Berikut ini bukan merupakan ajaran yang disampaikan Nabi Zulkifli kepada kaumnya adalah

Nabi Zulkifli ‘alaihis salam hanya disebutkan secara singkat dalam Al Qur’an.

وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِدْرِيْسَ وَذَا الْكِفْلِۗ كُلٌّ مِّنَ الصّٰبِرِيْنَ

وَاَدْخَلْنٰهُمْ فِيْ رَحْمَتِنَاۗ اِنَّهُمْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Dan Ismail, Idris, serta Zulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang yang sabar. Dan Kami masukkan mereka ke dalam rahmat Kami. Sungguh, mereka termasuk orang-orang yang saleh.”

(QS. Al Anbiyaa’: 85–86)

وَاذْكُرْ اِسْمٰعِيْلَ وَالْيَسَعَ وَذَا الْكِفْلِ ۗوَكُلٌّ مِّنَ الْاَخْيَارِۗ

“Dan ingatlah Ismail, Ilyasa‘, serta Zulkifli. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.”

(QS. Shaad: 48)

Sedikitnya rujukan tentang Nabi Zulkifli, membuat para ulama menggunakan makna namanya sebagai metode untuk menggali kisahnya.

Nama Zulkifli (ذُو ٱلْكِفْل) terdiri atas kata Dzū (ذُو) yang berarti “pemilik dari”, dan kata Kifli (الكفل) yang dalam Kamus Almaany berarti “menjamin/menanggung”.

Dalam hadits, ada disebutkan kata Kifl (الْكِفْل), yaitu dalam hadits riwayat Tirmidzi (no. 2420 versi Aplikasi Lidwa, no. 2496 versi Maktabatu al Ma’arif Riyadh) dan hadits riwayat Ahmad no. 4517.

Namun, hadits ini bukan mengenai Nabi Zulkifli, melainkan menceritakan seorang Kifl dari Bani Israel yang tidak pernah menjaga diri dari dosa, tetapi kemudian bertaubat.

Kifl dalam hadits ini diartikan sebagai seorang yang menanggung atau menjamin, sehingga dimaknai sebagai seorang yang berprofesi sebagai tukang jaga (dalam aplikasi Lidwa).

Berdasarkan makna nama Zulkifli, setidaknya ada tiga pendapat perihal Nabi Zulkifli.

Pertama, Zulkifli dimaknai sebagai “seorang yang mampu menanggung”.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat Ibnu Jarir at-Thabari bahwa ketika Nabi Ilyasa’ berusia lanjut, dia mencari penggantinya untuk memimpin kaumnya. Orang yang akan menggantikannya harus memenuhi tiga syarat, yaitu selalu puasa siang hari, shalat malam, dan tidak boleh marah.

Ada seorang yang sanggup memenuhi persyaratan tersebut, sehingga orang tersebut pun dijuluki Zulkifli, yaitu orang yang mampu menanggung tugas/urusan.

Berdasarkan pendapat ini, Nabi Zulkifli diutus untuk Bani Israel karena Nabi Ilyasa’ merupakan salah satu Nabi Bani Israel.

Namun, kisah ini tidak terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits. Kisah ini pun tidak ditemukan dalam sumber Israiliyat. Nama Zulkifli sendiri merupakan nama Arab, bukan Ibrani.

Kedua, Zulkifli dimaknai sebagai nama tempat, yaitu kota Al Kifl di Irak.

Setelah Raja Babylonia, Nebuchadnezzar II, menghancurkan Yerusalem pada 587 SM, orang-orang Yahudi ditawan dan dibuang ke Babylon, Irak.

Salah satu Nabi Yahudi yang mengalami masa pembuangan tersebut adalah Nabi Yehezkiel (Hizqil). Setelah Nabi Yehezkiel wafat, dia dimakamkan di kota Al Kifl.

Sekira tahun 1316 M, Dinasti Ilkhanat yang dipimpin Muhammad Khodabandeh (Öljaitü) menamakan makam Nabi Yehezkiel sebagai makam Nabi Zulkifli karena menganggap dua orang tersebut sebagai satu orang yang sama.[1]

Jika Nabi Yehezkiel dianggap sebagai orang yang sama dengan Nabi Zulkifli, maka Nabi Zulkifli adalah Nabi yang diutus untuk Bani Israel.

Namun, Ibnu Katsir dalam kitabnya, Qashashul Anbiya’, menempatkan Nabi Zulkifli dan Nabi Yehezkiel (Hizqil) dalam dua bab berbeda.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya juga menyebutkan bahwa Nabi Yehezkiel (Hizqil) merupakan latar belakang dari kisah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 243 dan 259.

اَوْ كَالَّذِيْ مَرَّ عَلٰى قَرْيَةٍ وَّهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۚ قَالَ اَنّٰى يُحْيٖ هٰذِهِ اللّٰهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ فَاَمَاتَهُ اللّٰهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهٗ ۗ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۗ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ قَالَ بَلْ لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ اِلٰى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۚ وَانْظُرْ اِلٰى حِمَارِكَۗ وَلِنَجْعَلَكَ اٰيَةً لِّلنَّاسِ وَانْظُرْ اِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا ۗ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗ ۙ قَالَ اَعْلَمُ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?” Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Saya mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

(QS. Al Baqarah: 259)

Negeri yang disebutkan dalam ayat ini adalah Bait al-Maqdis. Ayat ini menceritakan kisah Bani Israel yang dibuang ke Babylon dan kehilangan harapan setelah hancurnya Bait al-Maqdis (Kesatu).

Allah kemudian memberikan petunjuk kepada Nabi Hizqil bahwa Bait al-Maqdis dan negeri Al-Quds (Yerusalem) dapat bangkit kembali sebagaimana Allah menghidupkan kembali keledai Nabi Hizqil yang telah mati dan menjadi tulang belulang.

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ خَرَجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ اُلُوْفٌ حَذَرَ الْمَوْتِۖ فَقَالَ لَهُمُ اللّٰهُ مُوْتُوْا ۗ ثُمَّ اَحْيَاهُمْ

“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halamannya, sedang jumlahnya ribuan karena takut mati? Lalu Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kamu!” Kemudian Allah menghidupkan mereka.”

(QS. Al Baqarah: 243)

Ayat ini menceritakan suatu kaum yang meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari wabah penyakit. Namun, ketika sampai di suatu lembah, kematian tetap menimpa mereka.

Kemudian Nabi Hizqil melewati lembah tersebut dan berdoa agar Allah menghidupkan mereka kembali. Allah pun mengabulkan doa Nabi Hizqil sebagai bukti bahwa Allah kuasa menghidupkan yang mati, dan sebagai petunjuk bahwa Bait al-Maqdis dan negeri Al-Quds (Yerusalem) dapat dibangkitkan kembali.

Kisah ini serupa dengan kisah dalam sumber Israiliyat, Kitab Yehezkiel 37:1–14, di mana Nabi Yehezkiel (Hizqil) melihat lembah penuh dengan tulang-tulang manusia.

Allah kemudian menghidupkan orang-orang yang sudah mati di lembah tersebut sebagai petunjuk bahwa Bani Israel dapat bangkit dan terbebas dari pembuangan, serta kembali ke Yerusalem.

Oleh karena itu, Nabi Zulkifli dan Nabi Yehezkiel (Hizqil) adalah dua orang yang berbeda karena kisah mereka ditempatkan dalam ayat yang berbeda.

Ketiga, Zulkifli dimaknai sebagai “pemilik pelana kain”.

Makna ini antara lain terdapat pada Al Qur’an Terjemahan Bahasa Inggris “The Koran, Complete Dictionary and Literal Translation” yang disusun Mohamed Ahmed dan Samira Ahmed.

Kata Kifli (الكفل) yang berarti “menjamin/menanggung” berasal dari kata Arab Kuno yang berarti “dua bagian” atau “lipatan kain”.

Di masa lalu, pelana unta bermula dari kain yang dilipat menjadi dua bagian sehingga bisa menjamin/menanggung keamanan pengendara unta.

Oleh karena itu, di masa kemudian, istilah Kifli (الكفل) menjadi identik dengan “menjamin/menanggung”.

Makna kata Zulkifli sebagai “pemilik pelana kain” atau “pemilik pelana kain untuk unta” memiliki kedekatan makna dengan nama Zoroaster.

Zoroaster berasal dari pelafalan Yunani atas kata Zarathustra (bahasa Persia Kuno) yang dalam Encyclopaedia Iranica disebutkan salah satu maknanya sebagai “yang mampu mengemudi/mengatur unta”.

Sedangkan unta akan lebih mudah ditunggangi dengan menggunakan pelana. Sehingga seorang “yang mampu mengemudi/mengatur unta” memiliki keselarasan makna dengan “pemilik pelana kain untuk unta”.

Berdasarkan pendapat ini, Nabi Zulkifli (Zoroaster) diutus untuk Bangsa Persia. Oleh karena itu, kisahnya tidak ditemukan dalam sumber Israiliyat maupun literatur Arab.

Ibnu Katsir saat membahas surat An Nisa ayat 150 menyebutkan satu pendapat bahwa kaum Majusi pada awalnya beriman kepada Nabi mereka yang bernama Zoroaster, namun mereka kemudian kafir terhadap syariat Nabi tersebut.[2]

Perbedaan antara agama Zoroaster dengan Majusi dapat dilihat di

//islampedia.id/perbedaan-majusi-dan-agama-zoroaster-485832ac35cf

Wallahu A’lam

[1] //web.archive.org/web/20120728084756///archnet.org/library/sites/one-site.jsp?site_id=7827 (diakses pada 17 April 2021, pukul 9.51).

[2] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 830.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA