Apa yang menjadi batasan dalam Islam tentang produksi

Aula Ahmad Hafidh, S.E., M.Si.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta

PENDAHULUAN

Teori produksi mengasumsikan perusahaan atau produsen akan memaksimalkan keuntungan dengan biaya produksi yang paling rendah (least cost combination). Keuntungan maksimal produsen dapat diukur dari nilai moneter, demikian juga biaya produksi. Akan tetapi, konsep maksimisasi sulit diterapkan dalam pasar atau kondisi keseimbangan di mana konsumen dan produsen berinteraksi. Konsumen akan membeli produk yang memberikan kepuasan maskimal (maximum utility), di mana hal itu tidak bisa diukur karena sifatnya yang nonmoneter.

Kualitas produk dapat ditentukan oleh beberapa hal, seperti penguasaan teknologi, kualitas input, serta kemampuan dan kualitas tenaga kerja. Dalam teori produksi, tidak ditentukan bagaimana menentukan kualitas tadi, tetapi hanya pada kuantitasnya saja. Oleh karena itu, pendekatan nilai (value) dalam teori produksi tidak dapat dimasukkan ke dalam model. Anggaplah terdapat dua perusahaan atau produsen dengan sumber daya yang sama persis, akan menghasilkan output yang berbeda, baik dalam kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini dikarenakan adanya factor endowment yang ada dalam masing-masing sumber daya tadi. Kuas, kanvas, dan cat yang sama tidak akan menghasilkan lukisan yang sama, pun harga dan nilai seninya. Demikan juga roti, tidak akan sama rasanya meskipun komposisi dan bahannya sama persis.

Ketidaksamaan hasil produksi tadi pasti akan terjadi dalam produksi yang melibatkan manusia sebagai faktor produksi. Pada dasarnya, manusia adalah tempatnya perubahan, dinamis dan tidak statis. Artinya, suatu saat dia produktif, di saat lainnya karena suatu hal, dia menurun produktivitasnya. Ini tentunya berbeda dengan faktor produksi yang sifatnya mekanis, teknologikal, dan equipment, sehingga bisa distandardisasikan. Input manusia sebagai pelengkap atau operator saja, memang tidak ada produksi manapun tanpa manusia, hanya fungsinya sekarang yang berubah.

Secara keseluruhan, tidak ada materi yang bertentangan atau berbeda antara teori produksi dalam Islam dan konvensional. Baik secara kualitatif maupun kuantitatif, keduanya sepadan, bahkan Islam memberikan penguatan dan asumsi di dalamnya. Namun, terdapat beberapa hal yang bisa dikatakan ada perbedaan atau pembaruan. Dalam Islam, tidak diperkenankan memproduksi barang yang dilarang atau diharamkan. Dalam ekonomi konvensional, hal itu sebenarnya sudah tersirat di dalamnya.

Mengapa produk atau barang dikatakan sebagai GOODS yang secara harfiah artinya baik, bukan THING? Manusia beranggapan bahwa segala sesuatu yang diproduksi seharusnya sesuatu yang baik, berguna, serta dibutuhkan masyarakat atau dapat meningkatkan kualitas kehidupan. Tidak dibahas ekonomi untuk BAD (barang yang buruk meskipun ada nilai ekonominya), seperti limbah, sampah, drugs, dan lainnya.

Barang tidak hanya dibuat untuk memenuhi kebutuhan, akan tetapi juga bisa dibuat untuk menciptakan kebutuhan baru. Manusia yang dianugerahi Tuhan YME segala kelebihannya, menggunakan akal untuk terus berinovasi. Produk yang satu mungkin berguna bagi suatu pihak dan merupakan kerugian bagi pihak lainnya. Mengapa senjata api dan mesin perang diciptakan? Apakah menutup pabrik rokok merupakan kewajiban? Apakah hal itu sesuatu yang tidak baik dan diharamkan? Tarik ulur ini biasanya ada pada pra dan pascaproduksi, sehingga dalam Islam di situlah peran yang lebih diutamakan. Akan tetapi, bagaimana proses produksi bekerja, saya rasa kedua sistem tersebut sama.

Dalam Islam, dikenal konsep berkah. Dengan sumber daya yang sama, akan dihasilkan output yang berbeda. Akan tetapi, apakah perbedaan hasil produksi tadi dapat dikatakan karena keberkahan yang berbeda? Ada kalanya dia dapat memproduksi lebih banyak, tetapi produknya tidak laku di pasaran. Jika demikian, dapat dikatakan berkahnya hanya dalam produksi, tetapi pemasarannya kurang berkah. Bisa jadi pula, ada dua muslim taat memproduksi barang yang sama, namun jumlah yang dihasilkan berbeda. Apakah hal ini juga menunjukkan keberkahan yang berbeda? Keberkahan biasanya juga dapat merepresentasikan kasalehan seseorang.

Dalam Islam, ada dua klasifikasi barang atau produk, yaitu thayyibaat dan khabaaits, ‘baik halal’ dan ‘buruk haram’. Di samping produksi untuk memenuhi kebutuhan, harus pula diperhatikan apakah produk tersebut dibolehkan dalam agama. Dua jenis barang tadi berlaku untuk input dan output. Input yang halal akan menghasilkan output yang baik, tetapi juga bisa memperoduksi barang yang dilarang agama, demikian juga sebaliknya. Konsep substitusi juga menarik untuk diperhatikan, di mana dalam Islam konsep substitusinya berbeda, manusia atau insan tidak tergantikan. Jika itu terjadi, namanya forced substitutes. Ini akan menjadi perbedaan yang sangat mendasar dengan teori produksi konvensional.

Asumsi yang digunakan dalam teori adalah hanya ada dua input, yaitu K dan L yang saling menggantikan (perfectly substitution). Apabila salah satu input dianggap tetap (di sini manusia), maka pendekatan di dalam teori produksi adalah one-input variable. Hal ini telah dijelaskan dalam teori produksi standar. Analisisnya hanya pada produktivitas manusianya (Marginal Productivity of Labor, MPL), tentunya analisisnya menjadi lebih sederhana, tidak perlu lagi pusing mencari kombinasi yang optimal. Teknologi yang digunakan dianggap tetap.

Pokok-pokok pikiran di atas menjadi pijakan/benchmark di dalam menganalisis atau mereview teori produksi dalam Islam.

TELAAH KRITIS

Dalam buku-buku teks standar mikro, seperti karangan Mankiw, Pyndick, Samuelson, Nicholson, dan lainnya, produksi didefinisikan sebagai transformasi sumber daya (input) atau barang menjadi sesuatu yang berbeda (produk lainnya). Secara fisik berbeda atau karena sudah dipindahkan ke lain tempat dan waktu.

Terdapat dua masalah yang harus dipecahkan dalam proses produksi, yaitu berapa output yang dihasilkan dan bagaimana kombinasi input yang baik untuk menghasilkan output tersebut (Lancaster, 1990). Proses produksi merupakan konsep arus karena sifatnya yang terus-menerus. Suatu output dapat dihasilkan dengan kualitas yang sama atau standardize. Sementara itu, metode atau cara berproduksinya disebut sebagai teknologi atau state of technology (Pyndick, 2001).

Proses produksi merupakan suatu perkara yang sifatnya teknis dan universal, prosesnya mengikuti hukum alam, sunnatullah. Keberhasilan dalam produksi ditentukan oleh bagaimana mengkombinasikan input dengan proses yang tepat. Dalam proses tersebut terlibat banyak pengaruh, seperti kemampuan manajerial dan sumber daya yang mumpuni (Tahir dkk, 1992). Banyak juga faktor yang sifatnya nonteknis dapat mempengaruhi proses dan output yang dihasilkan. Dalam perspektif inilah, agama Islam mempunyai pandangan yang lebih dalam.

Islam mempunyai perspektif beyond the product, produk tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen, tetapi harus bermanfaat (lebih tinggi dari sekadar terpenuhinya kebutuhan) dan mengandung mashlalah. Sebagai contoh, untuk memenuhi kebutuhan pangan, tidak saja makanan yang dapat mengenyangkan, makanan yang halal, bersih, makan dengan adab yang baik, membaca doa lebih dahulu, dibeli dari penjual yang baik dan jujur, akan memberikan mashlahah bagi tubuh. Kenyang saja tidak cukup, tetapi juga harus mashlahah. Produk atau barang mempunyai nilai spiritual sehingga dalam produksinya ada beberapa hal yang dianjurkan dan dihindari (Tahir dkk., 1992). Produk yang  lebih banyak menggunakan tenaga kerja akan lebih bermanfaat daripada produk dengan produksi mekanis atau lebih banyak peralatan dan teknologi. Dalam Islam, manusia lebih penting untuk diperhatikan dan diberdayakan.

Mari kita pelajari konsep tenaga kerja (employees) dalam teori produksi. Seseorang mempunyai hak untuk bekerja sendiri maupun bekerja pada orang lain (Koutsoyiannis, 1994). Misalnya, kita bisa menjadi pengusaha furniture dengan memproduksi kursi dan meja. Semua input material mulai dari pembelian kayu, paku, hingga peralatan, kita yang membeli. Kemudian, kita juga yang bekerja memproduksi meja dan kursi, selanjutnya dijual. Semua proses dari awal sampai penjualan dilakukan sendiri. Sebaliknya, orang lain yang juga dapat memproduksi furniture mempunyai cara yang berbeda, dia mendirikan perusahaan, dengan memperkerjakan orang lainnya. Di sini dia dapat mempekerjakan banyak orang sehingga dapat menghasilkan meja kursi lebih banyak.

Mengapa produksi dengan mendirikan perusahaan, lebih unggul dibandingkan dengan bekerja sendiri? Dalam paper ini  tidak akan dibahas mengapa orang bekerja sendiri atau membuat perusahaan. Hal yang akan didalami adalah konsep manusianya. Di sinilah konsep input sumber daya manusia atau tenaga kerja disusun. Perusahaan akan membuat perjanjian dengan tenaga kerja/buruh dengan ketentuan yang telah disepakati bersama, termasuk di dalamnya jumlah dan sistem upah yang dibayarkan.

Dalam kondisi pasar tenaga kerja sempurna, tenaga kerja dapat keluar masuk pasar dengan leluasa. Dia akan bergerak atau berpindah ke perusahaan lain yang memberikan upah lebih tinggi. Jika elastisitas tenaga kerja tinggi, maka eksploitasi manusia tidak terjadi, forced substitutes juga tidak dapat diterapkan. Justru apabila dia mempunyai keahlian tertentu dia dapat mematok upah atau gaji yang diinginkannya.

Sesuatu yang beyond memang pasti ada dalam hidup ini, tetapi agak sulit ketika harus dimasukkan ke dalam hal yang sifatnya hukum alam, berlaku bagi siapa pun. Penggunaan notasi, kalkulasi, dan pemodelan membutuhkan asumsi yang dapat dikuantifikasikan dan dicari hasilnya. Konsep berkah dalam agama Islam ada dalam setiap langkah kehidupan seorang muslim, pun dalam kegiatan perekonomian, termasuk kegiatan produksi.

A.  Teknologi adalah tetap dan Marginal Rate of Input Transformation

Cara bagaimana mengkombinasikan input dalam proses produksi untuk menghasilkan output, disebut teknologi (Pyndick dan Rubinfield). Dalam ilmu ekonomi, teknologi merupakan kendala (constraint) sehingga dianggap konstan, sama dengan asumsi dalam ekonomi Islam. Dalam prosesnya input yang digunakan sangat banyak dan bermacam-macam. Untuk alasan analisis, input produksi diasumsikan hanya dua, yaitu Labor (L) dan Capital (K), contohnya barbershop: L adalah karyawan potong rambut, K adalah alat alatnya (gunting, spray, sisir, dan lainnya), laundry:  L adalah karyawan yang mengoperasikan mesin dan menyetrikanya, K adalah mesin cuci. Jadi, dalam setiap unit usaha atau perusahaan hanya ada L dan K, masing-masing input dinilai berdasarkan produktivitasnya, di sini disebut Marginal Productivity (MP). Untuk menggunakan input diperlukan biaya, yaitu balas jasa faktor produksi.

Biaya dibagi dua, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Setiap jenis usaha mempunyai karakteristik biaya yang bermacam-macam. Pabrik personal computer (PC) sebagian besar biayanya adalah tetap, seperti komponen dan tenaga kerja. Pabrik software sebagian besar biayanya adalah sunk cost karena banyak untuk penelitian dan pengembangan produk/software. Pabrik pizza kebanyanyakan biaya tetap, seperti peralatan.

Produksi dibagi dua, yaitu produksi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Keduanya tergantung dari input yang digunakan. Jika salah satu input tetap, maka disebut jangka pendek. Disebut jangka panjang jika semua input adalah variabel. Di dalam Islam menganggap bahwa jangka pendek dan jangka panjang lebih banyak ditentukan oleh learning curve, di mana perubahan input manusia karena tidak dapat disubstitusikan dengan modal atau mesin begitu saja. Keduanya merujuk pada waktu (time horizon).

Dalam teori produksi konvensional, produksi merujuk pada perubahan suatu input. Di sinilah salah satu perbedaannya. Learning curve mengukur dampak pengalaman tenaga kerja terhadap proses produksi, menunjukkan output kumulatif yang dihasilkan dan jumlah tenaga kerja yang dihasilkan. Dampaknya, tenaga kerja yang dibutuhkan semakin menurun, diawal biaya akan tinggi, kemudian turun karena pengalaman tenaga kerja.

Baca juga:   Masa Sulit Wabah Covid-19

Perusahaan baru (new entry) biasanya memperoleh manfaat tinggi dari learning curve. Hal sebaliknya terjadi pada perusahaan lama yang sudah di sebuah industri (Henderson dan Quardt, 1980). Kurva belajar berkaitan dengan ajaran Islam, bahwa manusia harus selalu belajar sepanjang hidupnya (long life learning). Dalam hal ini, teori produksi dalam Islam tidak bertentangan atau baru dengan yang sudah ada.

Islam menghendaki kemuliaan manusia di atas input lainnya. Oleh karenanya, input variabel hanya pada kapital saja, manusia tidak boleh diubah dalam arti dikurangi begitu saja dan digantikan dengan modal. Dalam teori produksi, hal tersebut sebetulnya sudah terjelaskan, di mana apabila salah satu dianggap tetap, maka disebut produksi jangka pendek, sehingga paradigm produksi dalam Islam adalah jangka pendek karena input manusia harus tetap (non-substitutible). Maka, yang dapat dipelajari hanya produktivitas input modal saja (Marginal Productivity of Capital/MPK). Keseluruhan biaya dapat ditentukan oleh produktivitas tersebut (Cruz dan Salvatori, 1995).

Dalam teori produksi, substitusi antarinput juga dipengaruhi oleh pola atau fungsi produksinya (Joesron, 2003). Pertama, perfect substitutes, di mana proporsi kedua input sama, yang dijadikan acuan standar teori produksi dan kedua, fix proportion, di mana proporsinya sudah baku seperti produksi roti, es krim, dan lainnya. Mungkin juga, ada produksi yang salah satu atau beberapa inputnya tidak dapat disubstitusikan, contohnya produksi pesawat, smartphone, mobil dan produk teknologi lainnya. Tentu semakin kompleksnya proses produksi, teori produksi bisa saja tidak dapat diaplikasikan, meskipun norma dan tujuannya bisa.

Diketahui bahwa MC = ∆VC/∆Q, maka jika tenaga kerja mau dicari produktivitasnya, VC = wL. Jika L berubah, maka ∆VC = wVL dan MC = w∆L/∆Q. Marginal productivitinya adalah ∆MPL = ∆Q/∆L, sehingga MC = w/MPL. Biaya marginal ditentukan oleh produktivitas tenaga kerjanya (Pyndick, 2001). Karena produksi optimum (Least Cost Combination) terjadi ketika MPL/w = MPK/r, maka L tidak berubah karena manusia harus diutamakan. Kondisi keseimbangan (optimum) tersebut juga akan tergantung pada tingkat upah (w).

BK=BL mengandung makna matematis. Secara umum, apabila BK=BL berlaku, maka slope kurva isoinputnya adalah 1 karena di situ nilainya sama persis. Satu unit K sama dengan satu unit L. Jika diterjemahkan, maka seorang manusia sama dengan sebuah mesin. Meskipun maksudnya tidak begitu, tetapi penggunaan formula seperti itu akan keliru. Penggunaan eksponensial juga tidak tepat, karena nilainya pasti sama.

Untuk itu, perlu adanya contoh perhitungan secara matematis dan numerik. Jika hanya fungsi derivatifnya, differensiasinya tidak dapat dicari. Faktor berkah menjadi kunci utama pembahasan, mestinya ini yang lebih difokuskan.

B.  Isoinput

Isoinput adalah kombinasi input yang memproduksi output yang sama. Kurva yang digambarkan bentuknya hiperbolik. Kurva hiperbolik menunjukkan elatisitas kedua input X dan Y adalah tidak sama, hal itu tentu berbeda dan sulit dalam pembahasannya. Seandainya input manusia dianggap rigid, maka seharusnya notasi di dalamnya sekalian dengan manusia dan modal, bukan X dan Y lagi, sehingga dapat dipahami betul perbedaan dalam produksi Islam. Kombinasi optimum ada pada sepanjang kurva isoinput, pun perubahan dan pergeserannya. Jika tidak berada pada optimum dikatakan belum mencapai mashlalah.

Setiap input dalam produksi Islam haruslah mengandung berkah dengan formula Q =BT f(BK,BL). Penulis mungkin bisa salah, apakah fungsi tersebut sama dengan fungsi Cobb-Douglas, di mana Q = f(KαLβ), apabila eksponen α + β > 1 merupakan increasing rate of return, dapat dikatakan merupakan keberkahan? Input mana yang lebih mendatangkan banyak berkah, dalam proses produksinya dapat lebih diintensifkan. Meskipun maksud dan definisinya dapat berbeda, tetapi pendekatan di dalam perhitungannya dapat digunakan dengan cara yang sama.

C.  Produksi berdasarkan kebutuhan masyarakat

Hal lain lagi yang ingin dikaji dalam Islam adalah sebaiknya membuat produk berdasarkan kebutuhan masyarakat, terutama bagi masyarakat di sekitarnya dan memproduksi barang dengan input yang ada di sekitarnya juga. Konsep ini memang baik untuk pemberdayaan sumber daya lokal. Produksi itu dibatasi dengan kemampuan memanfaatkan sumber daya yang ada dan kebutuhan masyarakat saja. Hal ini dapat mengurangi potensi pasar sesungguhnya yang melewati batas wilayah apalagi dalam perkembangan perekonomian digital dewasa ini.

Faktor paling penting dalam proses produksi adalah penguasaan teknologi atau pengetahuan dalam berproses menciptakan produk. Dia dapat berada di mana saja, meskipun di sekitarnya tidak terdapat input atau sumber daya yang dibutuhkan. Dia dapat menjadikan wilayah atau tempat tinggalnya sebagai basis produksi yang dapat menyerap tenaga kerja warga sekitarnya. Jadi, konsepnya adalah bukan pada lokasi sumber dayanya, tetapi lebih pada kemampuan memproduksinya.

Dalam teori ekonomi, juga dikenal international factors movement di mana sumber daya dapat diperjualbelikan untuk mencari tingkat efisiensi. Produk Amerika Serikat banyak diproduksi di China sebagai basis produksi karena buruhnya murah dan infrastrukturnya memadai, sehingga produknya (contoh Iphone) dapat dijual lebih murah, berbeda jika diproduksi di AS. Pun dewasa ini tidak ada produksi yang berdiri sendiri, sebagian besar merupakan production sharing di mana di dalamnya terdapat global value chain.

Teori yang dijelaskan dalam buku Ekonomi Islam karya UII dan BI dapat diaplikasikan untuk produksi yang lebih sederhana dan pasar yang terbatas. Akan tetapi, akan sulit untuk menjelaskan produksi yang sifatnya massal, massif, dan global (catatan: hal ini juga berlaku untuk sektor keuangan, berkaitan dengan riba).

Nilai keislaman dapat menjadi variabel endogen yang melekat pada setiap tahapannya, tetapi sulit untuk membuat model tersendiri. Teori keberkahan bagi orang berbeda keyakinan juga pasti ada, seperti keyakinan blessing. Sebagaimana disebutkan di muka, pergeseran tenaga kerja karena adanya substitusi juga akan menggeser manusia ke pekerjaan yang lebih layak dan tidak bisa digantikan. Contohnya, produksi mobil akan membutuhkan seorang desainer, pembangunan gedung, jembatan, dan infrastruktur modern membutuhkan insinyur handal. Produksi massal pasti akan melibatkan unsur mesin dan teknologi, tetapi juga masih bisa dilakukan oleh manusia dengan nilai tambah yang berbeda. Contohnya, produksi mobil pasti massal, tetapi ada beberapa produsen mobil yang handmade, melibatkan dominasi manusia namun harganya menjadi sangat mahal, karena disana ada nilai (value) seperti dalam Islam.

Tidak pula apa yang dihasilkan di sekitar harus dikonsumsi oleh warga sekitarnya. Suatu daerah yang kaya sumber tambang, mungkin tidak membutuhkannya secara langsung. Pun juga dapat terjadi masyarakat sekitarnya tidak terserap tenaga kerjanya karena kualifikasi yang dibutuhkan tidak sesuai. Apakah hal tersbut menjadi hambatan dalam mengolah sumber daya alam tersebut? Tentunya tidak, ada mekanisme lain distribusi manfaat (mashlahah) bagi masyarakat melalui mekanisme subsidi, corporat social responsibility, dan bagi hasil atau kembalian dalam bentuk lainnya atas eksplorasi sumber daya di daerah tersebut.

Kita juga dapat memproduksi produk yang mungkin tidak langsung dibutuhkan masyarakat sekitarnya atau belum dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun, apabila penemuan produk tersebut mempunyai manfaat dan mashlalah yang besar di masa memdatang, maka tetaplah dapat diproduksi.

Dalam teori ekonomi, dikenal supply creates its own demand, orang mungkin akan berinovasi menciptakan produk yang belum dibutuhkan manusia, apakah hal tersebut merupakan sesuatu yang mubah? Tentunya tidak, banyak sekali produk yang sekarang dinikmati manusia merupakan produk yang tidak dibutuhkan sebelumnya. Sekarang tenaga listrik masih dapat dipasok dengan energi batubara dan bahan bakar, sebagian negara sudah menggunakan tenaga nuklir. Nah di Indonesia, saat ini belum memanfaatkannya, karena jika dihitung manfaat mudharatnya, masih lebih besar mudharatnya, seperti resistensi dari sebagian masyarakat. Namun, hal itu dapat saja terwujud suatu saat nanti.

PENUTUP

Secara umum, teori dan analisis produksi dan ekonomi Islam tidak mendapati banyak perbedaan dengan teori produksi konvensional, apalagi secara fungsi atau modeling terlihat sama. Meskipun ada usaha untuk membuat perbedaan dengan memasukkan unsur berkah, tetapi minimnya penjelasan dan contoh numerik menyebabkan masyarakat masih kebingungan.

Pendekatan nilai dapat dilakukan pada tataran normatif atau etika, tetapi tidak dapat diaplikasikan dalam analisis model. Dalam teori dan fungsi produksi, tidak dapat mengakomodasi nilai atau kualitas produk. Hal yang dapat dihitung hanya kuantitas dan harga atau biaya, sesuatu yang bersifat nominal data.

Pendekatan produksi dengan satu dan dua input variabel, mengasumsikan kedua input dapat disubstitusikan. Dalam ekonomi Islam, hal ini dikenal dengan natural substitution yang tergantung pada horizon waktu yang sangat lama. Tentu ini berbeda dengan asumsi dalam teori produksi di mana jangka waktu ditentukan oleh perubahan input. Forced substitution tidak diperkenankan, artinya jika substitusi mendatangkan mudharat, orang menjadi menganggur. Hal ini sebaiknya dihindari, terlepas dari skala ekonomis yang dihasilkan, asalkan belum shutdown point harus dipertahankan. Jika demikian, mekanisme substitusi akan sulit dilakukan dan cenderung akan mengabaikan efisiensi.

Nilai dan kandungan dalam Islam sangatlah mulia dengan menjadikan manusia sebagai subyek utama. Analisis human capital dapat dilakukan dan disimpulkan menjadi teori ekonomi pada tataran normatif terlebih dahulu karena asumsinya bertolak belakang seperti non-substituble, value, berkah, mashlahah, dan falah, tetapi tidak muncul dalam contoh perhitungannya, formula yang ditawarkan masih intuitif. Keynes dalam buku aslinya The General Theory of Employment, Interest and Money juga tidak ada perhitungan kuantitatifnya sampai kemudian ekonom Neo-Keynesian seperti Samuelson dan Friedman membuat analisis kuantitaif dan grafisnya.

Untuk saat ini, penulis merasa lebih baik norma-norma dalam Islam diletakkan dulu pada aplikasinya terutama bagi produsen muslim. Memaksakan ke dalam fungsi, teorema, modeling yang mirip atau terkesan replikasi mengakibatkan teori ekonomi Islam kurang berkembang dan belum dapat diterima oleh masyarakat, pun oleh umat Islam itu sendiri. Ghirrah beragama dapat dilakukan dengan menunaikan apa yang diajarkan, tidak harus menolak atau menyalahkan yang dihasilkan oleh orang lain, sambil tetap membangun dan belajar untuk menyamai ilmu dan penguasaan teknologi yang telah mereka capai.

Referensi

Cruz, Heinz D. and Salvadori, Neri. 1995. Theory of Production: A Long-Period Analysis, Cambridge University Press.

Henderson, James  M. dan Quardt, Richard E. 1980. Microceconomi’s Theory. A Mathematical Approach, Mcgraw-Hill Company.

Joesron, Tati Suhartati, dan Fathorrozi M. 2003. Teori Ekonomi Mikro, Dilengkapi Beberapa Bentuk Fungsi Produksi, Penerbit Salemba Empat, Jakarta

Koutsoyiannis. 1994. Modern Microeconomics, 2nd Edition, The MacMillan Press Ltd, London.

Lancaster, Kelvin. 1990. The Economics of Product Variety: A Survey, Marketing Science Vol. 9, No. 3.

Nicholson, W. 2005. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya, Edisi Kedelapan, Alih Bahasa IGD Bayu Mahendra dan Abdul Aziz, Jakarta: Penerbit Erlangga

Pindyck, R.S. and D. L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics. Sixth Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.

P3EI UII. 2015. Ekonomi Islam, Ed 1 Cet 7, Rajawali Press, Jakarta.

Stiglitz, Joseph E. 1993. Principles of Microeconomics. W.W Norton & Company, Inc. New York.

Tahir S., Aidit Ghazaly, and Syed Omar Syed Agil. 1992. Readings in Microeconomics: An Islamic Perspective, Longman Malaysia.