Merdeka.com - Semua orang setuju bila tidur merupakan aktivitas yang menyenangkan setelah seharian berkutat dengan segudang kegiatan. Sayangnya tidak semua orang dapat tidur dengan lelap. Sebagian lagi, jangankan terlelap membuat mata terpejam pun susah. Akibatnya obat tidurlah yang menjadi solusi, yang ironisnya justru bukan diperoleh melalui resep dokter, tapi bebas melaui warung atau toko obat. Bahkan, saat ini terjadi fenomena mengkonsumsi CTM yang memang mempunyai efek kantuk, sebagai obat tidur.
Pengertian obat tidur
Menurut guru besar Farmakologi Prof.DR.Dr. Frans D Suyatna, SpFK, obat tidur adalah segolongan obat yang menimbulkan sedasi atau perasaan tenang yang akhirnya menimbulkan narkosis atau tidur.
Suyatna menjelaskan ada tiga golongan hipnotik sedatif, yakni benzodiazepin, barbiturat, dan hipnotik sedatif
Golongan pertama, yakni Benzodiazepin, digunakan sebagai obat tidur atau penenang. jenis yang paling di gunakan adalah diazepam. Barbiturat lebih banyak digunakan di rumah sakit dalam bentuk suntik untuk keperluan bedah atau tablet untuk epilepsi. Golongan hipnotik sedatif lainya, misalnya paraldehid, jarang di gunakan.
Penggunaan obat tidur ditujukan untuk orang yang mengalami gangguan tidur ataupun ataupun membutuhkan ketenangan, baik orang yang sedang mengalami masalah misalnya gelisah, cemas, dan masalah psikologis lainnya.
Menyebabkan ketergantungan
Obat tidur yang digunakan pada masa lalu lebih toksik dan dapat menimbulkan ketergantungan, sedangkan obat terbaru kurang menimbulkan ketergantungan. Meski begitu, penggunaannya harus diwaspadai, melalui resep dokter dan tidak boleh sembarangan.
Golongan nitrazepam dan fluranitrazepam mempunyai efek ketergantungan, namun jangan disalah artikan seperti layaknya ketergantungan pada golongan narkotika. Ketergantungan disini artinya harus menggunakan obat terus-menerus baik untuk menenagkan pikiran atau agar dapat tidur.
Apakah CTM termasuk Obat tidur ?
CTM saat ini telah mulai disalah gunakan, tidak hanya sebagai obat alergi namun juga sebagai obat tidur oleh masyarakat. Mereka tak segan minum CTM agar memperoleh efek kantuk sehingga akhirnya bisa tidur. Suyatna mengemukakan, CTM adalah anthistamin yang mempunyai efek samping menimbulkan rasa kantuk, penggunaannya bukan hanya sebagai obat alergi tetapi juga sebagai campuran pada obat flu. Pemberian CTM akan menguntungkan pada orang yang menderita alergi. Bila dia minum, reaksi alergi akan berkurang dan dapat tidur dengan nyaman. Begitu juga dengan orang yang menderita flu, bila minum CTM maka gejala flu akan berkurang karena mengantuk setelah minum CTM maka ia mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk beristirahat. Hal tersebut akan mempercepat proses penyembuhan.
CTM, karena efek samping dapat menimbulkan kantuk, sering dipakai sebagai obat penenang atau obat tidur yang merupakan obat bebas terbatas, namun aturan pakainya harus diperhatikan. Begitu juga dengan dosisnya , kita sering melihat masyarakat dapat dengan mudah minum CTM , hari ini menelah satu butir, besok menelan dua butir agar efeknya lebih terasa. Padahal, pemberian satu butir CTM sudah lebih dari cukup, karena dosis seperempatnya sudah dapat membuat orang mengantuk. Perlu di ingatkan, bahwa penambahan dosis yang tidak terbatas akan memberikan efek toksik (racun).
Obat herbal
Obat tidur yang diklaim terbuat dari bahan herbal tidak menutup kemungkinan adanya senyawa tertentu yang bisa menimbulkan rasa kantuk. Memang ada beberapa tumbuhan yang dipercaya mempunyai efek sedasi(kantuk) contoh buah pala.
Obat tidur yang di klaim terbuat dari bahan alam harus di buktikan manfaatnya. Bila telah beredar dalam bentuk obat maka ia harus lulus dulu dari BPOM . Prinsipnya baik obat itu berasal dari sintetik atau tanaman tetap diperlukan uji serta di buktikan keamanan dan khasiatnya.
Demikian kelebihan dan kekurangan obat tidur yang di kemukakan Prof.DR.Dr. Frans D Suyatna, SpFK. oleh DokterKita
Efek Samping
Efek samping yang umum adalah:
- Mulut, hidung, tenggorokan terasa kering
- Mual, muntah, nyeri lambung
- Konstipasi, atau diare
Efek samping lainnya yang jarang adalah:
- Palpitasi
- Hipotensi
- Sakit kepala
- Rasa tidak nyaman pada dada
- Kesemutan
- Kelemahan pada tangan
Efek Samping Antikolinergik
CTM, seperti obat antikolinergik lainnya, akan menyebabkan efek samping seperti mulut kering akibat inhibisi produksi saliva, pandangan kabur, kecenderungan untuk mengalami heat stroke akibat penurunan volume keringat tubuh, dan gejala seperti demensia. Pada penggunaan jangka panjang, inhibisi produksi saliva dapat menyebabkan perkembangan karies gigi, penyakit periodontal, candidiasis oral, dan rasa nyeri dalam mulut.
Efek samping antikolinergik ini umumnya terjadi pada anak-anak dan lanjut usia pada dosis terapeutik, serta pada overdosis.
Depresi Sistem Saraf Pusat
Chlorpheniramine juga dapat menyebabkan depresi pada sistem saraf pusat yang menyebabkan efek samping berikut:
- Gangguan fungsi motorik, inkoordinasi, tremor
- Sedasi
- Kepala terasa melayang
- Tinnitus
- Lesu, rasa lemah, cemas
- Euforia, insomnia
- Penglihatan kabur
Efek Penggunaan Jangka Panjang
Penggunaan chlorpheniramine jangka panjang, atau secara kronis, meski pada dosis terapeutik, dapat menyebabkan inhibisi produksi saliva. Hal ini mengakibatkan perkembangan karies gigi, penyakit periodontal, candidiasis oral, dan rasa nyeri dalam mulut.
Efek Samping pada Lanjut Usia
Pada orang lanjut usia, dapat mengalami efek samping, seperti kepala terasa melayang, sedasi, rasa bingung, dan hipotensi. Pasien geriatrik rentan terhadap efek antikolinergik. Hal tersebut berdampak pada gejala efek obat antihistamin, seperti mulut kering dan retensi urine, terutama pada pria.
Reaksi Alergi
Meski obat chlorpheniramine digunakan sebagai antialergi, namun pernah dilaporkan kasus kejadian reaksi hipersensitivitas tipe cepat, pada seseorang yang diberikan obat ini.[24]
Interaksi Obat
Obat berikut ini, yang memiliki efek depresi susunan saraf pusat, dapat berefek aditif oleh chlorpheniramine:
- Golongan barbiturat, seperti fenobarbital atau sodium tiopental
Golongan antipsikotik dan ansiolitik, misalnya alprazolam, diazepam, atau haloperidol
- Alkohol [6,25,26]
Sindrom Serotonin
Dilaporkan, kejadian kasus toksisitas serotonin / sindrom serotonin pada pasien, yang mengonsumsi kombinasi obat dextromethorphan dan chlorpheniramine, pada dosis yang berlebih. Gejala dari sindrom serotonin di antaranya adalah peningkatan suhu tubuh, agitasi, hiperrefleks, tremor, berkeringat, dilatasi pupil, dan diare. [27]