3 macam tanggapan pelaku usaha terhadap putusan KPPU

Sebagai amanat UU Cipta yang mengatur pelaku usaha dapat mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU ke Pengadilan Niaga paling lambat 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan KPPU.

Bacaan 3 Menit

Gedung MA. Foto: RES

Belum lama ini, Mahkamah Agung (MA) menerbirkan Surat Edaran MA No. 1 Tahun 2021 tentang Peralihan Pemeriksaan Keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ke Pengadilan Niaga. Terbitkan SE MA ini imbas berlakunya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja, salah satunya mengatur pelaku usaha dapat mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU ke Pengadilan Niaga paling lambat 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan KPPU.

“Dengan demikian kewenangan memeriksa dan mengadili keberatan terhadap putusan KPPU dialihkan dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri,” demikian bunyi SE MA No. 1 Tahun 2021 yang diteken Ketua MA M. Syarifuddin pada 2 Februari 2021 ini yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri/Niaga ini. (Baca Juga: Ini Pokok Perubahan di Perma Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Putusan KPPU)

Untuk melaksanakan peralihan tersebut dan mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta melaksanakan UU Cipta Kerja tersebut, sementara menunggu terbitnya Peraturan MA Perubahan terhadap Peraturan MA No. 3 Tahun 2019, MA menetapkan teknis administrasi dan persidangan serta kebijakan peralihan.

Pertama, Pengadilan Negeri untuk tidak lagi menerima keberatan terhadap putusan KPPU terhitung tanggal 2 Februari 2021. Kedua, Pengadilan Negeri yang telah menerima keberatan terhadap putusan KPPU sebelum tanggal 2 Februari 2021 tetap menyelesaikan pemeriksaan dan mengadili perkara keberatan tersebut.

Ketiga, Pengadilan Niaga sesuai kewenangan yang diberikan Undang-Undang (UU Cipta Kerja, red), untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara keberatan terhadap putusan KPPU terhitung tanggal 2 Februari 2021. Keempat, kecuali ditentukan lain oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, tata cara penerimaan keberatan terhadap putusan KPPU oleh Pengadilan Niaga dilaksanakan sesuai Peraturan MA No. 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan KPPU dan Petunjuk Pelaksanaannya.                                     

Dalam keterangan persnya akhir tahun lalu, KPPU menilai ada perubahan beberapa pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999) melalui UU Cipta Kerja. Perubahan beberapa pasal dalam UU 5/1999 tersebut diatur dalam Bab VI tentang Kemudahan Berusaha, tepatnya Bagian Kesebelas tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada Pasal 118. Perubahan pasal terlihat dalam Pasal 44, 45, 47, 48, 49 UU 5/1999 melalui UU Cipta Kerja.       

Kemudahan berusaha yang diharapkan tersebut, tentu saja akan bergantung juga terhadap materi pengaturan dalam peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut UU 11/2020 ini. Perubahan tersebut secara garis besar meliputi 4 hal yang diubah dalam UU 5/1999 melalui UU 11/2020 tersebut. Pertama, perubahan upaya keberatan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga. Kedua, penghapusan jangka waktu penanganan upaya keberatan oleh Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung. Ketiga, penghapusan batasan denda maksimal. Keempat, penghapusan ancaman pidana bagi pelanggaran perjanjian atau perbuatan atau penyalahgunaan posisi dominan.

Page 2

Sebagai amanat UU Cipta yang mengatur pelaku usaha dapat mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU ke Pengadilan Niaga paling lambat 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan KPPU.

Bacaan 3 Menit

Misalnya, hal terkait perubahan upaya keberatan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga, KPPU menilai ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembuktian di pengadilan karena hakim di Pengadilan Niaga umumnya telah terbiasa berurusan dengan aspek bisnis atau komersil. Proses persidangan di pengadilan diharapkan akan lebih komprehensif. Kualitas pembuktian juga diharapkan akan meningkat.

Apalagi jika MA memperkenankan pembentukan sejenis tribunal (hakim khusus persaingan usaha) atau penugasan hakim ad hoc kasus persaingan usaha tertentu, misalnya terkait kasus kompleks di sektor ekonomi digital. Hal ini tentunya memberikan keuntungan bagi pelaku usaha dalam memberikan argumen yang lebih kuat di pengadilan. KPPU mengakui pemindahan ini memang dapat menimbulkan biaya tambahan bagi pelaku usaha yang ingin melakukan upaya keberatan, karena keterbatasan jumlah Pengadilan Niaga di Indonesia.

Namun hal tersebut dapat diatasi dengan penambahan jumlah Pengadilan Niaga ataupun pemberlakukan persidangan secara online. Sekalipun terkait persidangan online sendiri tentu perlu penyempurnaan pada beberapa aspek agar tidak mengurangi prinsip due process of law karena persidangan online masih ada beberapa keterbatasan (kendala, red).

Hal kedua, penghapusan jangka waktu pembacaan putusan keberatan dan kasasi. Dikhawatirkan memang berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha atas penyelesaian upaya keberatan yang dilakukannya. Tapi, hal tersebut akan diatur oleh MA. Saat ini upaya keberatan masih menggunakan Peraturan MA No. 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan KPPU (belum direvisi, red). 

IX.4.1. Beberapa Macam Tanggapan Pelaku Usaha terhadap Putusan KPPU

Terhadap putusan KPPU terdapat tiga kemungkinan, yaitu:

a. Pelaku usaha menerima keputusan KPPU dan secara sukarela melaksanakan sanksi yang dijatuhkan oleh KPPU. Pelaku usaha dianggap menerima putusan KPPU apabila tidak melakukan upaya hukum dalam jangka waktu yang diberikan oleh UU untuk mengajukan keberatan (Pasal 44 ayat 2). Selanjutnya dalam waktu 30 hari sejak diterimanya pemberitahuan mengenai putusan KPPU, pelaku usaha wajib melaksanakan isi putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Dengan tidak diajukannya keberatan, maka putusan KPPU akan memiliki kekuatan hukum tetap (Pasal 46 ayat (1) UU No 5 Tahun 19999) dan terhadap putusan tersebut, dimintakan fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri (Pasal 46 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999).

b. Pelaku usaha menolak putusan KPPU dan selanjutnya mengajukan keberatan kepada Pengadilan negeri. Dalam hal ini pelaku usaha yang tidak setuju terhadap putusan yang dijatuhkan oleh KPPU, maka pelaku usaha dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan negeri dalam jangka waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan tersebut (Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999).

c. Pelaku usaha tidak mengajukan keberatan, namun menolak melaksanakan putusan KPPU. Apabila pelaku usaha tidak mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU No 5 Tahun 1999, namun tidak juga mau melaksanakan putusan KPPU dalam jangka waktu 30 hari, KPPU menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini putusan KPPU akan dianggap sebagai bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan (Pasal 44 ayat (5) UU No. 5 Tahun 1999).

Knud Hansen, et all., op.cit. p.396.

Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks 331

Putusan KPPU Memerlukan Fiat Eksekusi

Putusan KPPU merupakan salah satu sumber penting Hukum Persaingan Usaha di Indonesia karena merupakan bentuk implementasi terhadap UU No 5 Tahun 1999. Oleh karena itu, wajar kiranya ketentuan bahwa setiap putusan Komisi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dimintakan penetapan eksekusi dari PN. Hal ini dapat diartikan bahwa kekuatan dan pelaksanaan putusan tersebut berada di bawah pengawasan Ketua PN.

Mekanisme fiat eksekusi ini dapat menepis anggapan tentang terlalu luasnya kekuasaan yang dimiliki oleh KPPU. Ada pendapat yang mengatakan bahwa dengan diberikannya wewenang melakukan kewenangan rangkap sebagai penyelidik, penuntut sekaligus hakim kepada KPPU akan berakibat KPPU menjadi lembaga super power seolah olah tanpa kontrol. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena walaupun KPPU punya kewenangan yang sangat besar dalam menyelesaikan perkara monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, ada lembaga lain yang mengontrol wewenang itu

dalam bentuk pemberian fiat eksekusi yaitu PN.

Fiat eksekusi dalam hal ini dapat diartikan persetujuan PN untuk dapat dilaksanakannya putusan KPPU. Persetujuan ini tentu tidak akan diberikan apabila Ketua PN menganggap KPPU telah salah dalam memeriksa perkara tersebut. Dengan demikian maka mekanisme fiat eksekusi ini dapat menjadi kontrol terhadap putusan putusan yang dihasilkan oleh KPPU yang tidak diajukan upaya keberatan oleh pihak pelaku usaha.

Untuk putusan yang diajukan upaya keberatan, peran kontrol yang dilakukan oleh pengadilan akan lebih terlihat. Hal ini karena hakim yang memeriksa upaya keberatan akan memeriksa fakta serta penerapan hukum yang dilakukan oleh KPPU. Dengan demikian, KPPU pasti akan sangat berhati-hati dalam memeriksa perkara karena kesalahan dalam mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir akan mengakibatkan putusannya dibatalkan oleh hakim PN atau MA.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA