Dimanakah kita dapat mengetahui berita tentang kapal kapal pada masa majapahit

Bapakit.id - Kapal Jung adalah sejenis kapal layar, yang banyak terdapat di perairan Asia Tenggara sampai ke pantai timur Afrika. Djong (juga disebut  jong atau jung) adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari Jawa, dan digunakan secara umum oleh pelaut Jawa dan Melayu. 

Djong digunakan terutama sebagai kapal penumpang dan kapal kargo, dapat mencapai Ghana atau bahkan Brazil di zaman kuno. Bobot muatan rata-rata adalah 4-500 ton, dengan kisaran 85-700 ton. Pada zaman Majapahit kapal jenis ini digunakan sebagai kapal perang, tetapi masih dominan sebagai kapal angkut.

Anthony Reid menyebutkan, istilah Jung dipakai pertama kali dalam catatan-catatan Rahib Odorico, John de Marignolli, dan Ibn Battuta pada abad ke 14. Asal usul kata “jung” menurut Manguin adalah dari bahasa Jawa sebagai sebutan kapal, hal ini dapat ditelusuri dalam sebuah prasasti Jawa kuno abad ke 9.

Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa.

Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. 

Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik - belakangan disebut sebagai "Kapal Borobudur".

Konstruksi perahu Nusantara sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi yang menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat (layar tanja) atau layar lateen dengan sekat bambu (layar jung). 

Kapal jung Jawa dibuat menggunakan kayu jati pada saat laporan ini (1512), pada waktu itu jung Cina masih menggunakan kayu lunak sebagai bahan utamanya. Lambung kapal Jawa dibentuk dengan menggabungkan papan ke lunas dan kemudian ke satu sama lain dengan semat kayu, tanpa menggunakan rangka (kecuali untuk penguat berikutnya), maupun baut atau paku besi. 

Papannya dilubangi oleh bor tangan dan dimasukkan pasak ke dalam papan-papan itu, tidak terlihat dari luar. Kapal itu juga sama-sama lancip pada kedua ujungnya, dan membawa dua kemudi yang mirip dayung dan layar lateen. 

Ini sangat berbeda dari kapal Cina, yang lambungnya diikat oleh tali dan paku besi ke rangka dan ke sekat yang membagi ruang kargo. Kapal Cina memiliki kemudi tunggal di buritan, dan (kecuali di Fujian dan Guangdong) mereka memiliki bagian bawah yang rata tanpa lunas. 

Jung Jawa yang pertama kali digambarkan oleh Portugis adalah sebuah kapal yang mereka tawan pada tahun 1511. Orang-orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal jung-jung raksasa tersebut. 

Dari Kerajaan Jawa datang kapal-kapal Jung raksasa ke kota Malaka. Bentuknya amat berbeda dibandingkan dengan kapal-kapal kita, terbuat dari kayu yang sangat tebal, sehingga apabila kayu ini menua maka papan-papan baru dapat dilapiskan kembali di atasnya.

Ukuran dan konstruksi jung Jawa membutuhkan keahlian dan material yang belum tentu terdapat di banyak tempat, oleh karena itu jung Jawa raksasa hanya di produksi di 2 tempat di sekitar Jawa. Tempat itu adalah di pantai utara Jawa, di sekitar Cirebon dan Rembang-Demak (di selat Muria yang memisahkan gunung Muria dengan pulau Jawa), dan juga di pesisir Selatan Kalimantan, terutama di Banjarmasin dan pulau-pulau sekitarnya. 

Tempat ini sama-sama memiliki hutan jati, tetapi galangan kapal di Kalimantan tetap mendatangkan kayu jati dari Jawa, sedangkan Kalimantan sendiri menjadi pemasok kayu ulin.  Pegu (sekarang Bago), yang merupakan pelabuhan besar pada abad ke-16, juga memproduksi jong, oleh orang Jawa yang menetap disana.

Buku abad ke-3 berjudul "Hal-Hal Aneh dari Selatan" (南州異物志) karya Wan Chen (萬震) mendeskripsikan sebuah kapal yang mampu membawa 700 orang bersama dengan lebih dari 10.000 "斛" kargo (menurut berbagai interpretasi, berarti 250-1000 ton). 

Kapal ini bukan berasal dari Cina, namun mereka berasal dari K'un-lun (berarti "kepulauan di bawah angin" atau "negeri Selatan"). Kapal-kapal yang disebut K'un-lun po (atau K'un-lun bo), yang besar lebih dari 50 meter panjangnya dan tingginya di atas air 4-7 meter. Dia menjelaskan desain kapal sebagai berikut:

 Keempat layar itu tidak menghadap ke depan secara langsung, tetapi diatur secara miring, dan diatur sedemikian rupa sehingga semuanya dapat diatur ke arah yang sama, untuk menerima angin dan mengarahkannya. Layar-layar yang berada di belakang angin paling banyak menerima tekanan angin, melewatkannya dari satu sisi ke sisi yang lain, sehingga layar dapat memanfaatkan kekuatan angin. 

Jika sedang badai, (para pelaut) mengurangi atau memperbesar permukaan layar sesuai dengan kondisi. Layar miring ini, yang memungkinkan layar untuk menerima angin dari satu dan lainnya, menghindarkan kecemasan yang terjadi ketika memiliki tiang tinggi. Dengan demikian kapal-kapal ini berlayar tanpa menghindari angin kencang dan ombak besar, dengan itu mereka dapat mencapai kecepatan tinggi. — Wan Chen, 

Pada 1178 M, petugas bea cukai Guangzhou, Zhou Qufei, menulis dalam Lingwai Daida tentang kapal-kapal negeri Selatan:

Kapal yang berlayar di laut Selatan (laut Natuna Utara) dan Selatannya lagi (Samudera Hindia) seperti rumah raksasa. Ketika layarnya mengembang mereka seperti awan besar di langit. Kemudi mereka panjangnya mencapai puluhan kaki. Sebuah kapal dapat membawa beberapa ratus orang, dan bekal beras untuk setahun. 

Babi diberi makan di dalamnya dan anggur difermentasikan saat berlayar. Tidak ada laporan dari orang yang masih hidup atau sudah meninggal, bahwa mereka tidak akan kembali ke daratan saat mereka sudah berlayar ke lautan yang biru. 

Pada 1322 M, rahib Odoric dari Pordenone melaporkan bahwa kapal Nusantara dari tipezunc[um] membawa sekitar 700 orang, baik pelaut maupun pedagang. Kerajaan Majapahit menggunakan jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. 

Tidak diketahui berapa tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi mereka dikelompokkan menjadi 5 armada. Jumlah terbesar jong yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 jong yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai. 

Setiap kapal berukuran panjang sekitar 70 meter, berat muatan sekitar 500 ton dan dapat membawa 600 orang. Kapal ini dipersenjatai meriam sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil. 

Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, Raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa menggunakan kapal-kapal jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno:Jong Sasanga Wagunan ring Tatarnagari tiniru). 

Kapal hibrida ini mencampurkan teknik China dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan buritan tumpul/datar (transom stern).

Niccolò da Conti dalam perjalanannya di Asia tahun 1419-1444, mendeskripsikan kapal yang jauh lebih besar dari kapal Eropa, yang mampu mencapai berat 2.000 ton, dengan lima layar dan tiang. Bagian bawah dibangun dengan tiga lapis papan, untuk menahan kekuatan badai. Kapal tersebut dibangun dengan kompartemen, sehingga jika satu bagian hancur, bagian lainnya tetap utuh untuk menyelesaikan pelayaran.

Gambaran tentang jung Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal usul jung-jung terbesar. Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis.

Disebutkan, jung Jawa memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot muatan jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis. Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobot muatannya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513.

Pada Januari 1513 Pati Unus mencoba mengejutkan Malaka, membawa sekitar 100 kapal dengan 5.000 tentara Jawa dari Jepara dan Palembang. Sekitar 30 dari mereka adalah jung besar seberat 350-600 ton (pengecualian untuk kapal utama Pati Unus), sisanya adalah kapal jenis lancaran,penjajap, dan kelulus. Kapal-kapal itu membawa banyak artileri yang dibuat di Jawa. 

Meskipun dikalahkan, Patih Unus berlayar pulang dan mendamparkan kapal perangnya sebagai monumen perjuangan melawan orang-orang yang disebutnya paling berani di dunia. Ini memenangkannya beberapa tahun kemudian dalam tahta Demak. Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, 22 Februari 1513, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang diarahkan Pate Unus, mengatakan:

 "Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa seribu orang tentara di kapal, dan Yang Mulia dapat mempercayaiku ... bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali. 

Kami menyerangnya dengan bombard, tetapi bahkan tembakan yang terbesar tidak menembusnya di bawah garis air, dan (tembakan) esfera (meriam besar Portugis) yang saya miliki di kapal saya berhasil masuk tetapi tidak tembus; kapal itu memiliki tiga lapisan logam, yang semuanya lebih dari satu koin tebalnya. Dan kapal itu benar-benar sangat mengerikan bahkan tidak ada orang yang pernah melihat sejenisnya. 

Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya, Yang Mulia mungkin pernah mendengar cerita di Malaka tentang Pati Unus, yang membuat armada ini untuk menjadi raja Malaka." — Fernao Peres de Andrade, Suma Oriental.

Ketika orang Portugis menguasai Malaka, mereka mendapat sebuah peta dari kapten Jawa, yang mana Albuquerque mengatakan:

 "... peta besar seorang Nahkoda Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, navigasi orang Cina dan Gom, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya saya orang Jawa yang bisa membaca dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, pulau Jawa dan Banda, tindakan seperiodenya, dari siapa pun sezamannya, dan tampaknya sangat mungkin bahwa apa yang dia katakan adalah benar..." — Alfonso de Albuquerque, Surat untuk raja Manuel I dari Portugal, April 1512.

Takjub akan kekuatan kapal ini, Albuquerque mempekerjakan 60 tukang kayu dan arsitek kapal Jawa untuk bekerja di Malaka. Setidaknya 1 jong dibawa ke Portugal, untuk digunakan sebagai kapal penjaga pantai di Sacavem dibawah perintah raja John III.

Giovanni da Empoli (pedagang Florentine) mengatakan bahwa di tanah Jawa, jung tidak berbeda kekuatannya dibanding benteng, karena ia memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. Mereka berlayar bersama dengan wanita, anak-anak, dan keluarga mereka, dan semua orang menjaga kamarnya sendiri.

Hanya saja jung Jawa raksasa ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dengan kapal-kapal portugis yang lebih ramping dan lincah. Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka. 

Tome Pires pada 1515 diberitahukan bahwa penguasa Kanton (sekarang Guangzhou) membuat hukum yang mewajibkan kapal asing berlabuh di sebuah pulau di tepi pantai. Dia bilang orang China membuat hukum tentang pelarangan masuknya kapal ke Kanton ini karena mereka takut akan orang Jawa dan Melayu, karena mereka yakin satu buah kapal jong milik Jawa atau Melayu bisa mengalahkan 20 kapal jung China. 

China mempunyai lebih dari 1000 jung, tetapi satu kapal jong berukuran 400 ton dapat menghancurkan Kanton, dan penghancuran ini akan membawa kerugian besar bagi China. Orang China takut jika kota itu dirampas dari mereka, karena Kanton adalah salah satu kota terkaya di China.

Pada 1574, ratu Kalinyamat dari Jepara menyerang Melaka Portugis dengan 300 kapal, yang meliputi 80 jong dengan tonase 400 ton dan 220 kelulus. Penyerangan dihentikan setelah perbekalan menipis dan Portugis berhasil membakar 30 jong. Perlu dicatat bahwa pada saat itu kapal-kapal Eropa telah berkembang menjadi galleon seberat 400-500 ton.

Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar.

Dalam kata pengantar antologi cerpen berjudul jung Jawa oleh Rendra Fatrisna Kurniawan yang diterbitkan Babel Publishing tahun 2009, disebutkan hilangnya tradisi maritim Jawa tersebut adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat. 

Serta, sikap represif Amangkurat I dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Amangkurat I memerintahkan agar pelabuhan ditutup dan kapal-kapal dihancurkan agar mencegah kota-kota pesisir menjadi kuat dan memberontak. Ini menghancurkan ekonomi Jawa dan kekuatan maritimnya yang dibangun sejak zaman Singhasari dan Majapahit, dan Mataram berubah menjadi negara agraris.

Hilangnya selat Muria juga menjadi faktor hilangnya Jung Jawa. Galangan kapal besar sepanjang Rembang-Demak menjadi "terdampar" di tengah daratan tanpa akses ke laut. Pada tahun 1657 Tumenggung Pati mengusulkan penggalian jalur air baru dari Demak ke Juwana, tetapi sepertinya tidak dilakukan. 

Ini membuktikan bahwa pada saat itu selat Muria sudah hilang atau sudah mengecil. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar dan tidak lagi memiliki galangan kapal besar. 

Ketika VOC mendapatkan pijakan di Jawa, mereka melarang penduduk setempat untuk membangun kapal dengan tonase lebih dari 50 ton, dan menugaskan pengawas Eropa ke setiap galangan kapal.

1. Nugroho, Irawan Djoko. 2011. "Majapahit Peradaban Maritim." Suluh Nuswantara 

2. Bakti.Reid, Anthony. 2012. "Anthony Reid and the Study of Southeast Asian Past." Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 

3. Manguin, Pierre-Yves. 1993. "Trading Ships of the South China Sea." Journal of the Economic and Social History of the Orient. 253-280.

4. Cartas de Afonso de Albuquerque, Volume 1, p. 64, April 1, 1512

5.  IbnBatutaTravel, Saudi Aramco world.

6. Majapahit Kerajaan Maritim. Suluh Nuswantara Bakti.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA