Apa arah yang ingin dicapai dalam cogito ergo sum

COGITU Ergo Sum adalah ungkapan dari bahasa Latin yang diutarakan oleh Rene Descartes, filsuf ternama Perancis yang artinya “Aku berpikir maka aku ada”.  Ungkapan tersebut dimaksudkan untuk membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan manusia itu sendiri. Keberadaan manusia bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa untuk berpikir sendiri.

menurut pandangan psikolog, manusia adalah obyek ilmu pengetahuan yang memiliki pola pikir sehingga memiliki kecenderungan untuk mempelajari ilmu. Nah, kemampuan manusia untuk dapat berpikir sendiri dan kecenderungannya untuk mempelajari ilmu sangat dipengaruhi oleh informasi atupun ilmu pengetahuan yang ia dapat.

Dari penjelasan tersebut, dalam arti sempit dapat dikatakan bahwa kemampuan seseorang dalam berpikir, berbicara, maupun mengekspresikan diri sangat dipengaruhi oleh apa yang ia baca. Semakin banyak yang ia baca maka semakin banyak pengetahuan yang ia dapat.

Dengan demikian, semakin banyak pula pemikiran yang bisa ia sampaikan (baca: berbagi ilmu pengetahuan) kepada orang lain. Dalam hal ini bila berbicara dalam ranah pendidikan, ada banyak cara yang bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan pemikiran tersebut, baik secara formal (melalui kelas) maupun informal (diluar kelas).

Mahasiswa dan Buku

Mahasiswa sebagai agen penggerak perubahan (agent of change) memiliki peran penting dalam konstelasi kemajuan suatu bangsa. Seorang mahasiswa hendaknya tak ketinggalan dengan perubahan yang sedang terjadi, melainkan senantia bisa menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

Dus, mahasiswa harus selalu diasah kemampuan berpikirnya, ditambah dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yang berkembang pesat agar dapat menyesuaikan dengan perubahan-perubahan sosial yang serba cepat, sebagai konsekuensi modernisasi dan industrialisasi yang telah mempengaruhi nilai-nilai moral dan etika serta gaya hidup.

Salah satu sarana untuk menambah ataupun mengasah kemampuan berpikir mahasiswa adalah perpustakan. Dengan koleksi perpustakaan (buku) yang dilayankan, berbagai macam ilmu pengetahuan bisa didapatkan secara gratis. Semua tergantung kemauannya, apakah mahasiswa itu mau memanfaatkan buku/koleksi perpustakaan atau hanya membiarkannya sebagai pajangan pelengkap isi sebuah gedung agar terlihat sempurna.

Karena itu sebagai mahasiswa baru sebuah universitas yang memiliki visi sebagai universitas berbasis konservasi bereputasi internasional sudah selayaknya untuk “melengkapi” khazanah berpikirnya dengan ilmu pengetahuan yang tersaji gratis di perpustakaan.

Berbagai riset telah membuktikan, kegemaran membaca seseorang memiliki korelasi positif dengan kemampuan berpikirnya. Dengan demikian, membaca dapat membuat mahasiswa eksis dalam dunia pemikiran. Aku membaca maka aku berpikir, aku berpikir maka aku ada.

MZ Eko Handoyo, pustakawan Universitas Negeri Semarang

October 26, 2020 1,739 views

Oleh Trio Kurniawan, M. Fil. (Dosen Filsafat di STKIP Pamane Talino, Founder Betang Filsafat)

Pendahuluan

Saya perhatikan bahwa kebenaran ini: saya berpikir, jadi saya ada (cogito ergo sum), begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga semua anggapan kaum skeptik yang paling berlebihan pun tidak akan mampu menggoyahkannya. Karena itu, saya menilai bahwa tanpa takut salah saya dapat menerimanya sebagai prinsip pertama dari filsafat yang saya cari.[1]

Argumen Rene Descartes yang terkenal ini, cogito ergo sum, seakan menjadi jalan pembuka menuju masa modernitas. Rasionalisme berdiri dan meninggalkan kejayaan masa skolastik. Descartes seakan menjadi penabuh genderang perang melawan cara berpikir masa skolastik yang membelenggu ilmu pengetahuan saat itu. Bersama dengan beberapa filosof awal masa modern, Rene Descartes melancarkan kritik atas pemikiran masa skolastik, sembari membangun dasar-dasar pemikiran filsafat modern.

Ketika pada masa sebelumnya orang-orang meyakini bahwa klaim pengetahuan hanyalah milik Gereja, karena Gereja adalah tempat Tuhan mewahyukan ajaran-Nya, Rene Descartes memunculkan cara berpikir filosofisnya yang baru dalam menemukan kebenaran. Ia meyakini bahwa berpikir adalah jalan yang paling tepat untuk menemukan kebenaran. Kebenaran ”saya berpikir, jadi saya ada” baginya adalah kebenaran yang begitu kokoh dan tak tergoyangkan.

Thesis Rene Descartes ini kemudian melahirkan aliran filosofis baru dalam dunia filsafat: rasionalisme. Rasionalisme adalah bagian dari subjektivisme yang mengagungkan peran sentral akal budi manusia dalam melahirkan kebenaran-kebenaran baru. Rene Descrates sendiri menganggap bahwa pengalaman empiris/inderawi adalah ilusi semata. Pengalaman inderawi harus selalu disangsikan kebenarannya. Indera manusia bersifat menipu,[2] karena itu tidak dapat ditarik kebenaran apapun dari segala hal yang menipu.

Cara berpikir Rene Descartes ini memunculkan pertanyaan epistemologis di dalam benak Penulis: kebenaran yang ditawarkan oleh Rene Descartes ini apakah bersifat personal ataukah universal? Rene Descartes meyakini bahwa setiap manusia yang berpikir, yang menanggalkan keyakinannya pada fakta-fakta inderawi akan dapat mencapai kebenaran. Pada titik ini, kebenaran yang ditawarkan oleh Rene Descartes tampaknya bersifat personal karena setiap manusia dapat mencapai kebenaran tersebut asal melalui cara yang benar. Karena itu, jika setiap manusia dapat mencapai kebenaran lewat akal budinya sendiri, lantas adakah kebenaran universal, yang berasal dari “kumpulan” kebenaran-kebenaran manusia? Jika memang kebenaran tidak bersifat personal, bagaimana menjembatani kebenaran-kebenaran yang dihasilkan oleh pemikiran setiap individu? Apakah efek dari personalitas ataupun universalitas kebenaran ini?

Lewat tulisan ini, Penulis akan menjelajahi lagi pemikiran Rene Descartes sehingga pertanyaan-pertanyaan yang Penulis ajukan menemukan jawabannya. Tulisan ini memang akan terfokus pada dimensi epistemologis pemikiran Rene Descartes. Beberapa hal penting yang berguna untuk memahami pemikiran Rene Descrates juga akan ditambahkan.

Selintas Riwayat Hidup Rene Descartes

Rene Descartes lahir di Touraine Perancis pada tanggal 31 Maret 1956, 4 tahun sebelum Bruno dibakar oleh Inkuisi Gereja Katolik karena dianggap sebagai bidaah Gereja setelah menjadi pengikut dari pemikiran Copernicus.[3] Rene Descartes merupakan anak dari seorang pengacara terhormat. Karena itu, masa kecil Rene Descartes dipenuhi dengan kemewahan  a la kehidupan kaum borjuis.

Sejak kecil, Rene Descartes sudah diperkenalkan pada ilmu-ilmu huamniora oleh keluarganya. Pada usia 10 hingga 18 tahun, Rene Descartes belajar di La Fleche, sebuah sekolah terkenal di Eropa yang dikelola oleh para imam Jesuit. Di sekolah itu, ia belajar dan membaca banyak hal. Rene Descartes menjadi siswa yang sangat cerdas, terutama pada ilmua matematika dan geometri. Namun demikian, ia sendiri menyadari bahwa keraguannya akan kebenaran yang ia terima dari cara berpikir di sekolah tersebut justru muncul ketika ia menyelesaikan studinya. Berkaitan dengan hal tersebut, Rene Descartes berkata:

Namun, begitu saya menyelesaikan seluruh studi, dan pada saat itu biasanya si pelajar diterima dalam kalangan kaum cendekiawan, pendapat saya berubah sama sekali. Sebab, saya malaham merasa tidak yakin lagi dengan adanya demikian banyak keraguan dan kekeliruan, sehingga saya merasa dengan belajar saya tidak mendapat manfaat lain selain kesadaran yang semakin tajam bahwa saya tidak tahu apa-apa. Padahal saya mengikuti pendidikan di salah satu sekolah yang paling terkenal di Eropa.[4]

Ketidakpuasannya akan hasil belajar yang ia peroleh selama tahun-tahunnya di La Fleche membawa Rene Descartes pada petualangan-petualangan yang memperkaya cara berpikir filosofisnya kelak.

Ketika ia lulus dari Le Fleche, Rene Descartes berhenti membaca dan mulai berkelana. Pada masa-masa ini, ia mengalami kebimbangan akan kebenaran yang sejati. Ia dengan tegas meyakini bahwa matematika adalaah satu-satunya ilmu yang pasti karena banyak membantu Copernicus ataupun ilmuwan lainnya dalam menemukan kebenaran-kebenaran ilmiah baru. Namun apakah matematik memiliki hubungan dengan ilmu yang lain, Rene Descartes masih belum yakin.

Rene Descartes pada tahun 1618 bergabung dengan tentara Pangeran Maurice dari Nassau sebagai sukarelawan. Namun karena kecintaannya pada pengetahuan, ia tetap mempelajari matematika dan musik selama masa-masa dinas ketentaraannya. Ia tidak dibayar dalam tugas ketentaraannya tersebut. Sebaliknya, Rene Descartes justru beberapa catatan kecil dan tulisan mengenai matematika dan musik. Tulisan-tulisannya tentang musik termuat dalam buku Compendium Musicae yang diterbitkan setelah kematiannya.[5]

Pada tahun 1619, Rene Descartes dikirim untuk bergabung dengan pasukan Duke of Bavaria. Namun karena hambatan cuaca di bulan November, ia terhenti di salah satu kota kecil di Jerman. Ia tinggal berhari-hari di kamarnya sambil menunggu masa keberangkatannya. Masa permenungan ini tampaknya menjadi “masa emas” bagi pemikiran filosofis Rene Descartes. Di tempat inilah ia mengalami “penampakan filosofis” yang mengubah seluruh pemikirannya tentang cara berfilsafat. Dalam penampakannya, ia berencana untuk menggabung filsafat dan segala ilmu pengetahuan ke dalam satu totalitas sistematis.[6]

Pemikiran-pemikiran Rene Descartes ini ditulisnya dalam beberapa buku, termasuk salah satu yang paling terkenal hingga saat ini adalah Discourse on Method (Discours de la Méthode). Buku ini diterbitkan pada tahun 1637, tiga tahun setelah ketakutan Rene Descartes atas hukuman mati yang diterima oleh Galileo Galilei oleh Badan Inkuisi Gereja. Sepuluh tahun kemudian (1647), Rene Descartes menerbitkan lagi bukunya Meditation on First Philosopy (Meditationes de prima Philosophia). Dua puluh dua tahun kemudian, bukunya Discourse on Method dilarang oleh Gereja Katolik untuk dibaca.

Rene Descartes meninggal pada tanggal 1 November 1650 karena Pneumonia selama seminggu perjalanan kembalinya setelah mengajarkan filsafatnya kepada Ratu Christina dari Swedia. Pemikiran Rene Descartes tetap dibaca dan digunakan hingga saat ini. Ia adalah salah satu filosof terbesar Perancis.

Metode Rene Descartes

Rene Descartes adalah filosof pertama yang meletakkan kesadaran sebagai dasar pemikiran filosofis. Cara berpikir yang seperti inilah yang menempatkan dirinya sebagai Bapak Filsafat Modern. Selain itu, Rene Descartes juga memunculkan metode yang sungguh-sungguh baru untuk menggumuli ilmu pengetahuan, berbeda dengan metode yang biasa digunakan pada masa skolastik. Metode Rene Descartes ini biasa disebut juga dengan Kesangsian Metodis (Le doute Methodique).

Lewat metodenya ini, Rene Descartes ingin menemukan sebuah fundamen yang kokoh, yang tak tegoyahkan, untuk menjadi dasar bagi pemikiran filosofis dan pengetahuan lainnya. Bagaimana ia memulainya? Rene Descartes mulai dengan sebuah kesangsian (keraguan) atas segala sesuatu yang bersifat material. Ia meragukan apakah tubuhnya ini nyata atau tidak. Tak bisa dipungkiri bahwa indera kerap kali menipu. Rene Descartes mengatakan bahwa apa yang ditangkap oleh indera manusia bersifat menipu. Pengalaman inderawi menghalangi manusia untuk sampai pada pengetahuan sejati. Contohnya: langit siang hari jika terlihat mata tampak berwarna biru. Kenyataannya, langit tidaklah berwarna biru. Itulah sebabnya Descartes kemudian sangat meragukan pengalaman inderawi. Bagi Descartes, semakin jelas suatu ide dalam terang akal budi, maka semakin sesuailah ide tersebut dengan realitas, bukan sebaliknya.[7]

Dalam permenungannya akan kesangsian ini, Rene Descartes menyadari bahwa semakin ia meragukan sesuatu (entah apa yang ia ragukan itu benar atau tidak), justru dia sadar bahwa ia semakin ada. Justru kesangsian inilah yang menunjukkan bahwa manusia itu nyata.[8] Kesangsian adalah buah dari aktivitas berpikir manusia. Semakin seseorang meragukan segala sesuatu, semakin ia masuk dalam aktivitas berpikir, semakin ia sadar. Karena itulah Rene Descartes kemudian menemukan dirinya sebagai “Ada yang berpikir”: cogito ergo sum! Setiap orang yang mempelajari pemikiran Rene Descartes dan mencoba menemukan kebenaran yang tak tergoyahkan sebagaimana yang dicari olehnya tetap akan sampai kebenaran filosofis ini: saya berpikir, maka saya ada.[9]

Sebenarnya, ujung dari meditasi filosofis Rene Descartes ini adalah apa yang disebut dengan self awareness (kesadaran diri). Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan karena aku mengertinya secara jelas dan tak terpilah-pilah (claire et disctincte). Cogito ini tidak ditemukan dengan deduksi dari prinsip-prinsip umum atau dengan intuisi.[10] Maka Rene Descartes sendiri menyimpulkan bahwa “Saya/Subjek Rasional/Pribadi” adalah suatu substansi yang seluruh esensi dan kodratnya hanyalah berpikir dan untuk keberadaannya tidak memerlukan ruang sedikitpun, dan tidak bergantung pada benda materi apapun.[11]

Rene Descartes kemudian merumuskan jalan berpikir yang ia tawarkan dalam Kesangsian Metodis dalam 4 bentuk/aturan arah berpikir[12]:

  1. Tidak menerima sesuatu sebagai kebenaran jika tidak menyajikan kepada pikiran suatu kejelasan yang tidak dapat diragukan.
  2. Merinci suatu permasalahan ke dalam permasalahan-permasalahan yang lebih kecil dan detail.
  3. Memulai pemikirannya dengan hal yang paling sederhana dan mudah untuk dimengerti. Kemudian membangun penalaran menurut tingkat permasalahan dari yang paling sederhana ke arah yang lebih luas dan lebih kompleks.
  4. Melihat kembali rangkaian berpikir sebelumnya untuk memastikan bahwa tidak ada yang dihilangkan.

Aturan arah berpikir yang disusun oleh Rene Descartes sangat dipengaruhi oleh cara berpikir matematis. Tak heran karena ia sendiri adalah seorang ahli matematika yang sangat jenius.

Rasionalisme: Buah dari Kesangsian Metodis Rene Descartes

Pemikiran Rene Descartes ini kemudian melahirkan satu paham baru dalam dunia filsafat, yaitu rasionalisme. Inti dari paham rasionalisme adalah bahwa hanya dengan prosedur tertentu dari akal budi saja manusia dapat sampai pada pengetahuan yang sebenarnya (sejati).[13] Dari pemahaman ini, ada 2 hal penting yang patut digaris-bawahi, yaitu prosedur dan akal budi. Prosedur mengandaikan logika (cara berpikir) dan akal budi mengandaikan dasar utama dari pengetahuan tersebut.

Kaum rasionalis meyakini bahwa akal budilah yang melahirkan pengetahuan bagi manusia. Karena itu mereka menafikan peran pengalaman inderawi. Bagi kaum rasionalis, pengalaman inderawi tidak memiliki peran apapun dalam menciptakan pengetahuan. Akal budi sudah memiliki kapasitas yang lebih dari cukup untuk menciptakan pengetahuan.

Rasionalisme menyatakan bahwa akal budi bersifat universal dalam diri manusia. karena itu, pikran yang merupakan buah dari akal budi manusia merupakan elemen terpenting dari sifat alami manusia. Pemikiran merupakan alat satu-satunya dari kepastian pengetahuan. Akal merupakan satu-satunya alat yang baik dan benar dalam menentukan apa yang baik dan benar secara moral dalam hidup bermasyarakat.[14]

Kebenaran Epistemologis Rene Descartes: atau Personal atau Universal?

Cara berpikir Rene Descartes yang menyangsikan segala hal secara metodis agar manusia memperoleh kebenaran ini memunculkan pertanyaan: bersifat apakah kebenaran yang ditawarkan oleh Rene Descartes? Apakah setiap manusia bisa mencapai kebenaran filosofis yang ia tawarkan?

Kebenaran yang ditawarkan oleh Rene Descartes ini bisa saja bersifat personal. Mengapa? Karena Rene Descartes sendiri menunjukkan kekuatan akal budi setiap manusia untuk menemukan kebenaran. Dengan demikian, setiap manusia (sejauh ia menggunakan akal budinya) dapat menemukan kebenarannya sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini orang-orang mengakui kekuatan akal budi dalam menghasilkan pengetahuan. Keyakinan yang berlebihan akan ciri personal yang ditawarkan dalam pemikiran Rene Descartes ini bisa saja membawa umat manusia pada kehancuran.

Adolf Hitler adalah bukti nyata dari manusia yang meyakini bahwa apa yang ia hasilkan dari akal budi merupakan kebenaran yang tak terbantahkan. Keyakinan Hitler atas hasil olah pikir akal budinya justru menciptakan diri Hitler yang arogan, totaliter dan kejam. Ideologi yang diciptakan dari kreasi akal budi Hitler sukses menjadikannya sebagai diktator paling kejam di dunia karena membunuh jutaan kaum Yahudi.

Jika dilihat secara jeli dan tepat penjelasan Rene Descartes tentang pemikiran filosofisnya, kebenaran epistemologis yang ia tawarkan tampaknya bukanlah bersifat personal, melainkan universal. Mengapa? Ada beberapa penjelasan yang memperkuat argumen ini:

  1. Rene Descartes meletakkan pendasaran filosofisnya pada manusia sebagai “Ada yang berpikir”. Karena itu, heterogenitas manusia di dunia ini dipersatukan oleh akal budinya. Akal budi adalah sesuatu yang bersifat universal dalam diri manusia. klaim akal budi pun dengan demikian tak bisa bersifat personal.
  2. Bagaimana menjembatani heterogenitas tersebut? Rene Descartes menawarkan Kesangsian Metodis sebagai jembatan yang menyatukan cara berpikir manusia dari berbagai aspek dan latar belakang pengetahuan. Sejauh manusia mengikuti jalan berpikir Kesangsian Metodis ini, maka mereka akan dapat sampai pada kebenaran yang sama.
  3. Bagaimana halnya jika ternyata mungkin dikemudian hari manusia menemukan jalan berpikir lain yang logis dan sistematis, namun membawa manusia pada situasi yang hancur dan buruk karena kepentingan berbagai kelompok? Rene Descartes ternyata mempersiapkan aturan moral yang bisa menuntun jalan berpikir manusia agar tidak sampai pada kehancuran semacam itu. Kaedah moral tersebut di antaranya adalah mematuhi undang-undang serta adat istiadat dan agama yang berlaku di masyarakat, bersikap sekuat dan setegas mungkin dalam tindakan (memiliki prinsip), mengalahkan diri sendiri (nafsu-nafsu, kecenderungan buruk dll.).[15]

Penutup

Rangkaian pembelajaran tentang kebenaran epistemologis yang ditawarkan oleh Rene Descartes ini semakin mempertegas keyakinan Penulis akan adanya kebenaran universal yang bisa dicapai oleh setiap manusia. Kebenaran tidak bisa diklaim hanya oleh perorangan atau kelompok, apalagi jika kebenaran semacam itu digunakan untuk kepentingan perorangan atau kelompok semata.

Kebenaran yang bersifat universal semacam ini juga oleh Penulis diyakini sebagai tawaran baik bagi setiap orang untuk sampai pada kebenaran dengan menggunakan metode yang baik dan benar. Rene Descartes memberikan suatu metode yang bisa digunakan oleh siapapun yang mau untuk belajar berfilsafat dan menemukan kebenaran.

Akhirnya, sebagaimana pikiran manusia hanya menjadi nyata ketika dibahasakan atau diartikulasikan, kemampuan akal budi setiap orang pun akan semakin terasah ketika ia memiliki sarana yang memadai. Gagasan Penulis ini sekaligus menjadi kritik atas kelalaian negara dalam menyediakan sarana dan pra-sarana yang memadai untuk pendidikan setiap orang di Indonesia. Alat-alat untuk belajar dibagikan secara tidak merata di seluruh negeri. Maka jangan heran jika tidak setiap orang di Indonesia dapat menyalurkan kreativitas akal budinya dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Copleston, Frederick. A History of Philosopy Book II Vol. IV Descartes to Leibniz. New York: Bantam Doubleday Dell Publishing Group. 1963 & 1964.

Descartes, Rene. Risalah tentang Metode (terj. Ida Sundari Husen dan Rahayu S. Hidayat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1995.

Garvey, James. 20 Karya Filsafat Terbesar. Yogyakarta: Kanisius. 2010.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2007.

Keraf, A. Sony dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius. 2001.

Lavine, T. Z. Descartes: Masa Transisi Bersejarah Menuju Dunia Modern (terj. Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama). Yogyakarta: Jendela. 2003.

[1] Rene Descartes, Risalah tentang Metode (terj. Ida Sundari Husen dan Rahayu S. Hidayat), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 34.

[2] Ibid., hlm. 33.

[3] T. Z. Lavine, Descartes: Masa Transisi Bersejarah Menuju Dunia Modern (terj. Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama), Yogyakarta: Jendela, 2003, hlm. 33-34.

[4] Descartes, Op. Cit., hlm. 6.

[5] Frederick Copleston, A History of Philosopy Book II Vol. IV Descartes to Leibniz, New York: Bantam Doubleday Dell Publishing Group, 1963 & 1964, hlm. 64.

[6] Lavine, Op. Cit., hlm. 35-36.

[7] Ibid.

[8] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 38.

[9] Chopelston, Op. Cit., hlm. 90.

[10] Hardiman, Op. Cit., hlm. 39.

[11] Descartes, Op. Cit., hlm. 35.

[12] James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 55.

[13] A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 43-48.

[14] Lavine, Op. Cit., hlm. 44.

[15] Descartes, Op. Cit., hlm. 24-32.

TRI_2020Okt26_Artikel Trio_036

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA