Apa yang dimaksud dengan tanam paksa

Apa yang dimaksud dengan tanam paksa

Sistem Tanam Paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

4 pokok aturan sistem tanam paksa :

  1. Tuntutan kepada setiap rakyat Pribumi agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
  2. Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
  3. Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
  4. Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan


Dengan demikian, aturan tanam paksa sangat merugikan masyarakat Indonesia dan hal ini merupakan suatu bentuk penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Secara teori, tanam paksa atau cultuurstelsel adalah sebuah kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda dimana rakyat Hindia Belanda harus menyerahkan seperlima hasil tanaman ekspor mereka sejak tahun 1830.

Sekilas, jumlah seperlima atau 20% tersebut mungkin tidak akan terlalu memberatkan para petani, namun kenyataannya, rakyat Indonesia justru sangat menderita. Itu karena, implementasi kebijakan tersebut menyimpang jauh dan memberikan dampak buruk terhadap ekonomi dan kesejahteraan sosial rakyat Indonesia saat itu.

Tokoh yang berperan besar dalam implementasi sistem ini adalah Gubernur Johannes van den Bosch yang merupakan pencetus sistem tanam paksa di Indonesia pada masa itu.

Van den Bosch adalah orang berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-43 pada tahun 1830-1834.

Baca Juga

Pemberlakuan sistem tanam paksa ini didorong oleh kondisi keuangan pemerintah Belanda saat itu yang sedang berada di ujung tanduk. Selama beberapa dekade sebelumnya, Belanda mengalami defisit. Banyak dana yang hilang, entah karena korupsi maupun perang.

VOC yang sebelumnya merupakan kompeni kebanggaan Belanda pun harus dibubarkan karena korupsi yang merajalela. Bahkan, ketika dibubarkan pada 31 Desember 1799, VOC meninggalkan hutang yang sangat besar, yakni sekitar 1300 gulden.

Selain tu, kerajaan Belanda pun harus menghadapi hutang akibat perang. Contohnya perang Napoleon, Perang Belgia, dan Perang Diponegoro. Dari Perang Diponegoro, Belanda diperkirakan harus mengeluarkan dana sebesar 25 juta gulden. Sedangkan dari kekalahan Perang Napoleon, Belanda harus mengganti seluruh pengeluaran perang kedua pihak.

Oleh sebab itu Johannes van den Bosch diangkat menjadi gubernur jenderal dengan harapan bisa mengolah daerah jajahan Belanda agar menghasilkan pundi-pundi uang untuk menutup utang tersebut dan mengisi kas Belanda.

Baca Juga

Di bawah pemerintahan Van den Bosch, Belanda menerapkan sistem tanam paksa yang dikenal dengan istilah Cultuurstelsel dalam bahasa Belanda.

Dalam sistem ini, penduduk desa diminta untuk menanam hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasaran dunia pada saat itu untuk diekspor. Mereka menanam teh, kopi, tebu dan lain lain.

Melalui kebijakan ini, pemerintah Belanda mewajibkan rakyat menanami seperlima dari tanahnya untuk kemudian menyerahkan hasil ladang kepada Belanda.

Penyimpangan sistem tanam paksa adalah semakin bertambahnya penggunaan lahan sampai mencapai setengah bagian ladang. Selain itu, tanah yang awalnya digarap petani pribumi dan telah dibebaskan dari pajak pada pelaksanaannya tetap saja dikenai pajak sewa tanah. Hasil penjualan tanaman-tanaman tersebut juga harus diserahkan kepada Belanda.

Jika rakyat tidak memiliki lahan, maka mereka dapat menggantinya dengan berkontribusi dalam pengangkutan hasil-hasil kebun atau pabrik selama kurang lebih 66 hari.

Kenyataan pahit lainnya, kerugian panen yang sejatinya akan ditanggung oleh Belanda, nyatanya tidak terjadi. Petani yang mengalami gagal panen harus menanggung sendiri semua kerugiannya. Semua pekerjaan pun diawasi oleh pengawas dari pribumi sedangkan para petinggi dari Belanda hanya mengawasi pekerjaan secara umum.

Tanam paksa boleh dibilang merupakan era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda di Indonesia. Sistem ini bahkan jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.

Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditas tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940.

Baca Juga

Diterapkannya sistem penanaman secara paksa tentu memberikan berbagai dampak terhadap di Indonesia. Bahkan, terdapat dampak-dampak yang mungkin mempengaruhi keadaan Indonesia sekarang. Kira-kira apa saja ya dampak tanam paksa terhadap kehidupan rakyat Indonesia saat itu?

  1. Indonesia jadi kenal sama tanaman yang laku diperdagangkan secara internasional, atau dengan kata lain jadi punya komoditas ekspor yang laku seperti kopi, teh, tarum, dan lain sebagainya.
  2. Tenaga buruh menjadi murah dan masyarakat pedesaan mengenal sistem permodalan sehingga terjadi perubahan pola transaksi dari pola transaksi tradisional ke arah pengembangan ekonomi moneter.
  3. Rakyat Indonesia kelaparan karena tidak bisa menanam padi maupun jagung untuk dimakan. Korban jiwa pun tidak dapat dihindari.
  4. Rakyat Indonesia harus mengalami kemiskinan karena harga diatur oleh pihak Belanda. Mereka juga masih harus membayar pajak.
  5. Infrastruktur Indonesia dibangun demi memperlancar distribusi hasil tanam paksa. Contohnya jembatan, jalan raya, pelabuhan, dan rel kereta api dikembangkan untuk mengangkut hasil tanam paksa.

Penerapan sistem yang tidak manusiawi ini mendapatkan banyak kritik dari pejuang Indonesia serta aktivis HAM di Belanda. Pada akhirnya sistem ini dihentikan pada tahun 1970. Untuk “membalas budi” terhadap rakyat Hindia Belanda (Indonesia), Belanda menerapkan sistem Politik Balas Budi atau yang juga dikenal sebagai Politik Etis.

Apa yang dimaksud dengan tanam paksa
Ilustrasi sawah. ©2018 Merdeka.com

SUMUT | 24 Juni 2020 14:02 Reporter : Ani Mardatila

Merdeka.com - Indonesia telah dijajah oleh Belanda selama hampir 350 tahun lamanya. Kala itu Indonesia disebut sebagai Hindia Belanda. Di mana setelah Belanda datang ke Indonesia, mereka memulai praktik eksploitatif seperti tanam paksa.

Tanam paksa atau Sistem Kulvasi, Sistem Budidaya atau Cultuurstelsel merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila).

Tanaman ekspor tersebut nantinya kemudian dijual dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial, dan bagi warga yang tidak memiliki tanah harus bekerja selama 75 haru dalam setahun pada kebun milik pemerintah.

Sistem tanam paksa ini diketahui lebih keras daripada saat monopoli VOC, sebab ada target yang harus dipenuhi untuk pemasukan penerimaan pemerintah kolonial yang saat itu sangat dibutuhkan.

Pemasukan tersebut kemudian digunakan untuk membayar hutang Belanda sebab, kas pemerintah Belanda amblas setelah Perang Jawa tahun 1830. Sistem itu pun berhasil dan pemerintah Belanda meraup keuntungan yang amat besar.

2 dari 5 halaman

Tahun (1825-1830) Belanda telah berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di Jawa dalam Perang Diponegoro. Namun hal itu menyebabkan keuangan Belanda menjadi surut bahkan memiliki utang. Oleh sebab itu Raja Wiliam 1 mengutus Johannes van den Bosch untuk mencari cara menghasilkan uang dari sumber daya di Indonesia.

Lahirlah Cultuurstelsel, para petani sangat menderita kala itu karena alih-alih mereka berfokus menanam padi untuk makan sendiri, mereka malah harus menanam tanaman ekspor yang harus diserahkan ke pemerintah kolonial.

Van den Bosch menyusun peraturan-peraturan pokok yang termuat pada lembaran negara (Staatsblad) Tahun 1834 No.22 sebagai berikut:

  1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasar Eropa.
  2. Bagian tanah tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk di desa.
  3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagang tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  5. Tanaman dagang yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih profitnya harus diserahkan kepada rakyat.
  6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
  7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Meski peraturan tersebut jelas memberatkan para petani dan penduduk, namun kenyataan di lapangan, penderitaan yang dialami jauh lebih besar dan berkepanjangan karena dicekik kemiskinan dan ketidaktentuan penghasilan ke depannya.

3 dari 5 halaman

Secara ringkas, berikut tujuan tanam paksa yang diberlakukan oleh Van den Bosch pada rakyat Indonesia:

  1. Mengisi kembali kas negara Belanda yang kosong karena pengeluaran negara yang sangat banyak saat Perang Jawa.
  2. Membantu menyediakan dana untuk membayar utang negara yang sangat besar akibat peperangan.
  3. Memberi suntikan dana untuk membiayai peperangan yang dilakukan di Eropa dan di Indonesia.
  4. Mendapatkan keuntungan sebesar – besarnya untuk pendapatan negara.

4 dari 5 halaman

Berikut dampak tanam paksa bagi rakyat Indonesia di era Van den Bosch:

  • Rakyat menderita dan memiliki beban yang sangat berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, mengikuti kerja rodi dan juga membayar pajak.
  • Timbulnya berbagai wabah penyakit serta kelaparan yang berkepanjangan karena kesejahteraan yang tidak tercapai akibat tidak mempunyai penghasilan yang cukup.
  • Kemiskinan yang semakin meluas.
  • Para petani yang menanam paksa menjadi tahu berbagai tanaman ekspor ke depannya serta Teknik menanamnya.

5 dari 5 halaman

Apa yang dimaksud dengan tanam paksa
ilustrasi ©2013 Merdeka.com/imam buhori

Pada tahun 1840, penderitaan rakyat sudah terlihat sangat jelas dengan berbagai wabah penyakit di mana-mana serta kelaparan yang meraja lela. Di samping hal tersebut, pajak naik dan menyiksa rakyat.

Akhirnya setelah dua puluh tahun kemudian secara berangsur, sistem tanam paksa dihapus secara radikal. Mulai dari tanam paksa lada, indigo, teh, tebu dan menyusul lainnya. Di Jawa, sistem tanam paksa benar-benar dihapus pada tahun 1870.

(mdk/amd)