Bagaimanakah kriteria masalah yang dapat ditentukan oleh suara mayoritas dalam musyawarah

Dalam tradisi manusia yang berakal sehat, tradisi bertukar pikiran itu memang hal yang lumrah atau wajar. Bisa dilakukan dengan dua orang atau banyak orang. Jika dilakukan dengan banyak orang, inilah yang sering kita sebut dengan rapat alias musyawarah. Tetapi, jika kita berpikir mendalam, ternyata ada hal-hal yang bisa dimusyawarahkan dan ada juga hal-hal yang tidak bisa dimusyawarahkan. Bahkan ada, hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan.

Dalam musyawarah atau rapat, ada beberapa cara dalam mengambil keputusan. Bisa dengan mencari kesepakatan antar peserta musyawarah, bisa dengan menyerahkan keputusan pada pimpinan musyawarah, bisa juga dengan suara terbanyak alias voting. Tetapi jika kita berpikir lebih dalam lagi tentang cara pengambilan keputusan dalam musyawarah, ternyata ada hal-hal yang memang bisa diputuskan secara voting atau menyerahkannya kepada pimpinan rapat (musyawarah).

Dalam konteks ini, Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum rahimahullah telah memberikan prinsip-prinsip dasar musyawarah. Di antaranya adalah sebagai berikut.

PERTAMA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam pembahasan hukum syara'. Sebab, hukum syara' wajib ditetapkan dengan ketetapan dari Asy-Syari' atau Pembuat hukum, dalam hal ini adalah Allah. Misalnya tentang ketetapan haramnya riba, haramnya zina, haramnya wanita sebagai kepala negara (Khalifah), wajibnya penerapan sistem hukum Islam secara total, wajibnya jihad fi sabilillah, dan lain-lain; semua itu tidak perlu dimusyawarahkan lagi, karena status hukumnya sudah jelas. Artinya, apakah riba akan diberlakukan atau tidak, itu tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Sebab hukumnya juga jelas. Termasuk juga syariat Islam; apakah ia wajib diterapkan atau tidak, ya itu tidak perlu dimusyawarahkan. Bahkan tidak boleh dimusyawarahkan. Sebab, status hukumnya jelas, yaitu wajib dilaksanakan. Konteks yang pertama ini tentu hanya bisa dipahami oleh seorang muslim. Sebab, orang nonmuslim tidak akan memahami terkait konteks yang pertama ini.

KEDUA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan bidang keahlian tertentu, sains dan teknologi, atau hal-hal yang membutuhkan analisis mendalam dari para ahli. Misalnya, negara akan membangun sebuah pemukiman penduduk. Pemukiman penduduk tersebut, apakah akan didirikan di daerah A atau B, itu yang berhak memutuskan adalah para ahli geologi (pertanahan), dan bukan diputuskan oleh hasil musyawarah. Jika daerah A adalah daerah yang rawan bencana (misalnya tanahnya labil), berarti pemukiman penduduk tersebut harus dibangun di wilayah B, atau wilayah lain yang memang aman. Kalau hal-hal seperti ini harus diputuskan dengan musyawarah, itu ngawur namanya. 

Contoh lainnya adalah pendapat seorang dokter dalam bidang kesehatan, tentu harus diterima, dan tidak perlu dimusyawarahkan lagi. Misalnya, dokter merekomendasikan bahwa si pasien patah tulang harus operasi, maka hal ini tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Artinya, yang berhak "mewajibkan" operasi itu ya dokter, bukan keputusan musyawarah. Kita sebagai orang awam tidak boleh mengintervensi dengan mengatakan, "Oh tidak bisa Dok. Harus dimusyawarahkan dulu dong." Kalau hasil musyawarah menyatakan tidak usah dioperasi, padahal harus dioperasi, itu artinya mencelakakan si pasien. 

Hal seperti ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika Perang Badar. Saat itu Hubaib bin Mundzir bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah saw. tentang penentuan tempat yang akan dijadikan basis pertahanan atau perkemahan, tempat kaum muslimin akan bertahan. Hubaib mempertanyakan, apakah penentuan hal tersebut ditentukan berdasarkan wahyu ataukah ditentukan oleh orang yang ahli dalam bidangnya (maksudnya bidang militer/ahli strategi perang). Kemudian Rasulullah saw. menyatakan bahwa hal tersebut ditentukan oleh orang yang ahli di bidangnya (ahli dalam strategi perang). Setelah mendengar jawaban Rasulullah saw., Hubaib pun mengusulkan agar tempat yang akan dijadikan pertahanan kemah kaum muslim adalah tempat yang memiliki ketersediaan air cukup (cukup logistik). Rasulullah saw. pun akhirnya menerima usul Hubaib tersebut.

KETIGA,

musyawarah itu hanya boleh diberlakukan pada hal-hal yang sifatnya teknis, dan tidak terkait pemikiran tertentu. Karena boleh dimusyawarahkan, berarti boleh pula cara pengambilan keputusannya berdasarkan voting (suara terbanyak). Contoh, bapak-bapak kampung ingin membangun pos ronda. Pos ronda tersebut apakah akan dibangun bulan ini ataukah bulan depan, ini hal yang sifatnya teknis. Keputusannya, bisa diambil dengan menggunakan suara terbanyak atau voting. Jika keputusan bapak-bapak kampung itu membangun pos ronda bulan depan, maka keputusan ini sah, sekalipun diambil melalui suara terbanyak.

Tentang DPR

Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak

Setiap rapat DPR dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat (kuorum), apabila tidak tercapai, rapat ditunda sebanyak-banyaknya 2 kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 jam. Setelah 2 kali penundaan kuorum belum juga tercapai, cara penyelesaiannya diserahkan kepada Bamus (apabila terjadi dalam rapat Alat Kelengkapan DPR), atau kepada Bamun dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi (apabila terjadi dalam rapat Bamus).

Secara lengkap dapat dilihat pada Tata tertib DPR RI BAB XVII.

Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada anggota rapat yang hadir diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, dan dipandang cukup untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan

Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh semua yang hadir.

Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian anggota rapat yang lain. Pengambilan keputusan secara terbuka dilakukan apabila menyangkut kebijakan dan dilakukan secara tertutup apabila menyangkut orang atau masalah lain yang dianggap perlu. Pemberian suara secara tertutup dilakukan dengan cara tertulis, tanpa mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi suara atau tanda lain yang dapat menghilangkan sifat kerahasiaan, atau dapat juga dilakukan dengan cara lain yang tetap menjamin sifat kerahasiaan.

Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila diambil dalam rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh lebih separuh jumlah anggota yang hadir.

NAMA : HADARI NIM : F1092131058 PRODI : PENDIDIKAN SOSIOLOGI MAKUL : SOSIOLOGI POITIK PERBEDAAN MUSYAWARAH DENGAN DEMOKRASI sebelum masuk jauh lebih rinci dalam perbedaan musyawarah dan demokrasi, alangkah baiknya kita mengetahui apa arti dari musyawarah dan demokrasi tersebut.

Musyawarah sendiri mempunyai pengertian yaitu : musyawarah berasal dari kata Syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu.Istilah-istilah lain dalam tata Negara Indonesia dan kehidupan modern tentang musyawarah dikenal dengan sebutan “syuro”, “rembug desa”, “kerapatan nagari” bahkan “demokrasi”. Kewajiban musyawarah hanya untuk urusan keduniawian. Jadi musyawarah adalah suatu upaya bersama dengan sikap rendah hati untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan keduniawian.


Dan sedangkan demokrasi mempunyai arti yaitu, Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Kata ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat",[1] yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politiknegara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi.[2]Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama. Banyak sekali tokoh Islam yang mengatakan bahwa musyawarah (syura) sama dengan demokrasi. Menurut mereka, baik musyawarah maupun demokrasi, sama-sama melibatkan orang banyak untuk mengambil suatu pendapat tertentu. Kemudian mereka mengutip ayat “Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan sholat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka” (QS. Asy Syura 38) atau ayat “ Disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian jika engkau telah membulatkan tekad (azam), bertawakkallah kepada Allah.”(QS Ali ‘Imran 159). Lalu mereka mengatakan bahwa musyawarah adalah perintah Allah, sementara musyawarah sama dengan demokrasi, maka demokrasi juga perintah Allah. Benarkah bahwa musyawarah sama dengan demokrasi? Benarkah demokrasi itu perintah Allah? Agar masalah ini menjadi jelas, kita akan membahas dahulu fakta dari musyawarah dan demokrasi. Dengan memahami fakta keduanya, kita bisa menarik kesimpulan dengan benar, apakah keduanya memang sama atau berbeda. Bagi yang ingin memperdalam masalah ini, dapat mengkaji kitab Syeikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ad-dimuqrathiyah nizham kufr. Kata musyawarah berasal dari bahasa arab, yang kata dasarnya adalah syawara. Secara bahasa, syawara memiliki banyak makna, antara lain adalah mengeluarkan madu dari sarang lebah (istikhraj al-‘asl min qursh asy-syama’); memeriksa tubuh budak dan binatang ternak pada saat pembelian (tafahhush badan al-amah wa ad-dabbah ‘inda asy-syira’); menampakkan diri dalam medan perang (isti‘radh an-nafs fi maydan al-qital); dan sebagainya. (Ibn Manzhur dalam Lisan al-‘Arab, jilid II halaman 379-381). Adapun makna syar’i dari muasyawarah adalah mengambil suatu pendapat (akhdzu ar-ra’yi). Maksudnya, musyawarah adalah mengambil pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab ar-ra’yi min al-mustasyar). Misalnya, seorang pemimpin mengajak musyawaroh tentang suatu hal dengan stafnya untuk mengambil pendapat atau keputusan tertentu, atau seorang suami mengajak musyawaroh dengan istrinya untuk mengambil pendapat atau keputusan tentang suatu hal. Jadi, musyawaroh di sini adalah mengambil atau meminta pendapat orang lain tentang suatu hal. Bagaimanakah hukum musyawarah di dalam islam? Hukum melakukan musyawarah sendiri menurut Islam adalah sunnah, bukan wajib. Hal ini disampaikan oleh para ahli tafsir, misalnya Ibn Jarir ath-Thabari (Jami‘ al-Bayan, IV/153) dan Imam Al-Qurthubi (Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, IV/249-252) saat beliau menafsirkan surat Ali Imran ayat 159. Lalu, apakah dalam musyawarah, pendapat yang diambil selalu berdasarkan suara mayoritas seperti halnya dalam demokrasi? Memang, dalam sistem demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam segala bidang permasalahan. Sebaliknya, dalam musyawarah, kriteria pendapat yang diambil bergantung pada bidang permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya, adalah sebagai berikut: Pertama, dalam masalah penentuan hukum syariah, kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syariah (nash al-Quran dan as-Sunnah). Sebab, yang menjadi pembuat hukum hanyalah Allah, bukan umat atau rakyat. Dalam masalah yang sudah qoth’i, bahkan tak perlu ada musyawarah lagi. Sebagai contoh, apakah zina halal (legal) atau haram (ilegal)? Apakah minuman keras (khamr) haram atau tidak? Dalam hal ini, ketentuannya hanya diambil dari qur’an dan sunnah. Tidak ada pendapat manusia dalam masalah seperti ini, baik itu pendapat mayoritas atau minoritas. Sementara dalam masalah dzanni yang diperselisihkan maka yang diambil adalah yang didasarkan pada dalil yang lebih rajih. Jika hal itu menyangkut masalah publik yang perlu disatukan, maka keputusan diambil oleh khalifah (imam) berdasarkan dalil yang paling rajih. Hal ini sebagaimana kaidah syara’ “amrul imam yarfa’u al khilaf (keputusan imam atau khilafah dapat menghilangkan perbedaan)”. Sementara, jika hal itu dalam urusan pribadi, maka khalifah tidak boleh mengadopsi hukum tertentu, dan keputusan diserahkan kepada masing-masing individu rakyat. Kedua, dalam masalah yang berhubungan dengan hal-hal yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya yang berkompeten. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Bukan ditetapkan berdasarkan suara mayoritas rakyat. Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar militer. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Demikianlah seterusnya. Ketiga, dalam masalah-masalah teknis yang bersifat praktis, yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, dan yang melibatkan banyak orang, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas. Sebab, mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Contohnya adalah seperti: saat masyarakat mau kerja bakti untuk membangun jalan kampung, apakah dilaksanakan hari ahad atau sabtu, tentu dalam hal ini suara mayoritas menjadi penentu. Contoh lain: Saat sekelompok warga bepergian, kemudian mereka bermusyawarah, apakah akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari; apakah akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini ditentukan dengan suara mayoritas. Itulah musyawarah dan hukumnya di dalam Islam. Dalam sistem pemerintahan islam (khilafah), musyawarah hanyalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat, sebagai bagian dari proses sistem pemerintahan, bukan substansi dan tujuan adanya pemerintahan. Sementara demokrasi, bukan hanya sekadar proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun sebuah jalan hidup (the way of life) yang holistik, yang direpresentasikan dalam sistem pemerintahan menurut peradaban Barat. Demokrasi adalah sebuah tipe sistem pemerintahan, yang menurut priseden AS Lincoln “demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Jadi, rakyat itulah yang memiliki kedaulatan. Kedaulatan atau hak tertinggi dalam mengambil keputusan berada di tangan rakyat. Artniya segala hal, baik-buruk, dan halal-haram diserahkan semuanya kepada rakyat.

Sistem demokrasi adalah sistem pememrintahan yang memiliki ciri: pertama berlandaskan pada falsafah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), kedua dibuat oleh manusia, dan ketiga didasarkan pada dua ide pokok, yaitu:

1. kedaulatan di tangan rakyat dan

2. rakyat sebagai sumber kekuasaan, memegang prinsip suara mayoritas dan menuntut kebebasan individu (freedom) agar kehendak rakyat dapat diekspresikan tanpa tekanan.

Inilah inti dari demokrasi. Memang ada banyak versi dari demokrasi, tetapi intinya adalah seperti ini. Demokrasi tak akan mengijinkan selain rakyat untuk berdaulat. Dalam demokrasi, Allah boleh disembah, namun Allah tidak diijinkan untuk berdaulat. Hukumnya Allah boleh dipakai, asalkan pemilik kedaulatan mengijinkannya. Artinya hukumnya Allah boleh digunakan, asal disetujui oleh rakyat. Itu pun harus disetujui satu hukum per satu hukum. Jika ada satu hukum yang tidak disetujui rakyat, maka hukumnya Allah tidak bisa dilaksanakan, meskipun itu sesuatu yang qoth’i, misalnya haramnya minum khamr atau haramnya zina. Itulah fakta musyawarah dan demokrasi. Jika kita memperhatikan, memang ada beberapa persamaan. Persamaan itu misalnya, seorang pemimpin dipilih oleh rakyat, dan pemimpin bekerja untuk kepentingan rakyat. Namun, ada perbedaan yang sangat mendasar antara musyawarah dengan demokrasi. Pertama, musyawarah hanyalah salah satu mekanisme pengambilan pendapat, sementara demokrasi adalah sistem pemerintahan. Kedua, musyawarah hanya dilakukan pada sesuatu yang hukumnya mubah secara syar’i, sementara demokrasi dilaksanakan pada hal apapun. Ketiga, para musyawirin dalam islam saat melakukan musyawarah sangat memahami bahwa kedaulatan tertinggi ada pada Allah, sementara dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Adanya persamaan antara syura dan demokrasi dalam beberapa hal, terkadang digunakan untuk MENYESATKAN masyarakat bahwa seakan-akan demokrasi sama dengan musyawarah. Demokrasi sering diungkapkan hanya sekedar MEMILIH pemimpin secara bebas oleh rakyat. Pemilihan pemimpin secara bebas oleh rakyat sebetulnya bukan hanya milik demokrasi, Islam pun juga demikian. Namun seakan-akan DIKLAIM ini hanya milik demokrasi. Substansi demokrasi bukan masalah pemilihan kepemimpinan, tetapi sistem pemerintahan dimana.RAKYAT..BERDAULAT. Dengan memperhatikan falsafah demokrasi, yaitu sekularisme, jurang perbedaan musyawarah dan demokrasi akan semakin lebar. Sedemikian lebarnya sehingga mustahil terjembatani. Sebab, musyawarah lahir dari akidah Islam. Musyawarah adalah hukum syariah yang dilaksanakan sebagai bagian dari perintah Allah. Sebaliknya, demokrasi lahir dari rahim ide sekularisme YANG SANGAT ALERGI DENGAN SYARIAH ISLAM. Bahkan, sekulerisme sendiri adalah paham yang menyatakan bahwa agama tidak boleh dibawa-bawa dalam mengatur urusan kehidupan atau urusan kenegaraan. Agama itu hanyalah urusan manusia dengan tuhannya, urusan privat. Terakhir, menyamakan syura dengan demokrasi bagaikan menyamakan ayam dengan kambing. Memang masing-masing dari keduanya memiliki persamaan dalam beberapa hal, misalnya masing-masing memiliki mata, kepala, kaki, membutuhkan makanan. Apakah hanya karena ada persamaan, lalu kemudian dianggap sama? Jika keduanya sama, maka tidak perlu nama yang berbeda. Adanya nama yang berbeda, itu menunjukkan bahwa memang keduanya berbeda. Hanya orang tak normal yang masih menganggap ayam sama dengan kambing, demikian pula orang yang menganggap demokrasi sama dengan musyawarah, Wallahu a’lam.

Saat ini musyawarah selalu dikait-kaitkan dengan dunia politik, demokrasi.Bahkan hal tersebut tidak dapat dipisahkan , pada prinsipnya musyawarah adalah bagian dari demokrasi, dalam demokrasi pancasila penentuan hasil dilakukan dengan cara musyawarah mufakat dan jika terjadi kebuntuan yang berkepanjangan barulah dilakukan pemungutan suara, jadi demokrasi tidaklah sama dengan votting.Cara votting cenderung dipilih oleh sebagian besar negara demokrasi karena lebih praktis, menghemat waktu dan lebih simpel daripada musyawarah yang berbelit-belit itulah sebabnya votting cenderung identik dengan demokrasi padahal votting sebenarnya adalah salah satu cara dalam mekanisme penentuan pendapat dalam sistem demokrasi.

Ya dengan membaca penjelasan yang diuraikan diatas mudah mudahan dapat jelas mengetahui apa itu musyawarah dan apa itu demokrasi, sehingga tidak ada kesalah pahaman antara musyawarah dan demokrasi, dan itulah perbedaan musyawarah dan demokrasi semoga bermanfaat bagi kita semua.

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA