami bahwa bersikap jujur jauh lebih penting daripada berbohong demi menyembunyikan sesuatu hal yang berisiko merusak kepercayaan serta kebaikan yang telah diraih.

5. Pujilah si Kecil setiapkali ia bersikap jujur.

Berikanlah pujian pada si Kecil bila ia tampak bersikap jujur di segala situasi. Dengan memberikan pujian atas sikap yang telah dia lakukan, akan membuat si Kecil menghargai senangnya bersikap jujur.

6. Jujur bukan berarti berucap kasar yang menyinggung perasaan.

Satu hal yang tidak kalah penting, ajarkan pada si Kecil untuk tetap mengedepankan sikap hormat dan santun saat berkata jujur pada orang lain. Jadi, meskipun berkata jujur merupakan keharusan, jangan lupa untuk mengajarkan pada si Kecil, bahwa perkataan jujur tidak boleh sampai menyakiti hati orang lain. Siapapun paham bahwa kejujuran terkadang menyakitkan.  Namun, berikanlah pengertian pada si Kecil bahwa berkata kasar dan beropini jujur tentang suatu kondisi adalah dua hal yang sangat jauh berbeda. Ajarkan si Kecil untuk menggunakan kata-kata positif yang dapat diterima oleh semua orang, saat si Kecil ingin menolak sesuatu yang tidak dia sukai.

Misalnya, ketika Mums diajak bertamu ke rumah kerabat. Lalu, kerabat yang Mums hormati tersebut menawarkan makanan yang tidak si Kecil sukai. Lalu, bagaimana cara menyikapinya? Ajarkan pada si Kecil untuk menyampaikan penolakan yang sopan, seperti “ Terima kasih, Tante. Kalau boleh, aku mau makan kue saja.” Ini merupakan cara antisipasi yang lebih bijak daripada membiarkan si Kecil terlalu jujur mengungkapkan kata-kata kasar seperti “Enggak mau, ah! Rotinya enggak enak! Aku jadi mau muntah.”

Mengajarkan si Kecil untuk berkata jujur sesuai kondisi, memang hal yang gampang-gampang susah ya, Mums! Namun, bukan berarti kebiasaan baik ini tidka bisa ditanamkan, lho. Cukup ingatkan si Kecil bahwa bersikap jujur bukan berarti membuatnya abai untuk menghargai perasaan orang lain. Berikan contoh agar si Kecil mengerti bahwa bersikap jujur jangan sampai menempatkannnya pada permasalahan baru akibat berkata kasar saat mengungkapkan opini. (TA/AY)

Tantangan Hari ke-51

#Tantangangurusiana

Bagaimanakah perasaan orangtua ketika mengetahui anaknya tidak jujur ?. Apakah kemudian biasa saja, memarahi si anak atau mencari penyebab mengapa anak tidak jujur?. Ketika si anak dengan santainya berkata tidak jujur dan tidak merasa bersalah sama sekali, maka tugas sebagai orangtua tidak lantas hanya menasehati semata tetapi ada pendekatan kepada si anak untuk mengetahui alasan dia tidak jujur. Bahkan perilaku tidak jujur pun tidak hanya bisa terjadi di rumah, tetapi juga di sekolah dan hal seperti ini bukan hanya sekali atau dua kali saya alami mengingat peran saya sebagai guru BK. Yups, ketika dalam proses penanganan anak terutama anak yang terkena kasus terkadang mereka memberikan segudang alasan agar guru menjadi lebih empati kepada mereka.

Lantas apakah karakter jujur ini mulai pudar di kalangan generasi Z ini ?. Karakter dasar yang seharusnya sudah melekat di setiap diri seseorang sedari sejak mereka kecil sehingga akan timbul rasa bersalah ketika mencoba untuk berbohong. Mungkin kita mencoba untuk memahami dahulu konsep dasar kejujuran. Jujur sendiri adalah suatu sikap yang lurus hati, menyatakan sebenar-benarnya, tidak berbohong atau berkata hal-hal yang menyalahi apa yang sedang terjadi (fakta). Artinya, ada kesesuaian antara niat dengan ucapan dan perbuatan dan juga memberikan informasi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Perilaku jujur sebenarnya sudah harus ditanamkan di lingkungan keluarga yang menjadi pendidikan pertama si anak dan juga didukung dengan lingkungan pendidikan di sekolah. Hal ini agar anak memahami semenjak dini bahwa perilaku jujur merupakan bagian penting yang harus dimiliki oleh seseorang agar suatu saat nanti terhindar dari perbuatan menyimpang di masa depannya. Misalnya ketika ulangan, si anak akan berusaha untuk belajar semaksimal mungkin agar bisa menyelesaikan ulangan dengan baik bukan kemudian menghalalkan segala cara misalnya menyiapkan contekan. Jika perilaku tidak jujur dipupuk hingga anak dewasa maka, sampai akan jadi suatu kebiasaan yang pastinya akan merugikan di masa yang akan datang terutama pada saat mereka terjun ke dunia kerja. Tak jarang perusahaan akan lebih memilih karyawan yang memiliki karakter yang jujur dibandingkan yang memiliki kemampuan namun sering berbuat curang atau tidak jujur yang tentunya akan merugikan perusahaan.

Tulisan hari ini sebenarnya merupakan curahan atas kegalauan saya sebagai pendidik yang merasa sangat khawatir dengan karakter anak zaman now terutama kejujuran. Bahkan ketika ulangan pun saya harus menyiapkan seribu jurus agar anak tidak memiliki peluang untuk berbuat tidak jujur atau curang. Saya pun berpikir seharusnya ketika ulangan, mereka tidak perlu diawasi oleh guru karena jika mereka punya karakter jujur seharusnya ada rasa tidak nyaman ketika melakukan perbuatan tidak jujur (menyontek).

Nah, bagaimana jika ada anak yang tidak jujur namun tidak ada penyesalan bahwa dia sudah berbuat hal yang tidak jujur ?. Yups, baru-baru ini saya mengalaminya ketika pada suatu hari ada anak yang meminta izin kepada saya kalau dia tidak masuk karena sakit dan surat izinnya akan menyusul. Saya pun percaya bahwa si anak sakit dan saya pun menunggu surat izin sakit yang tentu ada tandatangan orangtua sehingga saya lebih yakin lagi bahwa si anak memang sakit. Namun, apa yang terjadi ?, ketika saya sedang berada di luar sekolah untuk suatu keperluan, saya melihat anak tersebut sedang bersantai dengan teman-temannya yang bukan satu sekolah di tempat makan dengan raut muka gembira dan tidak ada raut muka seperti orang yang sedang sakit. Sesekali mereka bercanda dan tertawa khas anak remaja zaman now yang lepas tanpa beban dan saya hanya memperhatikan dari jauh dan pastinya tidak akan menegur si anak karena harga diri anak biasanya akan jatuh ketika ditegur didepan orang ramai.

Sepanjang jalan, saya pun berpikir apakah selama ini materi bimbingan yang disampaikan ke anak hanya konsep dasar atau teori semata sehingga hanya terbatas menyentuh kognitifnya saja bukan afektifnya. Saya juga berpikir bahwa materi bimbingan yang diberikan mungkin seharusnya lebih mendalam membahas karakter-karakter dasar seperti jujur, peduli, suka menolong ataupun kemampuan untuk menghargai orang lain seperti yang pernah diajarkan sewaktu mereka sekolah dasar. Padahal seharusnya perilaku seperti itu sudah harus tertanam di diri mereka sedari kecil. Tetapi itulah mulianya tugas sebagai seorang pendidik yang bukan hanya membuat mereka yang awalnya tidak paham menjadi paham akan ilmu pengetahuan, namun juga memberikan pemahaman mengenai hal-hal yang baik yang harus mereka lakukan dan hal-hal yang tidak baik yang tidak boleh dilakukan. Tantangan guru zaman now memang luar biasa, untuk itu guru tetap harus selalu belajar tentang karakter anak zaman now.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA