Bagaimana kondisi kerajaan Banten pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa?

Pelabuhan yang terletak paling ujung barat pulau Jawa yaitu pelabuhan Merak Banten sangat akrab bagi masyarakat Indonesia sebagai pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Sumatera. Padahal menurut catatan sejarah, pelabuhan Karangantu di Banten ini dulu merupakan pelabuhan besar sekaligus pelabuhan tertua di Pulau Jawa sebagai pintu gerbang perdagangan internasional untuk Nusantara (Indonesia). Dari pelabuhan yang ada di Banten inilah menjadi pintu keluar masuknya para saudagar atau pedagang-pedagang yang berlayar memasuki Nusantara. Terletak sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Serang itu, pada abad ke-15 adalah sebuah bandar pelabuhan penting dalam perdagangan internasional. Kala itu, Banten yang masih berbentuk kota menjadi sebuah tempat transit bagi jalur perdagangan antarnegara. Kapal-kapal asing yang hadir di pelabuhan tertua di Jawa dengan nama Karangantu ini berasal dari negara Persia, Arab, Cina, Inggris, Gujarat, Portugis dan Belanda.

Bagaimana kondisi kerajaan Banten pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa?

Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomian kesultanan. Banten berkembang pesat jadi kota pelabuhan dan kota perdagangan pada era Sultan Banten Pertama Maulana Hasanuddin putra kandung Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Pada era kepemimpinannya, pusat pemerintahan dipindahkan dari bagian hulu ke hilir Sungai Cibanten dengan maksud memudahkan hubungan dagang dengan pesisir Sumatera melalui Selat Sunda. Awalnya, pelabuhan Karangantu adalah menjadi pelabuhan nelayan.

Pada masa itu Banten melihat adanya peluang akibat situasi dan kondisi perdagangan di Asia Tenggara yang sedang berkecamuk. Saat itu, pedagang dari mancanegara risau karena Malaka jatuh ke tangan Portugis, sehingga pedagang muslim yang tengah bermusuhan dengan Portugis enggan berhubungan dagang dengan Malaka, sehingga para pedagang mengalihkan jalur perdagangan ke Selat Sunda. Mereka singgah di Karangantu. Sejak itu, Karangantu jadi pusat perdagangan internasional yang ramai disinggahi pedagang dari Asia, Afrika, dan Eropa.

Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Pada masa itu Banten merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur.

Di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.Pada masa itu Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

Titik balik kehancuran Banten Lama terjadi saat pecah perang saudara antara Sultan Haji dengan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak itu, pengaruh kesultanan Banten mulai pudar. Banten Lama semakin ditinggalkan setelah pusat pemerintahan dipindah ke Serang. Pelabuhan Karangantu tak lagi dilirik karena kondisi lingkungan akibat pengendapan lumpur yang tidak memungkinkan kapal untuk singgah. Masa keemasan pelabuhan ini berakhir pada abad ke-17.

Melihat kondisi ini Perhubungan Laut tidak tinggal diam, dan masyarakat anten sadar akankebesaran sejarah kerajaan maritim yang pernah membesarkannya mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya agar Banten menjadi kawasan multi etnis( Banten pada saat itu berdagang dengan Persia, Vietnam, Filifina, Jepang, Korea). KSOP Banten bersama masyarakat maritim berusaha mengejar ketertinggalannya, membangun kembali perekonomian melalui transportasi laut bersandar pada Undang – undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mendorong partisifasi swasta, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah untuk secara bersama dengan pemerintah mengelola pelabuhan kembali menuju perdagangan nasional dan internasional menatap dunia globalisasi.

Daftar Pustaka

Ambary, H. M. (1980). Tinjauan Tentang Penelitian Perkotaan Banten Lama. Jakarta: P4N.

Bandarsyah, D. (2015). Titipan Sejarah: Mengenang Kiprah Prof. Dr. Wr. Hendra Saputra, M. Hum. Jakarta: UHAMKA Press.

Banten, B. (2015). Benteng Speelwijk, Banten Lama. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Basri Seta. (2011). Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta: Indie Book Corner.

Budiarjo, M. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Burke, P. (2015). Sejarah dan Teori Sosial: Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Conny R. Semiawan. (2010). Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Farida Nugrahani. (2014). Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian Pendidikan Bahasa. Solo: Cakra Books.

Flo, E. (2016). Sejarawan Banten: Benteng Speelwijk Bukan Dibangun Belanda. Merah Putih.

Hadiwibowo, T. U. (2013). Perkembangan Kesultanan Banten Pada Masa Pemerintahan Sultan Maulana Yusuf (1570-1580). 17–18.

Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari. (1993). Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Saudara.

Hamid, A. (1994). Syaikh Yusuf Seorang Ulama; Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto Maladi Agus. (2015). Interaksionisme Simbolik: Pendekatan Antropologis Merespon Fenomena Keseharian. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri.

Kartodirjo, S. (1993). Pembangunan Bangsa. Yogyakarta: Aditya Medika.

Lexy J. Moleong. (1990). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mansyur Semma. (2008). Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Masa Keruntuhan Kesultanan Banten. (2017).

Muhni, D. A. I. (1994). Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Muslimah. (2017). Sejarah Masuknya Islam dan Pendidikan Islam Masa Kerajaan Banten Periode 1552-1935. Studi Agama Dan Masyarakat, 13, 3.

Patanjala, A. (2010). PELABUHAN BANTEN SEBAGAI BANDAR JALUR SUTRA. Vol. 2, No, 82.

Pip Jones. (2009). Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Fungsionalisme Hingga Post Modernisme. Jakarta: Pustaka Filsafat, Yayasan Obor Indonesia.

Provinsi Banten. (n.d.). Retrieved from BPK Perwakilan Provinsi Banten website: https://banten.bpk.go.id/?page_id=674

Respublika. (2017). Masa Keruntuhan Kesultanan Banten. p. 1.

Said, H. A. (2016). Islam dan Budaya Di Banten: Menelisik Tradisi Debus Dan Maulid. Studi Agma Dan Pemikiran Islam, 10, 8.

Saputro, T. (2018). Strategi Kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa Di Kesultanan Banten (1651-1683). 4.

Setiawan, B. (2019). Perdagangan Maritim di Pelabuhan Banten Pada Masa Sultan Ageng Tirtayasa Tahun 1652-1681 M. 25, 27, 29.

Soekanto, S. (2001). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekanto, S. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sukmana Oman. (2016). Konsep dan Teori Gerakan Sosial. Malang: Intrans Publishing.

Surbakti Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: P.T. Grasindo.

Wirawan, I. B. (2012). Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial). Jakarta: Kencana.

Wawancara dengan Bapak Mul, tanggal 7 Februari 2020 di Keraton Surosowan, Banten.

Yoga Permana Wijaya. (2014). Kejatuhan Kerajaan Banten ke Tangan VOC.

Bagaimana kondisi kerajaan Banten pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa?

Bagaimana kondisi kerajaan Banten pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa?
Lihat Foto

Alchetron

Sultan Ageng Tirtayasa

KOMPAS.com - Sultan Ageng Tirtayasa adalah sultan Banten ke-6 yang berhasil membawa Kerajaan Banten menuju puncak kejayaannya.

Sultan Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya berkuasa antara tahun 1651-1683.

Selama berkuasa, perannya tidak sebatas memajukan Kesultanan Banten.

Raja dari Banten yang gigih menentang VOC adalah Sultan Ageng Tirtayasa.

Berkat kegigihannya dalam membela bangsa Indonesia, ia bahkan dicap sebagai musuh bebuyutan Belanda.

Asal-usul dan keturunan Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (sultan Banten ke-5) dan Ratu Martakusuma yang lahir pada 1631.

Kakeknya bernama Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir atau dikenal sebagai Sultan Agung, sultan Banten ke-4 yang juga gigih memerangi Belanda.

Setelah ayahnya wafat pada 1650, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat oleh kakeknya sebagai Sultanmuda dengan gelar Pangeran Dipati.

Kemudian setelah kakeknya wafat pada 1651, ia resmi naik takhta menjadi raja Banten ke-6 dengan gelar Sultan Abdul Fattah Al-Mafaqih.

Dari istri-istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 18 orang anak.

Putranya yang terkenal adalah Sultan Abu Nashar Abdulqahar atau Sultan Haji dan Pangeran Purabaya.

Menjelang akhir pemerintahannya, Sultan Ageng Tirtayasa berselisih dengan Sultan Haji hingga memaksanya meninggalkan takhta dan mundur ke dusun Tirtayasa yang terletak di Kabupaten Serang.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa dikenal setelah dirinya mendirikan keraton baru di tempat tersebut.

Baca juga: Raja-Raja Kerajaan Banten

Peran Sultan Ageng Tirtayasa untuk Kesultanan Banten

Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten terus mengalami kemajuan.

Berikut ini beberapa hal yang dilakukannya untuk memajukan Kesultanan Banten.

  • Memajukan wilayah perdagangan Banten hingga ke bagian selatan Pulau Sumatera dan Kalimantan
  • Banten dijadikan tempat perdagangan internasional yang memertemukan pedagang lokal dengan pedagang Eropa
  • Memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam
  • Melakukan modernisasi bangunan keraton dengan bantuan arsitektur Lucas Cardeel
  • Membangun armada laut untuk melindungi perdagangan dari kerajaan lain dan serangan pasukan Eropa

Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa adalah salah satu raja di nusantara yang gigih menentang pendudukan VOC di Indonesia.

Demi meneruskan perjuangan kakeknya, pada 1652 Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan tentaranya untuk menyerang VOC di Jakarta.

Sejak saat itu, pertempuran antara Banten dan Belanda terus terjadi.

Karena Banten terus menerus melancarkan gerilya, Belanda berusaha membalas dengan memblokade pelabuhan-pelabuhan.

Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Sultan Ageng Tirtayasa untuk mengacaukan Belanda.

Pada 1655, VOC mengirim utusan ke Banten guna mendesak Sultan Ageng Tirtayasa untuk memperbarui perjanjian perdamaian 1645.

Sultan Ageng Tirtayasa dengan berani menolak pembaruan perjanjian dan bertekad menentang Belanda.

Baca juga: Sejarah Singkat Kerajaan Banten

Pada 1656, perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC dilakukan dengan cara melakukan sabotase dan perusakan kebun tebu serta pabrik-pabrik penggilingannya.

Tentara Banten juga membakar kampung-kampung yang digunakan sebagai sarang pertahanan Belanda.

Di samping itu, Kerajaan Banten juga berhasil menguasai sejumlah kapal VOC dan beberapa pos penting.

Sekitar sebelum tahun 1671, terjadi konflik di dalam istana dan Sultan Ageng Tirtayasa memilih untuk pindah kediaman di luar Banten.

Hal ini dilakukan untuk mencegah kudeta yang sewaktu-waktu bisa dilancarkan putra pertamanya, Sultan Haji.

Pada 1680, Sultan Ageng Tirtayasa kembali mengumumkan perang setelah terjadi penganiayaan terhadap para pedagang Banten oleh VOC.

Konflik dengan Sultan Haji

Semangat Sultan Ageng Tirtayasa untuk menentang VOC kurang disetujui oleh putranya, Sultan Haji.

Perselisihan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC dengan melancarkan politik adu domba.

Siasat VOC pun berhasil, hingga Sultan Haji mau bekerjasama dengan Belanda demi meruntuhkan kekuasaan ayahnya.

Pada 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjara di Batavia sehingga harus menyerahkan kekuasaannya kepada putranya.

Sultan Ageng Tirtayasa meninggal dunia dalam penjara pada 1692 dan kemudian dimakamkan di Komplek Pemakaman Raja-raja Banten.

Referensi:

  • Tjandrasasmita, Uka. (1966). Sultan Ageng Tirtayasa: Musuh Besar Kompeni Belanda. Bandung: Pustaka Jaya
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.